PENJELASAN
TENTANG NAFKAH SUAMI UNTUK SANG ISTERI
Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
خُذِي مَا
يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah (dari harta
suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” [1]
KEWAJIBAN
SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah
di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki kewajiban yang telah
Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak isteri yang wajib untuk
dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan
mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara
kaum muslimin yang tidak memahami masalah penting ini. Terlebih pada masa
dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama, banyak
faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan
terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo
kepada orang-orang di luar Islam.
DEFINISI
NAFKAH MENURUT ULAMA
Para
ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana
disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang
suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang
selainnya [2]. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan,
seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta
rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis
isteri.
Hukum
memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan nash-nash Al Qur’an,
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ijma’ ulama.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya
hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah
tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah
kesempitan” [Ath Thalaq
: 7].
Juga
firmanNya.
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”.[Al Baqarah : 233].
Jabir
mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا
اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ
بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ
لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ
“Bertaqwalah kalian
dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian
ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian”.[3]
Mayoritas
ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi
nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab)
jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash
yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.[4]
KEUTAMAAN
MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah
Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti
dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para
hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.
Melalui
lisan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah
menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
دِيْنَارٌ
أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ
تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ
أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
“Dinar
yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk
membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar
yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar
yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” [5].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا
أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ
صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ
زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Apa
yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah
bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah
sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu,
maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk
memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu”.[6]
Al
Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada keluarga
merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah,
untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban
mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka
mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh
karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga
juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh
memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi
nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih
mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga,
Pen) dari sedekah yang sunnat.”[7]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah mengencangkan perut menahan lapar. Dimanakah sikap perwira dan tanggung jawabnya sebagai suami?
Satu
hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib memberi
nafkah dari rizki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah dari jalan yang
haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram berhak mendapat
siksa api neraka. Sang suami akan dimintai pertanggungan jawaban tentang nafkah
yang diberikan kepada keluarganya.
KAPAN
KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para
ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini mulai
dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah yang sah; meskipun
sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar
pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah sang isteri
menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah
suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak
berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada
suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.
Sedangkan
ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat,
kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah semata-mata.
Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah menyerahkan dirinya kepada
suaminya, atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami
menolak memboyong isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal
itu darinya.[8]
JENIS-JENIS
NAFKAH
Jenis
nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang isteri serta
keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk kategori nafkah
wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama- meliputi kebutuhan primer, seperti
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan
peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan
kebutuhan biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
Adapun
kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan pembantu rumah
tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh
berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami. Demikian juga
dengan pengadaan pembantu rumah tangga, tidak wajib bagi suami, kecuali jika
hal itu (memberikan pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah
dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di
kaumnya. Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah tangga
ini juga tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak
mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka tidak wajib bagi
suami untuk mengadakannya, karena Allah tidak membebani seseorang di luar
kesanggupannya.
Ada
satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri. Fathimah
binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu kepada ayahnya
tentang luka-luka di tangannya yang dikarenakan pekerjaannya berkhidmah kepada
suami. Wanita mulia ini mendengar, telah datang seorang budak kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya Fathimah menceritakan hal itu kepada
‘Aisyah. Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ‘Aisyah
menceritakan pengaduan Fathimah kepada Beliau.
Ali
berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu kami
bersiap-siap hendak tidur. Kami pun bangun mendengar kedatangan Beliau, namun
Beliau berkata,”Tetaplah kalian berdua di tempat kalian.” Beliau datang dan
duduk diantara aku dan Fathimah, hingga aku bisa merasakan dinginnya kedua
telapak tangan Beliau di perutku. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ
سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا
فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ
كَبِّرَا أرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
“Maukah
kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian
berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga
kali, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik
bagi kalian daripada seorang pelayan.[9]
Ali
berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia (Ali)
ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga pada malam perang
Shiffin.”
TEKNIS
PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr.
Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis
pemenuhan nafkah keluarga.
Hal
yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang, bahwa suami
wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang
dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan manusia pada umumnya tidak
mengharuskan suami memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun
makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel,
sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, Pen). Demikian juga teknis pemenuhan
ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan suami
memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan
hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan
suami tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau karena
kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada
kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara
suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”[10]
Dari
penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah isteri ini
dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Artinya,
sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta hal-hal lain yang dibutuhkan
keluarganya, secara per hari, per pekan ataupun per bulan dengan kadar yang
disanggupinya, sebagai nafkah bagi keluarganya.
Tentang
masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat diantara para
ulama. Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan kadar nafkah tersebut?
keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah keadaan keduanya?
Ulama
dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai dengan kondisi
suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rizkinya oleh
Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami
memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua.
Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah
sesuai dengan keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang
berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah
sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]
Sedangkan
para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat, barometer
yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar nafkah yang wajib diberikan suami
adalah keadaan suami itu sendiri, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
‘Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah
karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan setelah kesempitan”. [Ath Thalaq : 7]
Pendapat
ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”.
[Al Baqarah : 233]
Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.”
Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ
وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai
dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula,
yaitu pemberian menurut yang patut”.
[Al Baqarah:236].
FirmanNya
Azza wa Jalla.
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Tidaklah Allah
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya”. [Al Baqarah : 286]
Ayat-ayat
di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan
kadar kesanggupan suami.
NAFKAH
ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara
umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang, ada beberapa
kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya tersebut. Berikut ini adalah
penjelasan sebagian kondisi tersebut.
1. Nafkah
Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian
ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di luar rumah) tetap
berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja dengan izin dari
suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin dari suaminya, maka ia
tidak berhak mendapatkan nafkah.
Tentang
hal ini, ketika menjelaskan alasan, mengapa isteri yang bekerja di luar rumah
tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Pendapat yang benar
adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu
mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya),
dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami
memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi
tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang
isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang
menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” [13]
2. Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika
sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk tidur
bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak bepergian
bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah serta tempat
tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad,
Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur. Sedangkan Al Hakam berpendapat,
isteri yang nusyuz tetap berhak mendapat nafkah.
Ibnu
Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi pendapat
jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia berhujjah bahwa kedurhakaan seorang
isteri tidak menggugurkan haknya untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad,
maka demikian pula dalam hal nafkah.”
Ibnu
Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk mendapat
nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia berkata,”Istri yang
durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah kewajiban suami untuk
memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.”
Tentang
pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini adalah pensyaratan
yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada isteri yang hamil tersebut
adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali
dengan memberi nafkah kepada isterinya (ibu sang bayi).”[14]
3. Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan
kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut
nafkah isteri yang dicerai.[15]
Jika
isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak
mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah
Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang
beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya”. [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami
memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu
Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita yang
dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam keadaan
hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang berhak
mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam masa
‘iddah.”
Wanita
hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan
nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِنْ كُنَّ
أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka
(isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka melahirkan”.
[Ath Thalaq : 6].[18]
Jadi
wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak mendapatkan nafkah
karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena ‘iddahnya) sampai ia
melahirkan.
Dan
jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia
berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ
بِمَعْرُوفٍ
“Maka jika mereka
menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah segala sesuatu dengan baik”. [Ath Thalaq : 6]
Sebagaimana
dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai isterinya, dan ia
memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya tersebut menyusui anaknya,
maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang
ma’ruf.”[19]
Adapun
jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak
berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan
hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. Kemudian ketika
ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ لَكِ
عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى
“Tidak ada lagi
kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal”. [20]
JIKA
SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam
As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya bagian dari nafkah
atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua ataupun suaminya miskin dan tidak
mampu untuk memberi nafkah, maka (ketika itu) ia (isteri) diperintahkan untuk
menghutangi suaminya, (yakni nafkah yang belum ia terima menjadi hutang suaminya
yang harus ia tunaikan kepada isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada
suaminya, dan hakim tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui
ketidakmampuannya untuk memberi nafkah kepada isterinya.”
Sedangkan
ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, isteri diberi
pilihan untuk tetap bersama suami dalam kemiskinannya itu atau bercerai dari
suaminya, dan suami tidak dibebani kewajiban untuk memberi nafkah selama ia
tidak mampu.
Mengenai
nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama
ia berada dalam masa sulitnya?
Dalam
masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama kalangan madzhab
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah tersebut tetap menjadi
hutang tanggungan suami. Sedangkan ulama madzhab Malikiyah berpendapat,
gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan ketidakmampuan suami.[21]
HUKUM
SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila
seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya, kemudian ia menceraikan
isterinya tersebut atau ia meninggal, maka seorang suami tidak boleh meminta
kembali nafkah yang telah diberikannya.
Imam
An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah, kemudian isteri
tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak boleh (bagi suami) untuk
meminta kembali nafkah yang telah diberikannya tersebut. Akan tetapi harta
isterinya tersebut dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Dan
jika isteri meninggal, atau ia dithalaq ba’in oleh suaminya pada pertengahan
hari, sedangkan dia pada awal hari tersebut (sebelum ia meninggal atau
dithalaq) belum mendapatkan nafkah dari suaminya, maka nafkah tersebut menjadi
hutang suami yang wajib ia tunaikan.”[22]
ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL/KIKIR
Tentang
suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya.
Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
كَفَى
بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukuplah sebagai dosa
bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”[23]
Juga
sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَا مِنْ
يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ
أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ
أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidaklah para hamba
berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari
mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya
balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah.
Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau
menafkahkannya).”[24]
Bakhil
dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa
Jalla telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak
mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya. Hal ini
bisa kita fahami, karena memberi nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang
wajib ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi
nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dengan
meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak
mendapat ancaman siksa dari Allah. Wal’iyadzu billah.
Demikianlah
sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi pilar diantara
pilar-pilar rumah tangga. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kaum
muslimin seluruhnya, sehingga mampu menjalankan setiap kewajiban secara
konsekwen sesuai tuntunan syari’at, untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga
sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin, Allahumma, Amin. (Az Zarqa’).
Maraji:
1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Ath Thayyibah, Cetakan I.
2. Ahkamuz Zawaj, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqari, Dar An Nufasa’, Cetakan II.
3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Dar Ibnul Jauzi, Cetakan I.
4. Isyratun Nisa’, Usamah bin Kamal bin Abdurrazaq, Dar Al Wathan Lin Nasyr, Cetakan II.
5. Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1424H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim dan selain keduanya.
[2]. Lihat juga Lisanul ‘Arab, 3/693.
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
[4]. Ahkamuz Zawwaj, hlm. 280.
[5]. HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi.
[6]. HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739.
[7]. Fathul Bari, 9/498.
[8]. Lihat Ahkamuz Zawwaj, hlm. 281-282 dengan bahasa dari penyusun
[9]. HR Bukhari.
[10]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 281.
[11]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 284.
[12]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638.
[13]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 282.
[14]. Ahkamuz Zawaj, hlm 283.
[15]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289.
[16]. Thalak raj’i adalah thalak yang masih mempunyai kesempatan untuk ruju’ kembali selama belum usai masa ‘iddah. Jika telah melewati masa iddah, wajib membuat aqad baru, bila mereka ingin bersatu kembali.
[17]. Thalak ba’in adalah thalak yang tidak ada ruju’ kembali, kecuali jika isterinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian ia dicerai.
[18]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289
[19]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638
[20]. HR Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya. Lihat Ahkamuz Zawaj hlm. 289
[21]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 287-288
[22]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288.
[23]. HR Muslim.
[24]. Muttafaqun ‘alaihi.
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim dan selain keduanya.
[2]. Lihat juga Lisanul ‘Arab, 3/693.
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
[4]. Ahkamuz Zawwaj, hlm. 280.
[5]. HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi.
[6]. HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739.
[7]. Fathul Bari, 9/498.
[8]. Lihat Ahkamuz Zawwaj, hlm. 281-282 dengan bahasa dari penyusun
[9]. HR Bukhari.
[10]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 281.
[11]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 284.
[12]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638.
[13]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 282.
[14]. Ahkamuz Zawaj, hlm 283.
[15]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289.
[16]. Thalak raj’i adalah thalak yang masih mempunyai kesempatan untuk ruju’ kembali selama belum usai masa ‘iddah. Jika telah melewati masa iddah, wajib membuat aqad baru, bila mereka ingin bersatu kembali.
[17]. Thalak ba’in adalah thalak yang tidak ada ruju’ kembali, kecuali jika isterinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian ia dicerai.
[18]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289
[19]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638
[20]. HR Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya. Lihat Ahkamuz Zawaj hlm. 289
[21]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 287-288
[22]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288.
[23]. HR Muslim.
[24]. Muttafaqun ‘alaihi.
Sumber : www.almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment