Thursday, 10 January 2013

PERINGATAN MAULID NABI : AKTIFITAS UMAT MEMBACA SIRAH NABI SAW.


PERINGATAN MAULID NABI : AKTIFITAS UMAT MEMBACA SIRAH NABI SAW.

==========
Istilah jahiliyah tidaklah tepat diartikan bodoh, karena sesungguhnya orang arab pada waktu itu telah mengalami kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang, diantaranya mereka telah mampu melakukan bedah caesar, menghitung dengan metode al-jabar (cikal bakal matematika).

Mereka disebut jahiliyyah karena mereka memiliki fanatik kesukuan yang berlebihan, sehingga terkadang menghilangkan kejernian otak mereka. Para orientalis sering menyebut-nyebut nenek moyang arab sebagai suku jahliyyah yang mereka artikan sebagai suku yang bodoh hanya supaya umat Islam yang nota bene syari’atnya berasal dari arab tidak mempunyai pengaruh di dunia.
Jadilah umat Islam yang mempunyai pendirian dalam memegang teguh ajarannya (berprinsip), seperti air laut yang akan tetap asin meskipun air sungai dan air hujan selalu tercurah ke dalamnya. Jadilah orang yang berpengaruh, jangan yang terpengaruh !

Rasulullah Saw. tidak bisa baca tulis ? Memang benar. Namun bukan karena saking bodohnya Beliau, bahkan karena Beliau tidak membutuhkan huruf. Sebab ilmu orang yang masih membutuhkan huruf adalah terbatas, karena masih banyak hal-hal di dunia ini yang tidak terjangkau dengan huruf.
Contohnya seperti ketika pakaian kita sobek maka kita akan berpikir bahwa yang baik adalah di jahit, sedangkan jika bolong maka yang baik adalah ditambal, padahal pakaian kita tidak pernah berkata (dengan huruf-huruf tentunya) bahwa jia ia sobek maka tambalah, dan jika ia bolong maka tambalah. Hal ini membuktikan huruf tidak punya peran dalam hal ini.

Adapun Nabi Saw. adalah seseorang yang langsung mendapatkan kalimatullah, sehingga berpengathuan sangat luas. Kita jangan mengecilkan ilmu yang diberikan Allah Swt pada kita karena satu ayat yang berbunyi; wama utitum minal ilmi illa qolila’, tidaklah aku memberikan ilmu (pengetahuan) kepada kalian kecuali hanya sedikit saja.

Sebab ‘sedikit’ (qolil) itu dari sudut pandang ilmu Allah, adapun bagi makhluk-Nya; manusia, jin dan yang lainnya, ilmu yang sedikit yang telah Allah berikan itu tidak terbatas. Analoginya sederhana saja, laut jika di teliti, akan melahirkan ilmu kelautan hingga ratusan doktor-doktor ilmu kelautan. Ilmu tentang kelautan tersebut tidak akan pernah habis, terus menerus. Itu contoh kecil saja. Anda bisa mengembangkan pada yang lainnya.

Di dalam surat al-Kahfi : 109 dijelaskan bahwa seandainya lautan dijadikan tinta, niscaya air laut tersebut akan habis untuk menulis kalimat-kalimat (ilmu-ilmu) Allah sebelum kalimat-kalimat Allah tersebut habis. Maksud lautan di sini bukan hanya satu lautan , tetapi tujuh lautan.

Mengapa para sahabat tidak melakukan aktifitas membaca maulid Nabi Saw. seperti zaman sekarang ? Karena hakikatnya mereka selalu melakukan maulidan, sebab mereka selalu melihat Rasulullah saw., menghadiri shalatnya, menyaksikan secara langsung kepribadiannya yang sangat luhur, dll. Sedangkan semua ini adalah tujuan kita membaca maulid, yakni supaya kita dapat menghadirkan kepribadian Nabi saw. dalam alam pikiran kita.  (Min maqolat Maulana Al Habib Luthfi bin Yahya). (Tsi)

sumber : habiblutfiyahya.net/

PENDAPAT SAYYID AL MALIKI TENTANG PERINGATAN MAULID NABI SAW


Jawaban Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w
Sumber : madinatulilmi.com 
Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
1.      Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
2.      Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
3.      Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
4.      Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
·         Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)
·         Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
·         Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
·         Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
·         Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
·         Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
·         Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
·         Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
·         Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
·         Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?
·         Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
·         Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
·         Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
·         Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
·         Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
·         Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
·         Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
·         Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
·         Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
·         Kedua puluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
·         Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

PESAN HABIB LUTHFI BIN YAHYA : KIAI, KEMBALILAH URUSI UMAT

HABIB LUTHFI BIN YAHYA : KIAI, KEMBALILAH URUSI UMAT


Banyaknya anak-anak muda NU kehilangan arah bukan karena kesalahan mereka yang  tidak mau belajar tentang NU, akan tetapi karena makin jarangnya para sesepuh dan kiai menularkan ilmu kepada mereka yang disebabkan oleh kesibukan para kiai di bidang yang lain. Jika ada anak-anak NU pindah ideologi, sekali lagi jangan salahkan mereka, mestinya kita harus sadar, bahwa kita belum memberikan yang terbaik kepada mereka.

Demikian dikatakan Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Rais Aam Idaroh Aliyah Jam'iyyah Ahlit Thariqah al Mu'tabarah An Nahdliyyah dihadapan ratusan kiai dan tokoh NU se Kota Pekalongan Ahad malam (22/11) di rumah KH Akrom Sofwan salah seorang mustasyar PCNU Kota Pekalongan.

Dikatakan, kesibukan kiai pada bidang lain yang semestinya bukan menjadi urusannya telah membuat kita prihatin. Sementara yang seharusnya menjadi garapan ulama dan kiai untuk membumikan ajaran aswaja justru terabaikan.

Habib Luthfi pantas marah dan jengkel jika melihat kiprah sebagian kiai saat ini lebih sibuk dibanding orang-orang partai politik. Pasalnya, setiap ada kegiatan lailatul ijtima', kajian hukum Islam (bahtsul masail), maupun kegiatan-kegiatan keagamaan yang dimotori Nahdlatul Ulama jarang mendapat respon, akan tetapi jika diajak bicara seputar pilkada dan sejenisnya mereka sangat antusias.

Menurut Habib Luthfi yang juga Ketua MUI Jawa Tengah, persoalan yang sangat mendasar yang segera digarap oleh para kiai saat ini ialah, bagaimana anak-anak NU ke depan tidak melenceng akidahnya.

"Kita jangan terlena dengan penampilan mereka yang sesungguhnya telah menebar racun yang amat berbahaya bagi generasi penerus kita," tandasnya.

Habib Luthfi meminta kepada para kiai untuk kembali melakukan pembinaan umat secara totalitas melalui kajian kitab dan pembumian ajaran aswaja secara rutin. Jika hal ini tidak segera kita lakukan, jangan berharap NU bisa bertahan pada masa yang akan datang.

Acara yang diikuti para kiai dan tokoh NU se-Kota Pekalongan semula diagendakan untuk membicarakan masalah seputar ke-NU-an pada tahun 2010 yang lalu, akan tetapi oleh Habib Luthfi dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan sekaligus tausyiyah seputar kiprah kiai di tengah-tengah masyarakat perkotaan. (miz/NU Online)

sumber:http://www.habiblutfiyahya.net

JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...