Saturday, 30 September 2017

SUAMIMU SURGA DAN NERAKAMU

*SUAMIMU SURGA DAN NERAKAMU.*

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada bibinya Hushain bin Mihshon radhiyallahu’anhuma,
“Apakah engkau memiliki suami? Dia berkata: Ya. Beliau bersabda: Bagaimana posisimu baginya? Dia berkata: Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali yang aku tidak mampu untuk menunaikannya. Beliau bersabda: Perhatikan kedudukanmu bagi suamimu, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan nerakamu.” [HR. An-Nasaai]
Al-Munawi rahimahullah berkata,
. “Maknanya: Suamimu adalah sebab yang memasukkanmu ke surga karena keridhoannya kepadamu, dan sebab yang memasukkanmu ke neraka karena kemarahannya kepadamu, maka perbaguslah dalam mempergaulinya dan janganlah menyelisihi perintahnya yang bukan maksiat kepada Allah.” [Faidhul Qodir, 3/78]
Beberapa Pelajaran:
1) Agungnya hak suami atas istri, dan itu sebanding dengan tanggung jawabnya yang besar untuk menafkahi, melindungi dan menjaga istrinya dari api neraka.
2) Durhaka kepada suami termasuk dosa besar.
3) Wajib bagi istri menuruti semua perintah suami selama bukan kemaksiatan kepada Allah ta’ala, walau pun tidak sesuai dengan kemauan istri atau keluarga istri.
4) Saling menjaga, memperhatikan dan memenuhi hak dan kewajiban antara suami istri adalah sebab keharmonisan rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat.
5) Pentingnya ilmu agama dalam rumah tangga, dengan ilmu bahtera rumah tangga lebih terarah, dan dengan ilmu riak-riak gelombang yang menerpanya dapat dihadapi dan dilalui dengan baik insya Allah ta’ala.

Saturday, 23 September 2017

PENGERTIAN TAUHID DAN MACAM-MACAM TAUHID

Pengertian Tauhid dan Macam-macam Tauhid Berdasarkan kandungan dalam Al-Quran

Dalam bahasa Arab tauhid merupakan mashdar yang merupakan kata benda yang berasal dari kata wahdana. Apabila yang dimaksud adalah Wahdana Syai’a memiliki arti sesuatu itu satu. Sedangkan jika dikaji menurut ilmu syariat Tauhid memiliki arti meyakini ke-Esaan Allah. Yang disebut sebagi ilmu Tauhid adalah ilmu yang didalamnya membahas tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pad dalil-dalil yang benar. Berikut ini merupakan dalil yang berkaitan dengan ilmu tauhid.
“Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS 42:11)

Dari arti ayat diatas, dikatakan bahwa seluruh alam semesta ini diciptkan oleh Allah, dan tidak ada pelaku yang bertindak sendiri dan merdeka sepenuhnya selain Allah. Jadi sangat mustahil jika ada yang menyamai ke-Esaan NYA.
Tauhid merupakan sebuah kata yang terdapat dalam beberapa hadist Nabu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ada di dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Kamu akan datangi suatu kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dalam dakwah yang akan kamu sampaikan pertama kali yaitu agar mereka mentauhidkan terhadap Allah”. 
Begitu pula dalam perkataan para sahabat Nabi yang mengatakan, “Rasulullah membaca tahlil dengan tauhid”. Dalam pengucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang dilantunkan saat memulai ibadah haji. “
Para ulama membagi pemaham tauhid menjadi 3 bagian, yaitu tauhid berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian tersebut terkumpul dalam firman atau sabda Allah di dalam Al Qur’an: QS.Maryam ayat 65 , yang artinya
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“RABB (PENGUASA) LANGIT DAN BUMI SERTA SEGALA SESUATU YANG BERADA DI ANTARA KEDUANYA, MAKA SEMBAHLAH DIA DAN TEGUHKAN HATI DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA. APAKAH KAMU TAHU BAHWA ADA SEORANG YANG SAMA DENGAN DIA (YANG BERHAK DISEMBAH)?” (MARYAM: 65).
Pemahaman ayat diatas, berikut ini.
  • Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb yang menguasai langit dan bumi) merupakan ketetapan tauhid rububiyah.
  • Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia serta berteguh hatilah ketika dalam beribadah kepada-Nya) merupakan ketetapan tauhid uluhiyah.
  • Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahuinya bahwa ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan ketetapan tauhid asma’ wa shifat.

Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu meng-Esakan Allah dalam hal Penciptaan, Kepemilikan serta pengurusan. Perhatikan dalil berikut ini :
أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“INGATLAH, YANG MENCIPTAKAN DAN MEMERINTAHKAN HANYALAH HAK BAGI ALLAH” (AL- A’RAF: 54).

Pengertian Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat. [3]


Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah disebut juga sebagai tauhid ibadah. Disebut sebagai tauhid Uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah SWT dan disebut sebagai tauhid ibadah karena penisbatannya kepada Makhluknya atau terhadap Hamba-NYA. Untuk memudahkan dalam pengartiannya, Tauhid Uluhiyah adalah tauhid yang meng-Esakan Allah dalam hal Ibadah, yaitu hanya Allah satu-satunya yang memiliki Hak untuk disembah.
Dalam Firman Allah Ta’ala
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
”DEMIKIANLAH, KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH, DIALAH YANG HAKIKI DAN SESUNGGUHNYA YANG MEREKA SERU SELAIN ALLAH ADALAH YANG BATIL” (LUQMAN: 30).

Pengertian Tauhid Uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah?? [4]

Tauhid Asma’wa Shifat

Maksud dari Tauhid Asma’wa Shifat yaitu Peng-Esaan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan Sifat-sifat yang di miliki-NYA. Tauhid ini mewakili dua hal yaitu ketetapan dan kenafi’an, yang berarti kita harus menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah.
Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
”TIDAK ADA SATUPUN YANG SERUPA DENGAN-NYA, DAN DIALAH YANG MAHA MENDENGAR LAGI MAHA MELIHAT.” (ASY-SYUURA: 11).
Maka barang siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau menakwilkan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasulnya.

Pengertian Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’alaberfirman yang artinya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya. [5]

Keterkaitan antara Tauhid Rubbiyah dan Tauhid Uluhiyah

Antara Tauhid Rubbiyah dan Tauhid Uluhiyah memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena pada Tauhid Rububiyah merupakan mengkonsekuensikan tauhid Uluhiyah. Yang artinya pengauan seseorang kepada tauhid Rububiyah yang mengharuskan pengakuannya kepada tauhid uluhiyah.
Jadi, jika seseorang sudah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan Alam Semesta dan mengatur segala urusannya, maka ia juga wajib untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak ada sekutu bagi-NYA.
Sedangkan pada Tauhid Uluhiyah mengandung bagian dari Tauhid Rububiyah, yaitu barang sipa yang melaksanakan ibadah kepad Allah dan tidak menyekutukan-NYA maka ia yakin bahwa Allah lah Tuhan dan pencipta Alam Semesta. Seperti yang pernah di katakan oleh Nabi Ibrahi a.s dalam QS.Asy- Syu’araa ayat 75-82.
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}
“IBRAHIM BERKATA: “MAKA APAKAH KAMU TELAH MEMPERHATIKAN APA YANG SELALU KAMU SEMBAH (75), KAMU DAN NENEK MOYANG KAMU YANG TERDAHULU? (76), KARENA SESUNGGUHNYA APA YANG KAMU SEMBAH ITU IALAH MUSUHKU, KECUALI TUHAN SEMESTA ALAM (77), (YAITU TUHAN) YANG TELAH MENCIPTAKAN AKU, MAKA DIALAH YANG MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADAKU (78), DAN TUHANKU, YANG DIA MEMBERI MAKANAN DAN MINUMAN KEPADAKU (79), DAN APABILA AKU SEDANG SAKIT, DIALAH YANG DAPAT MENYEMBUHKANKU (80), DAN YANG AKAN MEMATIKAN AKU, KEMUDIAN AKAN MENGHIDUPKAN AKU (KEMBALI) (81), DAN YANG AMAT AKU INGINKAN AKAN MENGAMPUNI KESALAHANKU DI HARI KIAMAT (82)” (ASY- SYU’ARAA’: 75-82).
Karena itulah antara keduanya memiliki keterkaitan dan kadang-kadang dalam ayat atau pun hadis makna nya disebutkan secara bersamaan.

Keutamaan Tauhid

  1. Orang yang bertauhid kepada Allah akan dihapus dosa-dosanya.
    Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman:
…يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.
‘…Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. At-Tirmidzi (no. 3540), ia berkata, “Hadits hasan gharib.”)
  1. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan mendapatkan petunjuk yang sempurna, dan kelak di akhirat akan mendapatkan rasa aman. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. ” [Al-An’aam: 82]
Di antara permohonan kita yang paling banyak adalah memohon agar ditunjuki jalan yang lurus:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.” [Al-Faatihah: 6-7]
Yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baik-nya.” [An-Nisaa’: 69]
Kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat, yaitu jalannya kaum Yahudi dan Nasrani.
  1. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dihilangkan kesulitan dan kesedihannya di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًاوَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka…” [Ath-Thalaq: 2-3]
Seseorang tidak dikatakan bertakwa kepada Allah kalau dia tidak bertauhid. Orang yang bertauhid dan bertakwa akan diberikan jalan keluar dari berbagai masalah hidupnya.
  1. Orang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan menjadikan dalam hatinya rasa cinta kepada iman dan Allah akan menghiasi hatinya dengannya serta Dia menjadikan di dalam hatinya rasa benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ ۚ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“…Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman itu) indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” [Al-Hujurat: 7]
  1. Tauhid merupakan satu-satunya sebab untuk mendapatkan ridha Allah, dan orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengatakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.
  2. Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dijamin masuk Surga.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.” (HR. Muslim (no. 26))
مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk Surga.” (HR. Muslim (no. 93))
  1. Orang yang bertauhid akan diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kemenangan, pertolongan, kejayaan dan kemuliaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [Muhammad: 7]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu apapun. Tetapi barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nuur: 55]
  1. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diberi kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl: 97]
9.Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di Neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟
“Setelah penghuni Surga masuk ke Surga, dan penghuni Neraka masuk ke Neraka, maka setelah itu Allah Azza wa Jalla pun berfirman, ‘Keluarkan (dari Neraka) orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi iman!’ Maka mereka pun dikeluarkan dari Neraka, hanya saja tubuh mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu mereka dimasukkan ke sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah) sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di pinggiran sungai. Tidakkah engkau perhatikan bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?” (HR. Bukhari no.22)
  1. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, maka amal yang sedikit itu akan menjadi banyak.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [Al-Mulk: 2]
Dalam ayat yang mulia tersebut, Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan “amal yang baik”, tidak dengan “amal yang banyak”. Amal dikatakan baik atau shalih bila memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) Ikhlas, dan (2) Ittiba’ (mengikuti contoh) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ pada hari Kiamat lebih berat dibandingkan langit dan bumi dengan sebab ikhlas.
  1. Mendapat rasa aman. Orang yang tidak bertauhid, selalu was-was, dalam ketakutan, tidak tenang. Mereka takut kepada hari sial, atau punya anak lebih dari dua, takut tentang masa depan, takut hartanya lenyap dan seterusnya.
  2. Tauhid merupakan penentu diterima atau ditolaknya amal kita. Sempurna dan tidaknya amal seseorang bergantung pada tauhidnya. Orang yang beramal tapi tidak sempurna tauhidnya, misalnya riya, tidak ikhlas, niscaya amalnya akan menjadi bumerang baginya, bukan mendatangkan kebahagiaan baik itu berupa shalat, zakat, shadaqah, puasa, haji dan lainnya. Syirik (besar) akan menghapus seluruh amal.
  3. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diringankan dari perbuatan yang tidak ia sukai dan dari penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, jika seorang hamba menyempurnakan tauhid dan keimanannya, niscaya kesusahan dan kesulitan dihadapinya dengan lapang dada, sabar, jiwa tenang, pasrah dan ridha kepada takdir-Nya.
Para ulama banyak menjelaskan bahwasanya orang sakit dan mendapati musibah itu harus meyakini bahwa:
  1. Penyakit yang diderita itu adalah suatu ketetapan dari Allah Azza wa Jalla. Dan penyakit adalah sebagai cobaan dari Allah.
  2. Hal itu disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiyat yang ia kerjakan.
  3. Hendaklah ia meminta ampun dan kesembuhan kepada Allah Azza wa Jalla, serta meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla sajalah yang dapat menyembuhkannya.
14. Tauhid akan memerdekakan seorang hamba dari penghambaan kepada makhluk-Nya, agar menghamba hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja yang menciptakan semua makhluk.
Artinya yaitu orang-orang yang bertauhid dalam ke-hidupannya hanya menghamba, memohon pertolongan, meminta ampunan dan berbagai macam ibadah lainnya, hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata.
  1. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dimudahkan untuk melaksanakan amal-amal kebajikan dan meninggalkan kemungkaran, serta dapat menghibur seseorang dari musibah yang dialaminya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla untuk memohon segala kebaikan dan dijauhkan dari berbagai macam kejelekan serta dijadikan setiap ketentuan (qadha) itu baik untuk kita. Do’a yang dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:
اَللَّهُمَّ …وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا.
“Ya Allah…, dan aku minta kepada-Mu agar Engkau menjadikan setiap ketetapan (qadha) yang telah Engkau tetapkan bagiku merupakan suatu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah (no. 3846), Ahmad (VI/134), al-Hakim dan ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi (I/522))
Salah satu rukun iman adalah iman kepada qadha’ dan qadar, yang baik dan yang buruk. Dengan mengimani hal ini niscaya setiap apa yang terjadi pada diri kita akan ringan dan mendapat ganjaran dari Allah apabila kita sabar dan ridha.

  1. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas dan benar akan dilapangkan dadanya.
  2. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas, jujur dan tawakkal kepada Allah dengan sempurna, maka akan masuk Surga tanpa hisab dan adzab. [6]
Demikian pembahasan yang diberikan tentang Pengertian Tauhid dan Macam-Macam Tauhid , semoga informasi yang diberikan bermanfaat, sampai jumpa di artikel selanjutnya 

Tuesday, 19 September 2017

BIOGRAFI PENGARANG KITAB MAULID BARZANJI

Biografi Pengarang Kitab Maulid Barzanji 

(Syaikh Ja'far Al-Barzanji)


Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah. Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
  
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini!
  
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah.

 Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
  
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
  
*) Diambil dari berbagai sumber

Wednesday, 13 September 2017

KUMPULAN KITAB-KITAB MAULID

Senarai Karya Kitab-Kitab Maulid

Karya-karya tulis yang berisi Al-Mada’ih An-Nabawiyyah (puji-pujian bagi Nabi Muhammad SAW), yang lazim dibacakan saat peringatan Maulid, biasa kita sebut kitab-kitab Maulid.FaceboTwitteG
Kebanyakan penulis kitab Maulid adalah hafizh, muhaddits (ahli hadits), dan ulama yang termasyhur. Hafizh ada­lah sebutan bagi orang yang telah menghafal setidaknya seratus ribu hadits berikut sanadnya. Dan mereka telah terlebih dahulu menghafal Al-Quran. Tentunya mereka menyusun kitab Maulid berdasarkan ilmu mereka yang bagaikan samudera. Riwayat yang mereka tuliskan berdasarkan hadits-hadits shahih yang mereka ketahui sanadnya. Jelaslah bagi umat Islam bahwa momentum Maulid Nabi begitu dimuliakan oleh para ulama silam.
Tidak sedikit kitab Maulid yang ditulis dalam bentuk syair dan mempunyai nilai sastra yang sangat tinggi. Rasulullah sendiri amat senang akan syair yang indah. Tercatat di dalam hadits riwayat Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan kitab-kitab lain, Rasulullah SAW bersabda, “Terdapat hikmah di dalam syair.” Bahkan sepupu beliau, AI-‘Abbas, mengarang syair yang memuji kelahiran Nabi SAW:
Kala dikau dilahirkan
bumi bersinar terang
Hingga nyaris pasak-pasak bumi
tak mampu menanggung cahayamu

Dan kami dapat terus melangkah
lantaran sinar, cahaya,
dan jalan yang terpimpin
Petikan itu tercatat di dalam kitab As-Suyuthi, Husn Al-Maqashid, dan di da­lam kitab Ibnu Hajar, Fath Al-Bari. Me­reka menyusun kitab Maulid berdasarkan hadits-hadits shahih dan ilmu mereka.
 Tradisi membaca kitab Maulid kemudian tidak hanya berlaku di majelis per­ingatan Maulid atau pada bulan Maulid, melainkan juga pada bulan-bulan dan dalam berbagai kesempatan. Karya Habib Utsman adalah salah satu contoh karya yang lazim dibaca pada peringatan Isra Mi’raj di tanah Betawi sejak tempo doeloe.
 Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Mallki dalam kitabnya Hawl al-lhtifal bi I Dzikr al-Mawlid an-Nabawiy asy-Syarif, karena banyaknya ulama yang menulis itu, sulit untuk memerincinya, dan tidak bisa dikatakan ulama yang satu lebih utama daripada yang lainnya. Meskipun demikian, menurutnya, sebagian kitab itu memang lebih utama dibandingkan yang lain. Seluruh ulama yang telah menulis tentang Maulid ini sesungguhnya cukup menjadi petunjuk bagi umat Islam akan keutamaan dan kemuliaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Berikut senarai karya kitab maulid :
 Kitab AI-‘Arus, karya Al-imam Al-Muhaddlts Al-Hafizh Abdurrahman bin Ali, yang terkenal dengan sebutan Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H/1200 M). Kitab ini telah dicetak di Mesir berulang kali.
  1. At-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir, karya Al-lmam Al-Muhaddits Al-Musnld Al-Hafizh Abu Al-Khaththab Umar bin Ali bin.Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibn Dahyah Al-Kalbi (wafat tahun 633 H/1235 M).
  2. Urfat-Ta’rifbial-Maulidasy-Syarif, Karya Al-lmam Syaikh Al-Qurra’ wa imam Al-Qiraat Al-Hafizh Al-Muhaddits al-Musnid Al-Jami’ Abul-Khair Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Al-Juzuri Asy-Syafi’i (w. tahun 660 H/1261 M).
  3. Satu karya tak berjudul Al-lmam Al Mufti Al-Muarrikh Al-Muhaddits Al- Hafizh ‘Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir, penyusun tafsir dan kitab sejarah yang terkenal (w. tahun 774 H/1372 M). Diterbitkan dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin Al-Munjid. Kemudian disyarah Oleh Al-’Allamah Al-Faqih As-Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafidz, mufti Tarim, dan diberi syarah pula oleh Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad bin AI-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Alwi Al-Maiiki, dan telah diterbitkan di Syria pada tahun 1387 H/1967 M.
  4. Al-Mauridal-Hana, karya Al-lmam Al-Kabir Hafizh Al-lslam wa ‘Umdah Al- Anam Marja’ Al-Muhadditsin Al-A’lam, Al-Hafizh Abdurrahim bin Husain bin Abdurrahman Al-Mishri, yang terkenal dengan sebutan Al-Hafizh AI-‘Iraqi (725- 808 H/1325-1405 M).
  5. Jami’ al-Atsar fi Maulid an-Nabiy al-Mukhtar (tiga Jilid), Al-Lafzh ar-Raiq fi Maulid Khair al-Khalaiq (berbentuk ringkasan), dan Maurid ash-Shadiy fi Maulid al-Hadi, ketiganya karya Al-lmam Al-Muhaddits Al-Hafizh Muhammad bin Abi Bakr bin Abdillah Al-Qisi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i, yang terkenal dengan sebutan Al-Hafizh bin Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842 H/1375-1438 M). la adalah ulama yang terkenal dalam membela Ibn Taymiyah, bahkan menulis kitab dalam menjawab berbagai tuduhan atas Ibn Taimiyah.
  6. Al-Fakhr al- ‘Alawi fi al-Maulid an- Nabawi dan Adh- Dhau’ al-Lami’, karya Al-lmam Al-Muarrikh Al-Kabir wa Al-Hafizh Asy-Syahir Mu­hammad bin Abdul Rahman Al-Qahiri, yang terkenal dengan sebutan Al-Hafizh As-Sakhawi (831-902 H/1427-1496 M).
  7. Al-Mawarid al-Haniyyah fi Maulid Khair al-Bariyyah, karya AI-‘Allamah Al- Faqih As-Sayyid Ali Zainal Abidin As-Samhudi Al-Hasani, pakar sejarah dari Madinah Al-Munawarrah (w. tahun 911 H/1505 M). Kitab Maulid-nya yang ringkas ini ditulis dengan khat nasakh (salah satu gaya tulisan Arab) yang cantik dan bisa didapat di perpustakaan-perpustakaan di Madinah, Mesir, dan Turki.
  8. Maulid Ad-Diba’iy, karya Al-Hafizh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi’i, yang terkenal de­ngan sebutan Ibn Ad-Diba’iy. la, yang lahir pada bulan Muharram 866 H/1461 M dan meninggal dunia pada hari Jum’at 12 Rajab 944 H/28 Desember 1537 M, adalah salah seorang imam di zamannya dan termasuk ulama puncak di kalangan ahli hadits. la telah membaca Shahih al-Bukhari lebih dari seratus kali, dan pernah membacanya sekali dalam waktu enam hari. Maulid ini telah ditahqiq dan diberi syarah oleh Al-Muhaddits As- Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki.
  9. Itmam An-Ni’mah ‘Ala AI-Alam bi Maulid Sayyidi Waladi Adam, karya AI-‘Allamah AI-Faqih Al-Hujjah Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Haitami (w. tahun 974 H/1567 M). la mufti Madzhab Syafi’i di Makkah Al-Mukarramah. Selain itu ia juga menulis lagi satu kitab Maulid yang ringkas yang telah diterbitkan di Mesir dengan nama An-Ni’mah al-Kubra ‘Ala al-‘Alam fi Maulid Sayyidi Waladi Adam. Asy-Syaikh Ibra­him Al-Bajuri telah mensyarahnya dan syarahnya dinamakan Tuhfah al-Basyar ‘Ala Maulid Ibn Hajar.
  10. Karya tak berjudul dan masih ber­bentuk manuskrip buah tulisan AI- ‘Allamah Al-Faqih Asy-Syaikh Muham­mad bin Ahmad Asy-Syarbini Al-Khatib (w. tahun 977 H/1570 M).
  11. Al-Maulid Ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabawi, karya AI-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Musnid Al-Faqih Asy-Syaikh Nuruddin Ali bin Sultan Al-Harawi, yang terkenal dengan sebutan Al-Mula Ali Al-Qari (w. tahun 1014 H/1605 M). Kitab ini juga telah ditahqiq dan diberi syarah oleh Al- Muhaddits As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki dan dicetak di Mathba’ah As-Sa’adah Mesir tahun 1400 H/1980M.
  12. ‘Iqd Al-Jauharfi Maulid an-Nabiyal al-Azhar atau Maulid al-Barzanji, karya Al ‘Allamah Al-Muhaddits Al-Musnid As-Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al Barzanji, mufti Madzhab Syafi’i di Madinah Al-Munawarah.
  13. Kitab Maulid Ad-Dardiri, karya Al-‘Allamah Abu Al-Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad AI-‘Adawi, yang terkenal dengan sebutan Ad-Dardir (w. Tahun 1201 H/1787 M). Dicetak di Mesir dan terdapat syarah yang luas terhadapnya oleh Syaikhul Islam AI-‘Allamah Asy- Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri atau Al-Bajuri (w. tahun 1277 H/1861 M).
  14. Kitab Maulid yang ringkas, masih dalam bentuk manuskrip, karya AI-‘Allamah Asy-Syaikh Abdul Hadi Naja Al-Abyari Al-Mishri (w. tahun 1305 H/1888 M).
  15. 16. Al-Yumn wa al-ls’ad bi Maulid al-Khair al-‘lbad, karya Al-lmam AI-‘Arif Billah Al-Muhaddits Al-Musnid As-Sayyid Asy-Syarif Muhammad bin Ja’far Al-Kattani Al-Hasani (w. tahun 1345 H/1927 M). Terdiri dari 60 halaman, telah di terbitkan di Maghribi pada tahun 1345 H/1927 M.
  16. Jawahir an-Nazhm al-Badi’ fi Maulid asy-Syafi’, karya AI-‘Allamah Al- Muhaqqiq Asy-Syaikh Yusuf An-Nabhani (w. tahun 1350 H/1931 M). Diterbitkan di Beirut berulang kali.
  17. Simthud Durar, karya Al-lmam Al-Allamah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
  18. Adh-Dhiya’ al-Lami’, karya Al-Allamah Al-Habib Umar bin Muhammad  bin Hafidz, pemimpin Rubath Darul Musthafa Tarim.
  19. Dan masih banyak lagi

sumber : sarkub.com

Tuesday, 12 September 2017

PEMBUKTIAN WUJUD ALLAH DAN SIFAT ALLAH



Pembahasan ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana wajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya, Allah swt. Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid (Keesaan Allah swt.). Diharapkan dengan menguasai kajian ini seorang hamba dapat lebih mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba, dan juga lebih mengenal Tuhannya, Allah swt., sehingga mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya menurut apa yang disukai-Nya.

Sebagai contoh dari harapan pembahasan ini adalah mengenal (salah satu) Sifat Allah swt. bahwa Dia adalah Maha Besar; dan sebaliknya bahwa manusia penuh dengan kelemahan. Setelah mengetahuinya diharapkan seorang hamba akan dapat merasakan kebesaran Allah swt dan merasakan kelemahan dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong, merasa hebat, merasa besar, merasa paling benar dan sebagainya.

A. Mengetahui Wujud Allah(مَعْرِفَةُ وُجُوْدِ اللهِ)
Bagaimana kita dapat mengetahui wujud Allah swt.? Bila Anda melihat mobil bergerak di depan Anda dari jauh, atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka dengan yakin Anda mengatakan bahwa pasti ada sopir yang menyetir mobil dan ada pilot yang mengendalikan pesawat meskipun Anda tidak melihat mereka berdua. Karena jika yang mengendalikan mobil atau pesawat itu tidak ada, mustahil mobil atau pesawat itu dapat melalui rutenya dengan selamat.
Bagaimana kaitannya dengan wujud Allah? Jawabnya, kita melihat matahari, bulan, bintang dan planet bergerak teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat detil. Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. Jika Allah tidak ada – kita memohon ampun kepada-Nya – mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi ada dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (52:35-36).
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’ dan indera.
1. Dalil Fitrah.
Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi. ” (HR. Al Bukhari)
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya.
Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘ (Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)
2. Dalil Al Hissyi (Dalil Indrawi)
Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (QS. Al Anbiyaa 76)
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal 9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang Badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhutbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang Badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami. ” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan). ” (HR. Al Bukhari)

b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Yang Mengutus para Nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para Rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya: 
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. ” (Asy Syu’ara 63)
Contoh kedua adalah mu’jizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah 110)
Contoh ketiga adalah mu’jizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mu’jizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya:
“Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata: “ (Ini adalah) sihir yang terus-menerus. ” (Al Qomar 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
3. Dalil ‘Aqli (dalil akal pikiran)
Bukti akal tentang adanya Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
       Lihatlah sekeliling anda dari tempat duduk anda. Akan anda dapati bahwa segala sesuatu di ruang ini adalah “buatan”: dindingnya sendiri, pelapisnya, atapnya, kursi tempat duduk anda, gelas di atas meja dan pernak-pernik tak terhitung lainnya. Tidak ada satu pun yang berada di ruang anda dengan kehendak mereka . Gulungan tikar sederhana pun dibuat oleh seseorang: mereka tidak muncul dengan spontan atau secara kebetulan.
          Begitu pula, orang yang memandang suatu pahatan tidak sangsi sama sekali bahwa pahatan ini dibuat oleh seorang pemahat. Hal ini bukan mengenai karya seni saja: batu bata yang bertumpukan pun pasti dikira oleh siapa saja bahwa tumpukan batu bata sedemikian itu disusun oleh seseorang dengan rencana tertentu. Karena itu, di mana saja yang terdapat suatu keteraturan, entah besar entah kecil, pasti ada penyusun dan pelindung keteraturan ini. Jika pada suatu hari seseorang berkata dan menyatakan bahwa besi mentah dan batu bara bersama-sama membentuk baja secara kebetulan, yang kemudian membentuk Menara Eiffel secara lagi-lagi kebetulan, tidakkah ia dan orang yang mempercayainya akan dianggap gila?
       Pernyataan teori evolusi, suatu metode unik penyangkal keberadaan Allah, tidak berbeda daripada ini. Menurut teori ini, molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
       Bagaimana mungkin mengira bahwa keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
       Karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya. Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya?
       Ia tidak mungkin Dzat material yang hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta dari sana. Pencipta Yang Maha Kuasa, Dialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
       Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
       Meskipun kebanyakan orang mempunyai kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya, penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah. Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya, pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari keberadaan Allah.
       Tubuh manusia menyediakan begitu banyak bukti yang mungkin tidak terdapat di berjilid-jilid ensiklopedi. Bahkan dengan berpikir beberapa menit saja mengenai itu semua sudah memadai untuk memahami keberadaan Allah. Tatanan yang ada ini dilindungi dan dipelihara oleh Dia.
       Tubuh manusia bukan satu-satunya bahan pemikiran. Kehidupan itu ada di setiap milimeter bidang di bumi ini, entah bisa diamati oleh manusia entah tidak. Dunia ini mengandung begitu banyak makhluk hidup, dari organisme uniseluler hingga tanaman, dari serangga hingga binatang laut, dan dari burung hingga manusia. Jika anda menjumput segenggam tanah dan memandangnya, di sini pun anda bisa menemukan banyak makhluk hidup dengan karakteristik yang berlainan. Di kulit anda pun, terdapat banyak makhluk hidup yang namanya tidak anda kenal. Di isi perut semua makhluk hidup terdapat jutaan bakteri atau organisme uniseluler yang membantu pencernaan. Populasi hewan di dunia ini jauh lebih banyak daripada populasi manusia.
       Jika kita juga mempertimbangkan dunia flora, kita lihat bahwa tidak ada noktah tunggal di bumi ini yang tidak mengandung kehidupan. Semua makhluk ini yang tertebar di suatu bidang seluas lebih daripada jutaan kilometer persegi itu mempunyai sistem tubuh yang berlainan, kehidupan yang berbeda, dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Pernyataan bahwa semua ini muncul secara kebetulan tanpa maksud atau pun tujuan itu gila-gilaan. Tidak ada makhluk hidup yang muncul melalui kehendak atau upaya mereka sendiri. Tidak ada peristiwa kebetulan yang bisa menghasilkan sistem-sistem yang serumit itu.
       Semua bukti ini mengarahkan kita ke suatu kesimpulan bahwa alam semesta berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya. Sekalipun demikian, mereka masih mengingkarinya “secara lalim dan angkuh, kendati hati sanubari mereka meyakininya” sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an. (Surat An-Naml: 14)
       Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
       Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
       Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
       Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku. ” (HR. Al Bukhari)

Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
4. Dalil Naqli (Dalil Syara’)
Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)
Demikian juga adanya para Rasul dan agama yang bersesuaian dengan kemaslahatan umat manusia menunjukkan adanya Allah, karena tidak mungkin ada agama dan Rasul kecuali ada yang mengutusnya. Akan tetapi agama-agama yang ada selain Islam telah mengalami penyimpangan dan perubahan sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.
Setelah kita mengenal dan mengimani keberadaan Allah sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka perlu kita kenali Allah sebagai Rabb yang telah menciptakan, memiliki dan mengatur semua makhluknya, Dialah satu-satunya pencipta yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan, Allah berfirman:
Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:”Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. 2:117)
Dialah satu-satunya pemilik sebagaimana Dia adalah satu-satunya pencipta, demikian juga Dia pengatur satu-satunya yang mengatur segala sesuatu. Semua ini diakui oleh kaum musyrikin Makkah, sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an: Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. 10:31)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. 23:84-89)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka :”Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah). (QS. 43:87)
Ini semua menunjukkan imannya kaum musyrikin terhadap Rububiyah Allah, akan tetapi hal ini tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Memang demikianlah, sebab mereka belum merealisasikan iman mereka terhadap Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
5. Dalil Sejarah.
Adalah dalil-dalil kekuasaan dan keagungan Allah yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah berlaku di atas muka bumi.
• Q. 3:137, Sesungguhnya telah lalu beberapa peraturan (Allah) sebelum kamu, maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang yang mendustakan agama.
• Q. 7:176, Demikianlah umpamanya kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sebab itu kisahkanlah kisah itu, mudah-mudahan mereka berpikir.
• Q. 12:111, Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu ada ibrah (pengajaran) bagi orang-orang yang berakal.
• Q. 11:120, Setiap riwayat kami kisahkan kepadamu di antara perkhabaran para Rasul supaya Kami tenteramkan hatimu dengannya.
6. Mengagungkan Allah dan MenTauhidkan Allah.
Dari semua dalil-dalil yang dapat dilihat di atas itu adalah berfungsi menguatkan pandangan kita betapa keagungan Allah swt begitu luar biasa dan menundukkan kita sendiri di hadapan keagungan ini. Langsung mencetuskan Tauhidullah yang luar biasa.
• Q. 21:92, Sesungguhnya ini, ummat kamu (hai mukminin) ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu sembahlah Aku.
B. Mengenal sifat-sifat Allah SWT.(مَعْرِفَةُ صِفَاتِ اللهِ)
Bagaimana kita mengenal sifat Allah? Kita dapat mengenal sifat Allah swt melalui:
التَّفْكِيْرُ فِي مَخْلُوقَاتِ اللهِ Tafakkur (memikirkan) ciptaan Allah.
التَّعَلُّمُ مِنْ رُسُلِهِ Belajar dari ajaran yang dibawa para rasul
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini." (QS.Al-Jasiyah:3-4).
Apa maksudnya kita dapat mengenal sifat Allah melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya? Bila Anda memperhatikan sebuah mobil, Anda dapat memastikan bahwa:
• Logam yang ada pada mobil itu menunjukkan kepada Anda bahwa pembuat mobil tersebut memiliki logam dan kemampuan membentuk logam menjadi bentuk yang sesuai untuk mobil.
• Kaca yang Anda lihat menunjukkan bahwa pembuat mobil itu memiliki kaca serta kemampuan untuk membentuk kaca sesuai kebutuhan mobil (jendela, kaca depan, dll..).
• Begitu pula dengan kabel tembaga …
• Yang tidak kalah penting bahwa mobil tersebut menunjukkan bahwa pembuatnya mempunyai kehendak, dan ilmu untuk membuat mobil.
Apa hubungan antara contoh tadi dengan mengenal sifat Allah swt? Beberapa sifat pembuat mobil dapat kita ketahui melalui produk mobilnya, begitu pula dengan Allah swt (bagi-Nya permisalan yang maha agung, Dia tidak seperti makhluk-Nya) kita dapat mengetahui sebagian sifat-sifat Allah swt melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya.
• Bahwa hikmah (maksud & manfaat) dari setiap makhluk yang diciptakan menunjukkan bahwa Penciptanya memilki sifat Al-Hakim (Maha Bijaksana).
• Bahwa khibrah (ketelitian dan kedalaman) dari penciptaan semua makhluk menunjukkan bahwa Penciptanya memiliki sifat Al-Khabir (Maha dalam dan detil pengetahuan-Nya).
Mungkinkah kita mengetahui seluruh sifat-sifat Allah swt melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya? Tidak mungkin. Mengapa? Bila kita berpikir tentang sebuah mobil, kita mengetahui bahwa pembuatnya memiliki kemampuan, ilmu, ketelitian dan kehendak, dan bahwa ia memiliki materi untuk membuat mobil berupa logam, kaca, dll.. Tapi kita tahu apakah ia dermawan atau bakhil? Tinggi atau pendek? Menyukai kita atau membenci kita, adil atau zhalim?
Demikian juga kita tidak mungkin mengenal semua sifat Allah swt hanya dengan tafakkur, misalnya mengapa Allah menciptakan kita? Dan Mengapa Dia mematikan kita? Kita juga tidak mungkin tahu bahwa Allah adalah:
المَعْبُودُ Al-ma’bud (yang wajib diibadahi),
القُدُّوسُ Al-quddus (Maha Suci),
الأَعْلَى (Maha Tinggi),
الحَسِيْبُ (Maha Menghitung),
الغَفُورُ (Maha Pengampun).
Lalu bagaimana kita mengenal sifat Allah swt yang belum kita ketahui? Melalui para rasul ‘alaihimus salam yang telah mengajarkan kepada kita apa yang dikehendaki Allah untuk kita ketahui.
“dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (2:255).
C. Kesimpulan (الخُلاَصَةُ)
• Mobil dan pesawat terbang yang bergerak terarah sesuai rutenya menunjukkan adanya supir atau pilot
• Matahari, bulan, bintang, planet, malam dan siang yang bergerak teratur pasti menunjukkan adanya Zat yang Maha Mengatur, Allah swt.
• Seandainya Allah swt tidak ada, maka alam semesta ini pasti tidak ada.
• Bahwa mobil yang terdiri dari bahan pembentuknya menunjukkan bahwa pembuatnya memiliki semua bahan-bahan itu, bahwa ia memilki kehendak, ilmu dan kemampuan untuk membuat mobil dengan baik.
• Alam semesta yang sempurna menunjukkan bahwa Allah memiliki semua sifat-sifat kesempurnaan, manfaat dan hikmah yang dimiliki setiap makhluk menunjukkan bahwa Dia adalah AL-Hakim (Maha Bijaksana), kekuatan yang dimiliki oleh makhluk sebagai bukti bahwa Dia Maha Kuat.
• Allah swt mengutus kepada kita rasul-Nya untuk mengajarkan hal-hal yang tidak dapat kita ketahui hanya melalui tafakkur, seperti perintah & larangan-Nya, apa saja yang Dia ridhai atau murkai.

JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...