Wednesday 30 August 2017

BUKTI KEUTAMAAN ASMA'UL HUSNA "YAA SYAKUR"

KH Sya’roni Buktikan Kesaktian Lafal “Yaa Syakuur”  

KH Sya’roni Buktikan Kesaktian Lafal “Yaa Syakuur”
Suatu hari di tahun 1990-an, KH M Sya’roni Ahmadi mengadu kepada gurunya, KH Bisri Musthofa, ayahanda Gus Mus, tentang keinginan berangkat ke tanah suci yang belum juga terpenuhi. Singkat cerita, KH Bisri Musthofa memberikan trik khusus kepada murid kesayangannya itu supaya keinginan untuk beribadah ke tanah suci segera terwujud. 
<>
KH. Sya’roni pun segera mengamalkan apa yang dipesankan oleh sang guru, yakni salat Tahajjud setiap malam, cukup dua rakaat, membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Setelah salam mewirid istighfar 70 kali, selawat nabi 100 kali, serta lafal “yaa syakuur” 1000 kali. KH. Sya’roni benar-benar mengamalkannya dengan istiqamah setiap malamnya. 

Sampai tiba suatu hari, KH. Sya’roni didatangi tamu seorang lelaki muda, gagah dan tampan yang tak dikenal. Rupanya, ia merupakan alumni madrasah Qudsiyyah Kudus. Kepada beliau, lelaki ini mengaku bahwa saat itu tengah menjabat sebagai seorang petinggi kolonel.

Tiba-tiba lelaki tadi bertanya, apakah KH. Sya’roni masih mengajar di Qudsiyyah. Jawabannya “masih”. Lalu kolonel tadi kembali bertanya, “naik apa?”.  KH. Sya’roni agaknya merasa aneh dengan pertanyaan ini, sebab dengan posisi tempat tinggal dan madrasah yang tak jauh, tentu saja tidak ada jawaban lain selain “sepeda,” yang pantas untuk jawaban saat itu.


Tak pernah menyana sebelumnya, setelah mendengar jawaban “sepeda”, kolonel muda itu berujar dengan nada yang amat serius, “Bagaimana kalau Bapak Sya’roni saya belikan mobil?”

KH. Sya’roni terdiam. Betapa berbudinya ‘bekas murid’ yang satu ini. Lama tidak pernah bertemu, kini jauh-jauh mendatangi guru masa kecilnya untuk menawari sebuah mobil gratis. Sebuah mobil yang dimaksud mengganti sepeda tua untuk berangkat mengajar ke madrasah. Cukup geli rasanya mengingat betapa biasanya murid di madrasahnya sering menunggak SPP. Sekarang malah ada murid yang menawari mobil baru gratis. KH. Sya’roni menangis, terharu dengan tingkah kolonel santun ini.

Tak ingin berlama-lama hanyut dalam keharuan, KH. Sya’roni kemudian memutuskan untuk ‘menawar’ bakal hadiahnya.

“Kalau misalkan saya minta ganti selain mobil, bisa nggak?” tawar KH. Sya’roni pada kolonel muda.

“Selain mobil, emm... apa itu?” tanya kolonel.

“Naik haji,” jawab KH. Sya’roni mantab.

“Oh, tentu saja bisa.” 

Jawaban kolonel ini sekaligus menjawab doa KH Sya’roni selama bertahun-tahun. Akhirnya, beliau membuktikan sendiri bahwa lafal “yaa syakuur” yang diijazahkan oleh KH Bisri Musthofa memang mujarab.

Setelah sukses mengamalkan “yaa syakuur” sendiri, beliau mengajak keluarganya untuk turut juga mengamalkannya setiap malam. Dan benar, beberapa tahun kemudian, KH Sya’roni berangkat ke tanah suci untuk yang kedua kali. Beliau diajak oleh seorang aghniya’. Jika yang pertama dulu beliau berangkat sendiri, maka yang kedua ini beliau berangkat bersama istrinya. Dan tentunya, tanpa biaya, berkat “yaa Syakuur”. Begitu, Allah memberikan jalan bagi sesiapa yang dikehendaki-Nya, dengan perantara yang kadang tak terduga, termasuk wirid “yaa Syakuur”.

Dan kini, Mustasyar PBNU itu mengajak kita untuk bersama-sama turut juga mengikuti jejaknya, mengamalkan wirid “yaa Syakuur”, agar segera memenuhi panggilan ke Baitullah. Tentu saja, dengan tanpa meninggalkan rangkaian amalan sebelumnya yang juga diamalkan oleh KH. Sya’roni secara tekun dan niat yang ikhlas. (Istahiyyah)

*) Ditulis berdasarkan mauidhoh hasanah yang disampaikan KH Sya’roni Ahmadi pada peringatan harlah Madrasah NU Mu’allimat Kudus di gedung JHK, Kudus, Rabu Pon/12 Muharrom 1436 H.

KH Sya’roni Buktikan Kesaktian Lafal “Yaa Syakuur”
Suatu hari di tahun 1990-an, KH M Sya’roni Ahmadi mengadu kepada gurunya, KH Bisri Musthofa, ayahanda Gus Mus, tentang keinginan berangkat ke tanah suci yang belum juga terpenuhi. Singkat cerita, KH Bisri Musthofa memberikan trik khusus kepada murid kesayangannya itu supaya keinginan untuk beribadah ke tanah suci segera terwujud. 
<>
KH. Sya’roni pun segera mengamalkan apa yang dipesankan oleh sang guru, yakni salat Tahajjud setiap malam, cukup dua rakaat, membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Setelah salam mewirid istighfar 70 kali, selawat nabi 100 kali, serta lafal “yaa syakuur” 1000 kali. KH. Sya’roni benar-benar mengamalkannya dengan istiqamah setiap malamnya. 

Sampai tiba suatu hari, KH. Sya’roni didatangi tamu seorang lelaki muda, gagah dan tampan yang tak dikenal. Rupanya, ia merupakan alumni madrasah Qudsiyyah Kudus. Kepada beliau, lelaki ini mengaku bahwa saat itu tengah menjabat sebagai seorang petinggi kolonel.

Tiba-tiba lelaki tadi bertanya, apakah KH. Sya’roni masih mengajar di Qudsiyyah. Jawabannya “masih”. Lalu kolonel tadi kembali bertanya, “naik apa?”.  KH. Sya’roni agaknya merasa aneh dengan pertanyaan ini, sebab dengan posisi tempat tinggal dan madrasah yang tak jauh, tentu saja tidak ada jawaban lain selain “sepeda,” yang pantas untuk jawaban saat itu.


Tak pernah menyana sebelumnya, setelah mendengar jawaban “sepeda”, kolonel muda itu berujar dengan nada yang amat serius, “Bagaimana kalau Bapak Sya’roni saya belikan mobil?”

KH. Sya’roni terdiam. Betapa berbudinya ‘bekas murid’ yang satu ini. Lama tidak pernah bertemu, kini jauh-jauh mendatangi guru masa kecilnya untuk menawari sebuah mobil gratis. Sebuah mobil yang dimaksud mengganti sepeda tua untuk berangkat mengajar ke madrasah. Cukup geli rasanya mengingat betapa biasanya murid di madrasahnya sering menunggak SPP. Sekarang malah ada murid yang menawari mobil baru gratis. KH. Sya’roni menangis, terharu dengan tingkah kolonel santun ini.

Tak ingin berlama-lama hanyut dalam keharuan, KH. Sya’roni kemudian memutuskan untuk ‘menawar’ bakal hadiahnya.

“Kalau misalkan saya minta ganti selain mobil, bisa nggak?” tawar KH. Sya’roni pada kolonel muda.

“Selain mobil, emm... apa itu?” tanya kolonel.

“Naik haji,” jawab KH. Sya’roni mantab.

“Oh, tentu saja bisa.” 

Jawaban kolonel ini sekaligus menjawab doa KH Sya’roni selama bertahun-tahun. Akhirnya, beliau membuktikan sendiri bahwa lafal “yaa syakuur” yang diijazahkan oleh KH Bisri Musthofa memang mujarab.

Setelah sukses mengamalkan “yaa syakuur” sendiri, beliau mengajak keluarganya untuk turut juga mengamalkannya setiap malam. Dan benar, beberapa tahun kemudian, KH Sya’roni berangkat ke tanah suci untuk yang kedua kali. Beliau diajak oleh seorang aghniya’. Jika yang pertama dulu beliau berangkat sendiri, maka yang kedua ini beliau berangkat bersama istrinya. Dan tentunya, tanpa biaya, berkat “yaa Syakuur”. Begitu, Allah memberikan jalan bagi sesiapa yang dikehendaki-Nya, dengan perantara yang kadang tak terduga, termasuk wirid “yaa Syakuur”.

Dan kini, Mustasyar PBNU itu mengajak kita untuk bersama-sama turut juga mengikuti jejaknya, mengamalkan wirid “yaa Syakuur”, agar segera memenuhi panggilan ke Baitullah. Tentu saja, dengan tanpa meninggalkan rangkaian amalan sebelumnya yang juga diamalkan oleh KH. Sya’roni secara tekun dan niat yang ikhlas. (Istahiyyah)

*) Ditulis berdasarkan mauidhoh hasanah yang disampaikan KH Sya’roni Ahmadi pada peringatan harlah Madrasah NU Mu’allimat Kudus di gedung JHK, Kudus, Rabu Pon/12 Muharrom 1436 H.

Monday 28 August 2017

BIOGRAFI PENGARANG KITAB MAULID SIMTHUD DUROR


Mengenal Pengarang Maulid Simthud-Durar Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi

Jika belasan tahun yang lalu hanya kalangan tertentu yang mengenal dan membaca kitab Maulid Simthud Durar di Indonesia, kini keadaannya telah berubah. Kitab ini dalam tahun-tahun belakangan semakin populer mendampingi kitab-kitab Maulid lain yang telah lebih dahulu ada.

simtudduror habib ali bin muhammad alhabsyiSebelum tersebar luas di Indonesia, kitab ini telah menyebar di Jazirah Arab, Afrika, dan beberapa negeri lain di Asia, dan kini telah mencapai benua Eropa, Amerika, dan belahan dunia lainnya. Simthud Durar ditulis oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ketika ia berusia 68 tahun. Pada hari Kamis tanggal 26 Shafar 1327 H/18 Maret 1909, Habib Ali mendiktekan paragraf awal Maulid Simthud Durar setelah memulainya dengan basmalah, yakni mulai dari al-hamdu lillahil qawiyyi sulthanuh dan seterusnya hingga wa huwa min fawqi ilmi ma qad ra-athu rif‘atan fi syu-unihi wa kamala. Ia kemudian memerintahkan agar tulisan itu dibacakan kepadanya. Setelah pendahuluan itu dibacakan, ia berkata, “Insya Allah aku akan menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah Maulid.”
Pada hari Selasa awal Rabi’ul Awwal 1327 H/23 Maret 1909M, ia memerintahkan agar Maulid yang telah ia tulis dibaca. Kemudian pada malam Rabu 9 Rabi’ul Awwal 1327 H/31 Maret 1909 M, ia mulai membaca Maulidnya di rumahnya setelah Maulid itu disempurnakan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan, “Maulid ini sangat menyentuh hati, dan ia baru selesai disusun.” Pada hari Kamis 10 Rabi’ul Awwal 1327 H/1 April 1909 M, ia menyempurnakannya lagi. Dua hari kemudian, Sabtu 12 Rabi’ul Awwal, ia membaca Maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid Umar bin Hamid Assegaf. Sejak saat itu, ia membaca Maulidnya sendiri, Simthud Durar. Sebelumnya ia membaca Maulid Ad-Diba‘iy.
Disebutkan pula, Maulid Simthud Durar pertama kali dibaca di rumah Habib Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib Umar bin Hamid. Para sahabatnya kemudian meminta agar Habib Ali membaca Maulid itu di rumah-rumah mereka. Memenuhi permintaan mereka, ia pun mengatakan, “Selama bulan ini, setiap hari aku akan membaca Maulid Simthud Durar di rumah kalian secara bergantian.”
Habib Ali juga mengatakan, “Dakwahku akan tersebar ke seluruh penjuru. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.”
Ia juga mengatakan, “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai wiridnya atau menghafalnya, sirr (rahasia) Al-Habib Shallallahu `Alaihi wa Sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya. Namun, setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW.”
Ketermasyhuran kitab Maulid Simthud Durar juga membuat penyusunnya semakin terkenal. Orang semakin tahu dan semakin ingin tahu lagi ihwal kehidupan dan kelebihannya sebagai salah seorang tokoh ulama Alawiyyin terkemuka abad ke-19 Masehi (abad ke-13 Hijriyyah) di Hadhramaut.
Maqam Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyilahir pada hari Jum’at 24 Syawwal 1259 H/18 November 1843 M di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Ia anak satusatunya pasangan Al-Imam Al-Arif billah Muhammad bin Husain bin Abdullah Al-Habsyi, seorang ulama terkemuka yang banyak berdakwah di berbagai tempat, dan Asy-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Jufri, wanita shalihah yang amat bijaksana. Yang menamainya adalah Habib Abdullah bin Husain Bin Thahir, guru ayahnya. Dari istri yang lain, ayahnya mempunyai empat putra dan seorang putri, yakni Abdullah, Ahmad, Husain, Syaikh, dan Aminah.
Guru Habib Ali sangat banyak. Sejak kecil ia dididik oleh ayah dan ibunya. Guru-gurunya dari angkatan tua di antaranya Habib Hasan bin Shalih Al-Bahar dan Habib Abdullah bin Husain Bin Thahir. Adapun syaikh fath (guru pembuka tabir pengetahuan)-nya adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas. Ia pun menimba ilmu kepada para ulama besar lainnya, seperti Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar Assegaf, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar. Gurunya yang terakhir sekaligus sahabat karibnya adalah Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Habib Ali juga pernah menimba ilmu di Makkah ketika ayahnya pindah dan tinggal di sana. Atas permintaan sang ayah, pada usia 17 tahun ia berangkat ke sana bersama rombongan haji dan belajar selama dua tahun. Setelah itu ia kembali ke Seiwun dan mengambil ilmu dari tokoh- tokoh ulama di sana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zhahir dan bathin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, ia diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian pengajian di hadapan khalayak ramai. Sehingga, dengan cepat sekali ia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang.
Kepadanya diserahkan tampuk kepemimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Selanjutnya, ia melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Ia menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan, dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid Riyadh di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum. Sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari. Bimbingan dan asuhan darinya yang seperti itu telah memberikan kepuasan yang tak terhingga baginya, hingga ia menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya, kemudian meneruskan serta mensyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh. Bukan saja di daerah Hadhramaut, tetapi juga tersebar luas ke beberapa negeri lainnya, di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan syiar agama. Mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majelis-majelis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.
Murid-murid Habib Ali antara lain adalah anak-anaknya sendiri, Abdullah, Muhammad, Ahmad, dan Alwi. Juga saudaranya, Habib Syaikh bin Muhammad, dan kemenakannya, Habib Ahmad bin Syaikh. Kemudian Habib Ja‘far bin Abdul Qadir bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan Assegaf, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Assegaf, Habib Salim bin Shafi bin Syekh Assegaf, Habib Ali bin Abdul Qadir bin Salim bin Alwi Al-Aydrus, Habib Abdullah bin Alwi bin Zain Al-Habsyi, dan banyak lagi yang lainnya.
Murid-muridnya yang mencapai derajat alim dalam ilmu fiqih dan lainnya, selain yang menetap di ribath, antara lain Habib Thaha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf, Habib Umar bin Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Alwi bin Segaf bin Ahmad Assegaf, Syaikh Hasan, Syaikh Ahmad, dan Syaikh Muhammad bin Muhammad Baraja.
Selain murid-murid yang benar-benar belajar kepadanya, ada pula orang-orang yang selalu bersamanya dan seperti muridnya sendiri, yakni Habib Abdullah bin Ahmad bin Thaha bin Alwi Assegaf, Habib Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Segaf Assegaf, Syaikh Ahmad bin Ali Makarim, Syaikh Ahmad bin Umar Hassan, Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Zain bin Hadi bin Ahmad Basalamah, dan Syaikh ‘Ubaid bin Awudh Ba Fali.
Maqam Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi
Selain aktif berkegiatan dakwah dan penyebaran ilmu secara langsung, ia juga menggemakan syiar Islam lewat pena. Di samping kitab Maulid Simthud Durar, banyak juga karya lainnya, baik yang disusun langsung olehnya maupun oleh murid-murid, para pengikut, dan keturunannya. Di antaranya adalah kitab-kitab kumpulan amalannya yang berisi wirid, hizib, ratib, dan lain-lain, yang sebagian besar berasal dari Al-Quran, hadits, dan amalan para ulama terkemuka.
Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, ia kehilangan penglihatannya. Akhirnya pada waktu zhuhur hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H/7 Februari 1915 M, di kota Seiwun, Hadhramaut, ia kembali ke rahmatullah. Keesokan harinya jenazahnya diantarkan ke kubur dalam iringiringan yang sangat panjang. Setelah shalat Jenazah di halaman Masjid Riyadh yang diimami oleh anak dan khalifah (pengganti)-nya, Habib Muhammad, jenazahnya dikebumikan di sebelah barat Masjid Riyadh.
Dalam wasiatnya, Habib Ali menunjuk putranya, Habib Muhammad, sebagai khalifahnya. Mengenai Habib Muhammad ini, Habib Ali pernah mengatakan, “Kalian jangan mengkhawatirkan anakku, Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah zhahir dan bathin. Semoga Allah menjadikan dia dan saudara saudaranya penyejuk hati. Semoga mereka dapat memakmurkan ribath dan Masjid Riyadh dengan ilmu dan amal. Semoga Allah menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan semoga Allah memberikan mereka keturunan yang shalih serta menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan
teman-teman yang buruk.”
Dari perkawinannya dengan seorang wanita Qasam, Habib Ali dianugerahi Allah SWT seorang anak yang dinamainya Abdullah. Dan dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti Muhammad bin Segaf Mulachela, ia mendapatkan empat anak: Muhammad, Ahmad, Alwi, dan Khadijah. Di antara putra-putranya yang paling dikenal di Indonesia ialah putranya yang bungsu, Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid Riyadh di Gurawan, Solo (Surakarta). Ia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah lembut, sopan dan santun, serta ramah tamah terhadap siapa pun, terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Habib Alwi wafat di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1333 H/7 Februari 1915 M, dan dimakamkan di kota Solo.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-muridnya, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah. kitab Maulid Simthud Durar, lengkapnya berjudul Simthud Durar fi Akhbar Maulid Khayril Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Awshaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlaq, Sifat, dan Riwayat Hidupnya).
(Sumber: AlKisah, majalah kisah islami)

BIOGRAFI PENGARANG KITAB MAULID AD-DIBA'I


Mengenal Pengarang Kitab Maulid Ad-diba'i


Satu karya maulid yang masyhur dalam dunia Islam ialah maulid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits yaitu Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi`i.
Beliau dilahirkan pada 4 Muharram tahun 866H dan wafat hari Jumat 12 Rajab tahun 944H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shohih Imam al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits yaitu seorang yang menghafal 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau akan mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan banyak lagi. Selain daripada itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni ahli sejarah, yang terbilang.
Beliau dilahirkan di kota Zabid (Zabid (salah satu kota di Yaman Utara) pada sore hari Kamis 4 Muharram 866 H.) Kota ini sudah dikenal sejak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW., tepatnya pada tahun ke 8 Hijriyah. Dimana saat itu datanglah rombongan suku Asy`ariah (diantaranya adalah Abu Musa Al-Asy`ari) yang berasal dari Zabid ke Madinah Al-Munawwaroh untuk memeluk agama Islam dan mempelajari ajaran-ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka Nabi Muhammad SAW. berdoa memohon semoga Allah SWT. memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al-Baihaqi). Dan berkat barokah doa Nabi, hingga saat ini, nuansa tradisi keilmuan di Zabid masih bisa dirasakan. Hal ini karena generasi ulama di kota ini sangat gigih menjaga tradisi khazanah keilmuan islam.
Masa Kecil Ibn Diba`
Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syekh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu, hal itu dikarenakan sewaktu beliau lahir, ayahnya sedang bepergian, setelah beberapa tahun kemudian baru terdengar kabar, bahwa ayahnya meninggal didaratan India. Dengan bimbingan sang kakek dan para ulama kota Zabid ad-Diba’i tumbuh dewasa serta dibekali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ilmu yang dipelajari beliau adalah: ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari Ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al-Muwattho` dibawah bimbingan syekh Zainuddin Ahmad bin Ahmad As-Syarjiy. Ditengah-tengah sibuknya belajar hadis, Ibn Diba’ menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT.
Pelajaran penting dari ad-diba’i
Ibn Diba’ mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al-fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al-fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang. Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara “ wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah” lalu orang –orang bertanya “kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” kemudian dijawab, karena mereka sering membaca surat Al-fatihah.
Karya ad-diba’i
Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadis ataupun sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i,
Diantara buah karyanya yang lain : Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba’I wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat tanggal 26 Rojab 944 H
dan pengarang kitab. Ibn Diba’I wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat tanggal 26 Rojab 944 H
Sumber : Santri.net

Monday 21 August 2017

WASPADAI DOSA RIBA

 Mewaspadai Dosa Riba

Muslim manapun sejatinya tahu bahwa zina adalah salah satu dosa besar. Allah SWT menyebut zina sebagai kekejian (fâhisyah) dan jalan yang buruk (sâ-a sabîla) (Lihat QS al-Isra’ [17]: 38). Namun, tidak banyak yang mengetahui, ada dosa yang jauh lebih besar daripada zina. Karena itu, pasti azab bagi pelakunya pun lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada yang dialami oleh para pezina. Itulah riba!

Tentang dosa riba bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam Su’ab al-Imân)

Zina adalah #dosa besar. Apalagi menzinai ibu sendiri, tentu lebih besar lagi dosanya. Namun, kata Nabi SAW, itu baru setara dengan dosa #riba yang paling ringan. Lalu bagaimana dengan dosa riba yang paling berat?

Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sementara ia tahu, adalah lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)

Satu dirham saat ini hanyalah setara dengan kira-kira Rp 60.000 saja (dinar-online. com, 10/2/2016). Dengan kata lain, seseorang yang memakan harta hasil riba hanya Rp 60.000 saja sama dengan telah berzina dengan 36 pelacur. Lalu bagaimana dengan harta yang mengandung riba yang jumlahnya lebih dari itu: jutaan hingga milyaran rupiah?

Andai disejajarkan dengan hukuman bagi pezina, berapa puluh, berapa ratus bahkan berapa ribu kali pelaku riba harus dirajam? Bagaimana pula dengan azab yang bakal dia rasakan di akhirat? Tentu amat dahsyat dan mengerikan!

Sunday 20 August 2017

NASEHAT BAGI YANG HENDAK BERANGKAT HAJI

NASIHAT BAGI YANG HENDAK BERANGKAT HAJI


Pada tanggal 15 Agustus 2014 ada tamu rombongan haji, yang datang ke kediaman Habib Luthfi dan meminta barokah doa agar diberi kelancaran. Pada kesempatan itu Maulana Habib Luthfi menyampaikan pesan-pesan kepada calon jamaah haji yang datang.
Point pertama yang disampaikan Maulana Habib Luthfi soal niat, Habib menyampaikan “berangkat ke Mekah niat menunaikan rukun Islam yang ke 5, niat ziarah kepada Rasul Saw, jangan ada embel-embel agar dipanggil haji”. Ini syarat utama mendapatkan haji mabrur. Selain itu selama di tanah suci: Mekah-Madinah, paling penting menjaga adab, 'akuisme'; titel, label Kiai, Habib, kaya, kepintaran ditanggalkan. Atribut dan label-label jangan dibawah.
Maulana Habib Luthfi mengingatkan bahwa Ka'bah itu bukan rumah Allah. Karena Allah tidak menempat. Baitullah itu adalah syathrah ; penanda. Penanda arah kita shalat, yang menyatukan. Ka'bah akan dijadikan saksi dihadapan Allah swt, Anda shalat atau tdk. Jadi nanti tidak bisa mengaku-ngaku tidak pernah tinggal shalat, kalau memang tidak pernah shalat. Menunaikan Haji ke Baitullah berarti kita datang sebagai hamba, عبد. Abed itu pangkat tertinggi manusia dihadapan Allah swt. Sebab kata abed ini mengumpulkan sifat paling mulia manusia dan insaniah manusia.
Insaniah manusia ada dalam kata abed. Insan itu nama lain manusia untuk menekankan aspek ruhiah, spiritual & aspek-aspek non indrawi lainnya. Sedangkan basyar aspek fisik. Karena datang ke tanah suci sebagai abed, maka segala atribut, titel, pangkat, jabatan ditanggalkan dihadapan Allah Swt. Kita datang sbg abed, hamba yang faqir, sangat butuh rahmat Allah swt. Nabi berdoa agar selalu ditempatkan bersama golongan ini. Nabi berdoa; "Ya Allah hidupkanlah kami dalam keadaan miskin & wafatkanlah kami bersama orang miskin; senantiasa faqir atas rahmat Allah."
Menurut Maulana Habib Luthfi, Bumi di tanah suci Mekah-Madinah mempunyai keistimewaan 'weruh sajeroning winara'. Seperti tahu niat yang berpijak diatasnya. Oleh karena itu penting sekali menjaga niat dan akhlak. Dengan baiknya akhlak kekurangan kita selama di tanah suci akan tertutup. Kalau ada yang berperilaku buruk, jangan buruk sangka. Anggap saja orang itu ngajari agar kita tidak melakukan perilaku yang sama.
Sepanjang perjalanan, di mobil di pesawat banyak baca surat al-Quraish dan shalawat, terus dibaca sebanyak mungkin bergantian. Kalau ada sesuatu doakan & bertawasul kepada guru-guru Anda; baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Sebab mereka hidup & diberi rizki disisi Tuhannya (Qs. Ali Imran:169). Keluar rumah hendak berangkat, niat tawakal jangan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Tawakal untuk anak-anak yang dirumah, di tawakal di jalan, tawakal atas harta benda dll.
Dan Insya Allah menjaga dan mencukupi. Dan tawakal itu syaratnya ada dua; pertama yakin kepada Allah dan kedua usaha yang maksimal. Ditanah suci utamakan berdoa hal-hal bersifat akhirat; seperti dikuatkan Iman-Islam, diterima amal, diberi rizki yang halal, ilmu yg manfaat. Banyak meminta hal-hal ukhrawi harta dunia juga akan diberi. Dan jangan lupa doakan anak-cucu. Doakan mereka bener; saleh. Sebab kalau bener insya Allah pinter. Berdoa kepada Allah jangan tanggung-tanggung, minta yang banyak. Allah Maha Kaya "senang" banyak diminta.
Terakhir sebelum ditutup dengan do’a, Maulana Habib meminta jamaah yang akan berangkat mengeluarkan sedekah. Setelah dikumpulkan, terukumpul uang sejumlah Rp. 2.400.000. Kemudian  Maulana Habib Luthfi mengatakan; “Niatkan uang itu sedekah bersama, belikan beras dan berikan kepada tetangga, saudara yang membutuhkan dan kepada anak-anak yatim”. Dalam kesempatan yang berbeda Maulana Habib Luthfi mengatakan: “Jangan sampai berangkat haji tetangga kelaparan”.
Insya Allah menjadi haji yang mabrur. selamat di perjalanan, dan kembali ke tanah air berkumpul bersama keluarga. amin...

MENGENAL SYAIKH ABDUS SHOMAD AL-PALIMBANI

MENGENAL SYEIKH ABDUS ShOMAD AL-PALIMBANI DAN KARYANYA



Nusantara selain dikenal dengan kekayaan alam dan penghasil rempah, juga dikenal karena ulama-ulama besar asal Nusantara yang menjadi Guru Besar di Haramain, dengan banyak murid dari berbagai negara Islam, sebut saja Syeikh Nurudin al-Raniri, Syeikh Abdu Rauf al-Raniri, Syeikh Yusuf al-Makasari, Syeikh Abdu Somad al-Palimbani dan banyak ulama lainnya. Tulisan ini akan mencoba mengenalkan Maha Guru Islam di Indonesia Syeikh Abdus Somad al-Palimbani.


Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abdus Somad bin Abdurahman al-Jawi al-Palimbani. Lahir dan dibesarkan di Palembang pada tahun 1150 H atau 1736 M demikian menurut Kgs M. Zen dalam bukunyaFaidul Ihsani, buku biografi atas Syeikh Abdusamad al-Palimbani. Berbeda menurut Azumardi Azra, menurutnya satu-satunya sumber yang menyebut angka tahun kelahiran Abdus Somad al-Palimbani adalah Tarikh Salasilah Negeri Kedah, dalam buku itu disebutkan bahwa Abdusamad lahir sekitar 1116 H/ 1704 M. 


Ia dibesarkan dalam lingkungan “Keraton Kuto Ceracangan” (antara 17 dan 20 ilir sekarang). Karena ayahnya menjabat sebagai kepala penjaga Istana Kuto Ceracangan Kesultanan Pelambang Darus Salam pada masa Sultan Agung dan Sultan Muhamad Badrudin I. Ayahnya adalah seorang Sayid yang berasal dari Sana’a, Yaman dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah Semenanjung Melayu. Di kemudian hari setelah menjadi ulama besar Abdus Somad kerap berkunjung ke Yaman karena istrinya adalah seorang Syarifah dari keluarga al-Idrus yang berasal dari Yaman. Ibunya meninggal dunia tatkala usianya baru satu tahun. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, Abdu Somad juga mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama besar Palembang pada waktu itu, seperti : Tuan Faqih Jalaludin (w.1748), Hasanaudin bin Jakfar dan Sayid Hasan bin Umar Idrus.

Abdus Somad seorang anak yang cerdas dan memiliki ingatan yang kuat. kepada gurunya yang disebut terakhir ini, beliau belajar mengaji al-Quran serta tajwidnya dan ilmu-ilmu agama lainnya sehingga ia hafal kitab suci al-Quran dalam usia 10 tahun. Di usia ini pula ia mendapatkan malam lailat al-Qadar yang di dalamnya banyak terdapat keajaiban-keajaiban yang tak bisa dihinggakan. 

Kemudian beliau meneruskan studinya ke tanah suci Mekah dan Madinah bersama kedua sahabatnya dari Palembang, yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad Muhyidin bin Syihabudin. Di tanah suci tiga serangkai ini belajar dengan sungguh-sungguh selama 20 tahun kepada ulama-ulama terkemuka. Bidang yang paling digemari Abdus Somad adalah Tauhid dan Tasawuf. Dalam bidang ini ia belajar langsung kepada Syeikh Muhammad Samman al-Madani. Kepada guruna inilah ia mengambil tarekat Samaniyah yang zikirnya dikenal dengan Ratib Saman. Melalui Syeikh Abdu Somad Ratib Saman masuk dan berkembang di Indonesia hingga sekarang. Sebelum Terekat Samaniyah ia juga mengambil tarekat Syatariyah melalui Syeikh Ibrahim al-Kurani di Madinah.

Kitab Karangan Syeikh Abdus Somad al-Palimbani

Semasa hidupnya Syeikh Abdus Somad tidak hanya aktif dalam berdakwah ke berbagai daerah di Timur Tengah, tetapi juga menjadi seorang penulis yang produktif. Kitabnya ini sampai sekarang masih dibaca dan dipelajari di Palembang, terutama Hidayat al-Salikin. Adapun diantara karangannya tersebut adalah.

1. Zuhratul Murid (Mantiq, 1764)
2. Tuhfatut al-Ragibin (1774)
3. Urwatul al-Wusqa (Tarekat Samaniyah).
4. Ratib Abdus Somad
5. Zad al-Mutaqin (Tauhid)
6. Siwatha al-Anwar
7. Fadha’il Ihya li al-Gazali (Tasawuf)
8. Risalah Aurad dan Zikir
9. Irsyadan Afdhal al-Jihad
10. Nasihat al-Muslimin wa Tazkirawat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah (Perang Sabil
11. Hidayat al-Salikin (Tasawuf, 1778).
12. Sair al-Salikin (Tasawuf, 1779-1788)
13. Risalah Ilmu Tasawuf
14. Wahdatul Wujud.

Mal An Abdullah dalam bukunya Jejak Sejarah Abdusamad al-Palimbani menyebut 20 buku yang ditulis oleh Syeikh Abdusamad al-Palimbani. Menurut Mal An Abdullah ada satu buku yang masih diperdebatkan oleh para pakar apakah buku itu tulisan Abdusamad al-Palimbani ataukah tulisan al-Banjari, buku tersebut berjudul tuhfah al-Ragibin.

Hidayatus Salikin

Syeikh Abdusamad al-Palimbani mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara terutama tradisi pesantren. Dalam berbagai bidang keilmuan, hadis, fikih, tasawuf, tarekat dll Syeikh Abdusamad menjadi bagian mata rantai penting jaringan intelektual Nusantara dan negara-negara Islam lainnya. Misalnya kita dapat melihat posisi Syeikh Abdusamad dalam jaringan sanad yang disusun oleh Syeikh Yasin al-Padani, dalam semua jalur sanad kitab kuning terdapat nama Syeikh Abdusamad al-Palimbani yang menghubungkan murid-murid setelahnya dengan para penyusun kitab itu, baik ulama Nusantara maupun manca negara.

Dengan demikian tidak heran jika beberapa kita Syeikh Abdus Somad al-Palimbani dicetak di Mekah, Mesir dan Singapura, beberapa diantaranya masih beredar hingga sekarang. Diantara kitab Syeikh Abdusamad yang masih beredar adalah Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Mutaqin, kitab ini selesai ditulis pada 5 Muharam 1192 H atau 1778 M.

Kitab yang diadaptasi dari karya Imam al-Ghazali yang berjudulBidayatul Hidayah ini –sebagaimana kitab karya al-Palimbani lainnya- ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan Arab Pegon. Menurut Ahmad Patani salah seorang ulama dari Patani Thailand, Hidayatus Salikin adalah “... permulaan kitab Melayu yang dicapkan dia pada negeri Mesir”, kitab Melayu pertama yang di cetak di Negara Mesir.

Karya ulama besar yang mengharumkan Indonesia ini diterbitkan kembali oleh penerbit Pusataka Hikmah Perdana, gaya bahasa ditulis sebagaimana stuktur bahasa dalam kitab aslinya. Menurut penerbit hal tersebut dilakukan untuk menjaga kemurnian naskah, dan bahasa yang digunakan pada masa itu, kini masih dapat dipahami oleh generasi saat ini.

“Adapun pada ilmu tasawuf yaitu barang yang menyelamatkan seluruh amal lahir dari fasad, dan yang membatalkannya, semisal yang membatalkan pahala shalat seperti riya, ujub, sum’ah dll... Kata Sayid Abdul Qadir al-Idrus dalam kitab Darus Tsamin: dan bagi yang menghasilkan ilmu tasawuf sekedar fardhu ain, memadailah dengan mengamalkan barang yang di dalam kitab Minhajul Abidin karangan Imam al-Ghazali, dan mengenal lebih detail ilmu batin ini bukannya fardhu ‘ain”

Demikian contoh bagaimana gaya bahasa Syeikh Abdusamad dalam bukunya. Dengan membaca buku ini kita diajak bernostalgia ke era dimana bahasa Melayu menjadi lingua pranca, bahasa internasional, para pedagang dari belahan dunia harus menguasai bahasa Melayu untuk berdagang di Asia Tenggara. Bahkan menurut Prof. Sayid Naquib Alatas, bahasa melayu adalah satu dari sedikit bahasa yang memadai menjadi bahasa kedua setelah bahasa Arab yang mampu mengakomodasi kata-kata kunci dalam Islam.

Syeikh Abdusamad al-Palimbani wafat pada 1200/1785. Namun Menurut Mal An Abdullah al-Palimbani wafat secara syahid di Medan Perang Kedah Melawan Siam tahun 1259/1839. Ala Kuli hal selamat membaca dan berdialog dengan Maha Guru Islam di Nusantara Syeikh Abdus Somad bin Abdurahman al-Palimbani.(admin)

Sumber : HabibLutfi.net

KUNCI SEGALA KESULITAN

KUNCI SEGALA KESULITAN


Maulana Habib Luthfi bin Yahya menguraikan Bab Yakin dalam kitab Jami' Ushul al-Auliya'. Yakin yang pertama adalah terhadap syariat Allah. Allah Swt. menghalalkan sesuatu, kita yakin untuk menghalalkannya. Yang telah diharamkan, kita harus berani menyatakan itu haram. Didasari dengan iman dan keyakinan. Yakin itu akan memunculkan iman. Masuk akal atau tidak kita akan meyakini apa-apa yang tercantum dalam kitab Allah dan sunnah Baginda Nabi Saw.

Yakin yang kedua adalah terhadap ubudiyah dan muamalah, seperti di dalam dunia tasawuf dan thariqah. Keyakinan di sini jelas terhadap Allah Swt. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan diberinya rizki yang tak disangka-sangka." (QS. ath-Thalaq ayat 2-3). 

Keyakinannya langsung terhadap Allah Swt. Tapi terkadang kita membutuhkan bukti untuk bisa yakin. Maka dalam setiap shalat fardhu 5 waktu, shalat malamnya, shalat Dhuha dan ibadah lainnya terkadang timbul pertanyaan mengapa Allah masih memberikan kesulitan?


Padahal kita yakin bahwa siapa yang bertakwa niscaya akan diberi kemudahan dan diberikan rizki yang tak disangka-sangka. Secara teori memang gampang. Tapi untuk bisa meyakinkan itu tidak mudah tanpa didasari ma'rifah kepada Allah Swt. Secara keimanan kita meyakini firman Allah Swt., namun sebagai orang awam kita selalu inginnya mengejar dan mengejar. Tapi apabila kita yakin dengan didasari ma'rifah kepada Allah Swt., pasti akan berkembang, tidak langsung menyalahkan firman Allah Swt. di atas. Untuk meningkatkan "man yattaqillah" itu tidak serta-merta. Contohnya orang sakit, merasakan bagaimana kita sendiri atau melihat orang lain sakit, hatinya terus khawatir dan khawatir.

Ada yang memelihara kekhawatirannya tidak kembali kepada Allah, dan adapula yang dikembalikan kepada Allah. Kalau tidak kembali kepada Allah Swt., itu ngawur dan semrawut, kemana-kemana akan merasakan kebingungan. Adapun orang yang memiliki khawatir kepada Allah dan hatinya tetap terpaut kepada Allah, dia akan berikhtiar "liziyadah ath-tha'ah" (untuk menambah ketaatannya kepada Allah Swt.).

Dan dia yakin, "Pasti Allah akan memberikan kesembuhan." Dia mendahulukan keyakinannya yang didasari ma'rifah dan berhusnudzan kepada Allah Swt. Dengan rasa khawatirnya yang demikian dia akan semakin semangat dalam beribadah dan berintrospeksi diri.

Dari keyakinan seperti itulah yang akan memunculkan sifat husnudzan (baik sangka) pada Allah Swt. Ada seseorang yang sangat yakin dan mantap atas firman Allah Swt. dalam ayat:
 وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. ath-Thalaq ayat 3). Orang tersebut sangat kesulitan mencari rizki di negaranya sendiri.

Sehingga suatu waktu ia bertekad berhijrah keluar kota sebagai bentuk ikhtiar untuk memperbaiki rizki pada diri dan keluarganya. Maka dangan tawakkal kepada Allah Swt. dan memasrahkan diri dan keluarganya kepadaNya, dia segera izin kepada istrinya.

Hal yang seperti itu memang disunnahkan untuk orang yang mengalami kesulitan dalam usaha di negerinya. Sang istri yang tengah hamil tua itu pun lalu bertanya, "Mas, lalu bagaimana dengan bayi kita yang sebentar lagi akan lahir?" "Urusan anak sudah saya pasrahkan kepada Allah Swt." Jawab sang suami yang kemudian berangkat berhijrah ke negeri orang lain. Ternyata Allah memberikan kemudahan kepadanya. Selang beberapa saat, maka dia pun pulang dengan rizki yang sangat melimpah, hingga puluhan kafilah dari negeri jiran yang harus membawakan barang-barang miliknya.

Tapi ketika dia pulang ke rumah dan hendak menemui sang istri tercinta beserta anaknya, dengan hati gembira dan rizki di tangannya, ternyata mereka telah tiada dan meninggal dunia. Hanya sambutan tetesan air mata sang ibu dari istrinya saat menjemput kedatangannya. Lalu diapun segera pergi ke pusara sang istri. Tapi anehnya setiap kali dia berziarah, di sana selalu mendengar suara tangisan bayi dari kuburnya. Suaranya terus didengar olehnya, hingga didengar pula oleh semua orang yang berada di sekitar makam tersebut.

Hingga akhirnya datanglah Syaikh Malik bin Dinar Ra., mengucapkan salam dan bertanya kepadanya, "Ya Abdullah, apa sih keistimewaan kalian sampai-sampai Rasulullah mengutusku untuk datang ke tempatmu? Tiga kali Nabi Saw. datang kepadaku, beliau menitipkan salam untukmu wahai Abdullah bin Basyir." Dijawab, "Kiai, saya tidak memiliki amal apapun selain shalat 5 waktu." Setiap ditanya dia tetap tidak mengakui karena tidak merasa memiliki amal selain shalat 5 waktu. Setelah menyampaikan salam dari Rasulullah Saw. untuk Abdullah bin Basyir, Syaikh Malik bin Dinar lalu melanjutkan amanat yang kedua untuk memerintahkan agar segera mengambil anaknya yang masih hidup di dalam kubur. Maka diapun segera pergi ke makam sang istri lalu menggalinya. Dan ternyata benar, sang bayi masih hidup. Bahkan bayi itu sedang menyusu pada sang ibu yang telah mati, namun air susunya masih segar laksana menyusu kepada orang yang masih hidup.

Ketika hendak diambil bayi itu bahkan seakan tidak mau berpisah dari ibunya. Lalu Syaikh Malik bin Dinar berucap, "Inilah bukti keyakinan atas firman Allah Swt.:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

"Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. ath-Thalaq ayat 3)." 

Jadi ikhtiar kita itu untuk menambah dan memperkuat keyakinan, bukan untuk keyakinan. Semakin kuat keyakinan kita maka akan memperkokoh keimanan kita. Keimanan yang kokoh dan didasari dengan huznudzan kepada Allah Swt. Itulah kunci dari segala kesulitan kita. Wallahu a'lam.

Saturday 12 August 2017

KISAH YANG MEMBUAT RASULULLAH SAW TERSENYUM DAN MENANGIS


KISAH YANG MEMBUAT RASULULLAH TERSENYUM DAN MENANGIS.

Pernah Suatu ketika Rasulullah ﷺ bangun dari tidurnya lalu baginda ﷺ tersenyum. Perkara itu dilihat oleh Sayyidina Umar lalu ditanya.. "Ya Rasulullah ﷺ mengapakah engkau tersenyum selepas kau bangun dari tidur tadi?" .

Jawab Rasulullah ﷺ "Aku bermimpi mendapati diakhirat ada dua orang, yang mana seorang itu orang yang dizalimi dan seorang itu lagi orang yang menzalimi kepada yang dizalimi itu.

Orang yang dizalimi itu berkata, "Wahai Allah,sesungguhnya dia menzalimi kepadaku didunia" 
Lalu orang yang dizalimi itu diberi peluang oleh Allah ﷻ untuk ambil segala pahala, kebaikan yang ada pada orang yang zalim itu sehinggakan tiada lagi pahala dan kebaikan pada orang zalim itu .

Tidak mencukupi pula sehinggakan diberi pula dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang yang dizalimi itu kepada orang yang menzalimi itu. Hanya tinggal dosa yang banyak kepadanya, tiada lagi pahala walaupun sikit .

Ketika Rasulullah ﷺ menceritakan kisah mimpinya itu, lalu Baginda ﷺ menangis. 
Lalu Baginda mengatakan, 
Allah ﷻ berkata kepada orang yang dizalimi, "Wahai fulan, angkat kepalamu" 
Lalu mendapati akan orang yang dizalmi itu suatu keindahan yang luar biasa, lalu dia bertanya "Wahai Allah ini sungguh indah, Nabi siapa yang punya? Orang Siddiq siapa yang punya? Orang syahid siapa yang punya?" Lalu Allah ﷻ menjawab, "Keindahan ini adalah kepunyaan orang yang mempunyai bayaran yang boleh dibayar oleh Allah"lalu Beliau tanya lagi "Apa bayarannya wahai Allah?" .

Berkata Allah ﷻ, "Bayarannya ialah memaafkan orang lain" orang yang dizalimi itu mengatakan "Wahai Allah aku memaafkan orang yang menzalimi aku itu" .

Allah ﷻ berkata pula kepadanya, "Wahai fulan ambil lah tangan orang yang menzalimi kepadamu itu pergi masuk ke syurga sana"

Lalu dibawa tangannya menuju ke syurga. Disebabkan perkara Ini yang membuatkan Rasulullah ﷺ tersenyum.
____________________________________ • Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid
#DarMedia #DarulMurtadza #1438H

Wednesday 9 August 2017

KISAH PENDETA YAHUDI YANG MASUK ISLAM SETELAH MELIHAT TANDA KEBESARAN RASULULLAH SAW.

Kisah Zaid bin Sanah, Pendeta Yahudi yang Masuk Islam Setelah Melihat Tanda Kebesaran Rasulullah SAW


Perjalanan hidup seseorang dalam mencari hidayah petunjuk Allah Swt untuk membuktikan kebenaran ajaran dan kitab suci yang dianutnya, memerlukan cara dan metode yang berliku. Untuk itulah salah satu dari pendeta Yahudi ini ingin membuktikan kebenaran itu dengan cara menguji langsung kepada orang yang telah disebutkan dalam kitab sucinya maka iapun berusaha membuktikanya sendiri akhirnya iapun menemukan petunjuk dan hidayahnya.  

Diriwayatkan oleh At-Thabrani dari Abdullah bin Salaam r.a bahwa pada suatu hari Rasulullah s.a.w keluar bersama sahabat-sahabat beliau, di antara salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib r.a.

Tiba-tiba datang menemui Rasulullah Saw seorang Badui dengan mengendarai seekor kuda, lalu ia menghampiri dan mendekat seraya  berkata, "Ya Rasulullah di kampung itu ada sekumpulan manusia yang sudah memeluk Agama Islam dengan mengatakan bahwa jika memeluk Islam, mereka akan mendapat rahmat dan rezeki dari Allah. Tetapi sesudah mereka semua memeluk Islam, maka terjadilah musim kemarau yang berkepanjangan sehingga mereka ditimpa kelaparan dan kehausan.

Saya khawatir ya Rasulullah jika mereka kembali kufur meninggalkan Islam, karena soal perut, karena mereka memeluk Islam juga karena soal perut. Saya menginginkan engkau mengirimkan bantuan kepada mereka untuk mengatasi bahaya kelaparan yang menimpa mereka itu."

Mendengar keterangan itu. Rasulullah s.a.w lalu memandang Ali bin Abu Thalib. Ali mengerti maksud pandangan itu kemudian Ali ra berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada lagi bahan makanan pada kita untuk membantu mereka."

Zaid bin Sanah, seorang pendeta Yahudi yang turut mendengarkan laporan orang Badui dan jawaban Ali bin Abu Thalib lalu mendekatlah ia kepada Rasulullah s.a.w dan berkata, "Wahai Rasulullah, kalau engkau suka, akan saya belikan kurma yang baik lalu kurma itu dapat engkau beli dariku  dengan hutang dan dengan perjanjian."

Berkata Rasulullah s.a.w, "Jangan dibeli kurma itu sekiranya kau berharap aku berhutang kepadamu, tetapi belilah kurma itu dan berilah kami pinjaman dari engkau." 

"Baiklah," jawab Zaid bin Sanah sang pendeta Yahudi itu.

Zaid bin Sanah kemudian membeli buah kurma yang kualitas terbaik lalu menyerahkan kepada Rasulullah s.a.w dengan perjanjian-perjanjian tertentu dan akan dibayar kembali dalam jangka waktu yang tertentu pula,kemudian Rasulullah s.a.w menerima kurma itu, lalu diserahkan kepada orang Badui untuk dibagikan kepada penduduk kampung yang ditimpa bencana itu.

Beberapa hari berselang sebelum jatuh tempo perjanjian pembayaran hutang Rasulullah Saw yang waktu itu sedang  menziarahi orang mati bersama Abu Bakar, Umar, Usman dan beberapa orang sahabat yang lain.Setelah selesai mensholatkan jenazah tersebut, Rasulullah s.a.w pergi ke suatu sudut untuk duduk lalu Zaid bin sanah menghampirinya dengan memegang erat-erat bajunya dan berkata kepadanya dengan sekasar-kasarnya. "Hai Muhammad, bayar hutangmu kepadaku, aku tahu bahwa seluruh keluarga Abdul Muthalib itu selalu mengulur ulurkan waktu untuk  membayar hutang!"

Mendengar kata-kata yang kasar itu, sekita itu juga wajah Umar bin Khattab yang berada disisi Rasulullah menjadi merah padam,kemarahannya pun memuncak ,lalu berkata kepada pendeta yahudi  "Hai musuh Allah!, engkau berkata begitu kasar terhadap Rasulullah dan berbuat tidak sopan. Demi Allah kalau tidak karena rasa hormatku terhadap Rasulullah s.a.w yang berada di sini, sungguh tentu akan ku potong lehermu dengan pedangku ini."

Rasulullah memandang kepada pendeta Yahudi itu dalam keadaan tenang dan biasa saja, lalu berkata kepada Umar, "Hai Umar, antara saya dengan dia ada urusan hutang piutang yang belum selesai. Sebaik-baiknya engkau menyuruh aku membayar hutang itu dan menganjurkan kepadanya untuk berlaku baik menuntut hutangnya. Hai Umar, pergilah bersama dia ke tempat penyimpanan kurma, bayarlah hutang itu kepadanya dan tambahlah duapuluh gantang sebagai hadiah untuk menghilangkan rasa marahnya."

Setelah Umar membayar hutang itu dengan tambahan tersebut, lalu sang pendeta yahudi Zaid bin Sanah pun bertanya kepada Umar, "Kenapa ditambah hai Umar?" Berkata Umar, "Aku diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w untuk  ini sebagai hadiah kemarahan engkau."
Kemudian Zaid bin Sanah berkata,"Hai Umar, kenalkah engkau siapa aku?" tanya Zaid bin Sanah. "Tidak," jawab Umar. "Akulah pendeta Yahudi Zaid bin Sanah."

"Engkau ini pendeta Zaid bin Sanah?," tanya Umar agak terkejut. "Ya," jawab Zaid bin Sanah ringkas.

"Kenapa engkau berbuat demikian rupa terhadap Rasulullah s.a.w? Engkau berlaku begitu kasar dan begitu menghina?," Tanya Umar lagi.

Zaid bin Sanah menjawab, "Hai Umar, segala tanda kenabian yang aku dapati dalam kitab Taurat sudah aku temui pada diri Rasulullah itu. Selain dua perkara yang aku sembunyikan dan tidak aku sampaikan kepada Rasulullah yaitu  perasaan sayang santunnya selalu mengalahkan perasaan marahnya. Makin marah orang kepadanya, makin bertambah rasa kasih sayangnya terhadap orang yang marah itu.

Dengan kejadian itu hai Umar yang sengaja aku lakukan untuk membuktikan apakah beliau seorang yang diceritakan dalam taurat dan sudah mengetahui dan melihat sendiri kedua sifat itu terdapat pada diri Muhammad itu. Aku bersumpah di depanmu hai Umar, bahwa aku sungguh-sungguh suka dan ridha dengan Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabi dan panutanku."

Umar dan Zaid bin Sanah pun kembali menemui Rasulullah s.a.w. Setelah berhadapan dengan Rasulullah s.a.w, lalu berkata Zaid bin Sanah,langsung berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat "Aku bersaksi bahawa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya."

Setelah keislamanya Zaid bin Sanah turut berjuang dan bertempur bersama Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin hampir di setiap medan perang dan akhirnya mati syahid di medan Perang Tabuk.

Demikianlah caranya bagaimana seorang pendeta Yahudi yang dihormati dan disegani kaumnya yaitu Zaid bin Sanah,mendapatkan petunjuk keislaman dan beriman kepada Allah dan  Rasulullah s.a.w dan bersumpah akan membela Islam sehingga akhir hayatnya. Subhanallah 


Suara Islam.com

JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...