Tuesday 28 February 2012

KHUTBAH IDUL ADHA

TIADA KEBERHASILAN TANPA PENGORBANAN
 Allahu Akbar, 9X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, Tuhan Semesta Alam, yang tiada henti hentinya telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua, umat manusia di seluruh belahan bumi ini, terlebih kepada kita pribadi saat ini, di saat yang sangat berbahagia seperti saat ini, dimana kita tertakdir dapat bersimpuh dihadapan-Nya, mendapat kesempatan untuk menghadapkan segala kerendahan dan kehinaan diri di hadapan Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Perkasa di masjid yang mulia ini untuk melaksanakan sholat Idul Adha, untuk memperingati kejadian besar dalam sejarah kemanusiaan yang tiada tandingnya, pengorbanan hidup yang dilakukan oleh manusia-manusia pilihan, Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Habiibina Baginda Nabi Muhammad SAW, yang dengan perjuangan dan pengorbanannya telah berhasil menancapkan sendi-sendi keimanan dan tauhid di dada umatnya, juga kepada keluarga dan sahabatnya serta pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat yang telah melanjutkan tongkat estafet perjuangan, sambung menyambung sehingga hasilnya bisa kita nikmati sampai saat ini.
Pengorbanan besar yang telah tercatat dalam sejarah kemanusiaan yang telah dilakukan oleh manusia-manusia pilihan tersebut seakan-akan telah menjadi pondasi bangunan yang kokoh kuat ketika Allah berkehendak menghidupkan dan membangun tanah Mekkah yang asalnya mati dan gersang menjadi kota yang makmur penuh keberkahan, tanah dimana Baitullah akan dibangun di muka bumi ini. Pengorbanan besar itu hari ini kita peringati, bersama-sama kaum mu’minin seluruh dunia, diperingati tidak sekedar untuk mengenang peristiwa besar itu saja, namun juga harus mampu kita jadikan pelajaran dan tauladan untuk menyemangati hidup kita, agar kita mendapat kekuatan untuk menempuh jalan kehidupan dengan segala tantangan dan romantikanya.
Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Idul Adha identik dengan Idul Qurban, tapi qurban yang dimaksud bukan sekedar melaksanakan kurban dengan hewan qurban, seperti sapi maupun kambing sebagaimana lazimnya orang beriman melaksanakan qurban di hari raya Idul Qurban seperti saat ini. Qurban yang dimaksud adalah mengurbankan sebagian dari yang kita miliki dan kita cintai, baik harta benda maupun penghormatan untuk diberikan kepada orang-orang yang lebih membutuhkannya, hal itu dilakukan semata-mata untuk melaksanakan “ta’abbudan lillah”, semata-mata untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah dalam rangka memperingati dan mengenang pengurbanan besar yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya.
Peristiwa pengurbanan besar tersebut dimulai ketika Beliau Nabiyullah Ibrahim as dengan tulus ihlas melaksanakan perintah Allah untuk menempatkan sebagian anggota keluarganya di tanah Mekkah Al-Mukarromah, supaya di tanah itu manusia mendirikan sholat dan beribadah kepada Allah SWT. Siti Hajar dan Isma’il, salah satu Istri dari dua istri tercinta dan putranya yang saat itu masih dalam susuan, mereka berdua harus ditempatkan di tanah tandus tanpa tumbuhan, tanah yang terpencil dan terasing yang tidak berpenghuni, lalu ditinggalkan begitu saja oleh Sang Suami tercinta tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu akan tujuannya dengan bekal hidup yang pas-pasan.
Ketika saatnya Nabi Ibrahim as melangkahkan kaki hendak meninggalkan mereka berdua, Sang Istri bertanya: “Wahai Suamiku, apakah kami berdua akan engkau tinggalkan ditempat yang sepi ini ?. Nabi Ibrahim meneruskan langkahnya tanpa menoleh dan juga tidak menjawab. Istrinya mengejar dan bertanya lagi, namun dengan sikap yang sama Sang Suami tetap meneruskan langkahnya. Akhirnya sambil berlari-lari kecil Siti Hajar bertanya lagi yang ke tiga kalinya: “Wahai suamiku, apakah engkau diperintah Allah dalam hal ini?”. Baru Nabi Ibrahim as menjawab meski tetap tanpa menoleh, karena takut hatinya terpengaruh oleh keadaan tersebut sehingga berakibat berubah pendiriannya hingga tidak mampu melaksanakan perintah yang secara nalar tidak logis itu: “Benar wahai Istriku, aku diperintah Allah untuk melakukan ini”.
Siti Hajar adalah seorang istri yang setia dan tabah, dia sudah mengenal dengan benar bahwa suaminya adalah seorang Nabi dan utusan Allah yang patuh dan tabah pula dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Seorang Istri yang sering menyaksikan dan melihat dengan kasat mata atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki suaminya, atas pertolongan dan mu’jizat Allah yang sering diturunkan kepada suaminya dalam menyelesaikan segala tantangan hidup yang harus dihadapi, dengan keyakinan kuat dan kesadaran penuh atas resiko kehidupan yang dapat terjadi, dia menjawab dengan mantap: “Wahai suamiku, jika ini memang perintah Allah, maka laksanakan saja, aku yakin Allah tidak akan menelantarkan kami berdua disini”. Lalu Siti Hajar membalikkan badannya dan melangkah kembali ke tempat semula untuk mengikuti kehendak suami yang ditaati itu tanpa sedikitpun berprasangka buruk, padahal dirinya bukan satu-satunya istri Nabi Ibrahim as. Siti Hajar kemudian tinggal berdua bersama putranya ditempat yang sepi dan terpencil itu tanpa ada tempat berlindung dan bernaung, siang bergelut dengan udara panas dan debu, dan malam berselimut dengan dingin yang mengigit. Dengan segala resiko kehidupan yang bisa terjadi, mereka berdua bertahan hidup entah sampai kapan dengan bekal makanan yang sangat terbatas.
Nabi Ibrahim as kemudian meneruskan perjalanan pulang ke Palestina, meninggalkan Istri dan Anaknya di tempat yang sunyi dan tidak ada kehidupan itu dalam penjagaan Allah. Ketika  perjalanannya telah sampai di suatu tempat yang tidak terlihat oleh Istrinya, Nabi Ibrahim menghadap kearah Istri dan Anaknya berada seraya berdo’a kepada Allah dengan do’a yang sangat mustajabah, doa yang diabadikan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an al-Karim:

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tumbuhan di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."(QS.Ibrahim:37)
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Meski hati Siti Hajar yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak akan menelantarkan diri dan anaknya, namun melaksanakan keyakinan tersebut ternyata tidak segampang seperti ketika diucapkan. Dia berdua harus menghadapi penderitaan yang amat sangat, sampai-sampai nyawanya dan nyawa anaknya hampir-hampir direnggut oleh kematian. Ketika bekal makanan yang dibawa dari rumah sudah habis dimakan, padahal air tidak mungkin bisa didapat ditempat yang kering itu, sedangkan anak yang digendongan menangis tiada henti minta disusui, padahal air susu sudah tidak keluar lagi karena perut sudah sekian lama tidak terisi makanan, maka sang Ibu mencoba untuk mencari pertolongan. Dengan sisa tenaga yang ada Siti Hajar berlari-lari kecil antara dua bukit yang ada di sekitar tempat itu, bukit Shofa dan Marwa. Dari atas dua bukit tersebut dia melihat kesana-kemari, berharap dapat menemukan manusia yang bisa memberikan pertolongan kepadanya, namun sampai 7X pulang pergi, hasilnya tetap nihil juga, Sang Ibu yang sedang mencari makanan untuk anaknya yang sedang kelaparan itu tidak juga menjumpai seorangpun yang bisa memberikan pertolonggan kepadanya. Peristiwa ini diabadikan Allah dengan firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

"Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui."(QS.al-Baqoroh/158)
Ketika maut hampir merenggut jiwa, dua hamba Allah yang sedang terkapar sedang meregang nyawa, sang anak sudah tidak mampu lagi menangis karena kehabisan daya untuk mengeluarkan suara, sang ibu bahkan sudah tidak mampu lagi sekedar untuk meneteskan air mata karena badannya hampir kering karena kehabisan cairan, disaat yang sangat kritis itu Allah menurunkan pertolongan-Nya. Sayup-sayup Sang Ibu mendengar suara seperti datang dari kejahuan, dengan sisa kekuatan yang ada dan tanpa membuka pelupuk mata dengan suara lirih dia berkata: “Wahai yang memperdengarkan suara kepadaku, andai engkau mampu menolongku, siapapun kamu, tolonglah aku”. Ketika membuka matanya, remang-remang sang Ibu melihat seorang laki-laki gagah perkasa berdiri dihadapannya. Itulah Malikat Jibril yang diturunkan Allah dimuka bumi dalam sosok manusia. Makhluk mulia itu mendapatkan perintah bukan sekedar untuk menolong dua jiwa yang hampir mati itu, namun juga, berkat kesabaran seorang Istri yang taat kepada Suaminya itu, Makhluk Langit tersebut akan membuka pintu Rahmat Allah di muka bumi, menancapkan sumber keberkahan langit di tanah yang tandus dan kering itu, sekaligus sebagai peresmian dimulainya skenario besar, peletakan batu pertama bagi projek pembangunan kota Mekkah al-Mukarromah yang di dalamnya ada “Kakbah Baitullah”, tempat yang akan diziarahi oleh orang-orang beriman sepanjang zaman.
Malaikat Jibril as berkata: “Wahai hamba Allah yang ikhlas dan tabah, engkau jangan takut dan khawatir, sungguh Allah tidak akan menelantarkan kalian berdua. Di tempat yang mulia ini, anakmu itu bersama bapaknya akan membangun “baitullah”, tempat yang akan didatangi orang-orang beriman dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji sehingga tempat ini akan menjadi kota yang rame, makmur dan penuh keberkahan”. Lalu malaikat Jibril menancapkan sayapnya di tanah, dan dari lubang tanah yang ditancapi sayap makhluk mulia itu kemudian Allah memancarkan sumber mata air yang tidak berhenti memancar sepanjang zaman, sumur Zamzam yang penuh berkah, yang keberkahan airnya terbukti sampai sekarang. Sumur Ajaib yang setiap tahun keberkahan airnya ditunggu-tunggu oleh orang-orang beriman dimana saja berada, sebagai oleh-oleh dari sanak saudara yang sedang melaksanakan ibadah Haji di tanah Haram, ternyata sumbernya dahulu digali oleh semangat pengorbanan yang luar biasa, dipompa dengan air mata yang hampir kering dari seorang wanita yang mulia, istri yang sekaligus juga ibu dari dua manusia yang mulia pula, yaitu Istri Nabi Ibrahim as dan Ibu Nabi Isma’il as. Ini adalah peristiwa besar yang tidak boleh dilupakan oleh setiap hati orang beriman. Untuk itu, maka peristiwa tersebut setiap saat diperingati dalam pelaksanaan Sa’i antara bukit Sofa dan Marwa baik dalam pelaksaan ibadah Haji maupun ibadah Umrah.
Ujian hidup yang dicanangkan dalam peristiwa sejarah tersebut dinyatakan Allah dengan firman-Nya: “Sesungguhnya ini benar-benar merupakan suatu ujian yang nyata”.(QS.ash Shafaat/108). Maksudnya, keberhasilan hidup yang didambakan oleh setiap jiwa yang merdeka, kebahagiaan yang diharapkan oleh setiap manusia yang sehat, ternyata tidak datang dengan sendirinya turun dari langit, melainkan harus ditempuh dan diperjuangkan melalui porses ujian yang tidak ringan, demikianlah pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa sejarah kemanusian ini, dan itu adalah merupakan sunnatullah yang tidak ada berubahan untuk selamanya, baik berlaku bagi orang-orang terdahulu maupun orang-orang kemudian, bahkan berlaku bagi kita semua. Ujian hidup tersebut juga dinyatakan Allah dengan firman-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqoroh/155-157)
Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.
Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah
Pengorbanan seorang Istri yang setia dan tabah untuk menuruti kehendak Suaminya yang diyakininya sedang dalam rangka melaksanakan perintah Tuhannya, ternyata mampu menurunkan keberkahan Allah yang abadi di muka bumi ini. Memancarkan sumber air ditempat yang semestinya tidak mungkin ada air. Mendatangkan sumber kehidupan bagi manusia banyak ditempat yang asalnya sepi dan terpencil. Menurunkan mu’jizat Allah yang sangat terang benderang dalam sejarah zaman. Peristiwa tersebut telah dicatat dalam sejarah kemanusiaan dan bahkan harus diperingati oleh setiap pribadi Muslim pada setiap tahunnya, kita semua diwajibkan melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu yang salah satu tujuannya adalah untuk memperingati peristiwa sejarah tersebut, itu terbukti dengan manasik haji yang dilakukan dalam ritual haji oleh orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah Al-Mukarromah. Lalu sekarang kita boleh pertanya kepada diri sendiri, pengorbanan apa yang sudah kita lakukan untuk kejayaan kita sendiri, untuk mencapai peningkatan tarap hidup yang kita tuntut dan dambahkan selama ini, untuk keberhasilan hidup kita sendiri bukan keberhasilan orang lain. Apakah kita hanya boleh menuntut saja tanpa berbuat apa-apa sementara orang lain harus berkorban dan bahkan dikorbankan …?? Kita selalu berharap hidup enak tapi enggan melaksanakan perjuangan.., Apa mungkin hal demikian bisa dicapai ..?? Padahal fenomena sejarah telah berbicara dengan terang benderang..!!
Inilah hikmah terbesar dari peringatan hari besar IDUL QURBAN yang sedang kita peringati hari ini, bukan hanya untuk memperingati peristiwa sejarah kemanusia itu saja, namun juga untuk membangkitkan semangat dan kesadaran dalam jiwa kita, dimana setiap pribadi Muslim harus siap berkorban untuk kebahagiannya sendiri. Setiap kita harus siap menyongsong keberhasilan dan peningkatan hidup dengan perjuangan dan pengorbanan. Dimulai dari diri sendiri untuk tidak berpangku tangan saja dan bermalas-malasan dan ketika berakibat hidupnya tidak juga meningkat kemudian orang mengkambing hitamkan nasib dan takdir. Padahal nasib dan takdir itu harus dimulai dari diri sendiri, “siapa beramal sholeh maka itu untuk dirinya sendiri”. Maksudnya, barangsiapa menanam kebaikan maka akan menuai kebajikan dan barangsiapa menanam kemalasan akan menuai kehancuran, itu berlaku untuk diri sendiri bukan untuk orang lain. Itulah sunnahtullah yang tidak ada perubahan untuk selama-lamanya. Yang dimaksud menanam itu adalah siap melaksanakan perjuangan dan pengorbanan terlebih dahulu setelah itu baru orang boleh bersenang-senang. “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian”.

قال الله تعالى وبقوله يهتدي المهتدون . وإذا قرء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون :   وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم . ونفعني وأياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم . وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم  .

 وقل رب اغفر وارحم وأنت حير الراحمين


Sumber : Ponpesalfithrah 

No comments:

Post a Comment

JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...