Jawaban
Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w
Pada bulan Rabiul Awwal ini kita
menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran
Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan
berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi
mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau
Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat
begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita
saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin
merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini
masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka
mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya
sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari
ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan
prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia
yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan
kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam
Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan
beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat
wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar,
lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya
berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW,
mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan
waktu dan tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung
daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah
yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau
pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada
kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul),
Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang
Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan
beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari
kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan
bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,
di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi
Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
1.
Pertama,
kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,
melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika
kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu
Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang
yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia
bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini
timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan
tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab,
cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira
dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya,
dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
2.
Kedua,
yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan
sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi
makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang
membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
3.
Ketiga,
kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu
dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas,
sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian.
Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak
ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah
dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi
perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
4.
Keempat,
berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk
dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh
dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,
baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di
samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan
mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.
Yang pertama merayakan Maulid Nabi
SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa
berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini
nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah
sesuatu yang dibolehkan syara’.
Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan
sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
·
Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan
kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan
kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi,
menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu
Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya,
kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba.
Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran
Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang
kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi,
bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di
hatinya?)
·
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan
bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
·
Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah
SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW
merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan
tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”
(QS Al-Anbiya’: 107).
·
Keempat,
Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang
besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu
merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
·
Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca
shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera
kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk
melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh
syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan
salam kepadanya.
·
Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau,
mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah
kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya,
mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan
semuanya dengan lengkap.
·
Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau
dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan
sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair
datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha
(senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka
dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya,
bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang
perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada
beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
·
Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan
irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang
rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya
dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik (tubuh) maupun
akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada
yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan
perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang
dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan
tuntutan agama.
·
Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan
hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul
untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan
pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
·
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at,
disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:”
Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka
bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang
paling mulia?
·
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh
para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua
tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil
dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk
oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
·
Kedua
belas, dalam peringatan Maulid tercakup
berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu
hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
·
Ketiga
belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua
kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari
ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan
hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan
hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan
kisah para nabi sebelumnya.
·
Keempat
belas, tidak semua yang tidak pernah
dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan
buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang
“baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil
syara’.
·
Kelima
belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan.
Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar,
Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan
wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar
ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat
Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi
perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram
apabila semua bid’ah itu diharamkan.
·
Keenam
belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun
tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah
jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang
terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena
amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
·
Ketujuh
belas, semua yang tidak ada pada awal
masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga
dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari
syara’, pun dituntut oleh syara’.
·
Kedelapan
belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan,
“Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan
bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan
pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak
bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
·
Kesembilan
belas, setiap kebaikan yang tercakup
dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan
tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
·
Kedua
puluh, memperingati Maulid Nabi SAW
berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut
kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar
amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang
telah lalu.
·
Kedua
puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya
tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada
peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang
tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid
mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti
bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang
terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak
diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi
keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada
hal-hal yang terlarang tersebut