Saturday, 24 March 2012

SEJARAH KELUARGA RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM



Ayah dan Ibu Rasulullah saw
A. Pengantar 
Nama ayah baginda ialah : Abdullah ibn Abdul Mutthalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf  ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn al-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan.
Sedangkan nama ibunya ialah : Aminah bint Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab.
Nasab kedua orangtua baginda bertemu di salah satu kakek mereka yang bernama Kilab.
B.      Ayah
Ayahanda Rasulullah SAW
Abdullah ibn Abdul Mutthalib ibn Hasyim adalah putra terkecil pasangan Abdul Mutthalib dengan Fatimah bint  ‘Amr.
Abdullah merupakan putra Abdul Mutthalib yang terbaik, paling disayang dan dikenal sebagai sembelihan (al-Dzabih).
Dijuluki sebagai sembelihan adalah karena Abdul Mutthalib bernazar bahwa jika anak laki-lakinya genap sepuluh maka satu diantaranya akan disembelih. Dan ternyata Allah memberinya sepuluh anak laki-laki.
Maka terjadilah pengundian dan ternyata anak yang harus disembelih itu jatuh ke Abdullah. Abdul Mutthalib ingin melaksanakan nazar ini, dia segera mengambil pisau dan pergi menuju Ka’bah untuk menyembelihnya. Tiba di depan Ka’bah, kaum Quraisy melarangnya, terutama paman-pamannya. Lantas dia bertanya bagaimana saya harus melaksanakan nazar saya? Akhirnya disarankan untuk dibawa ke Arafah, lalu diundi lagi.
Jika diundi yang keluar nama Abdullah, maka Abdul Mutthalib akan bersedekah dengan  10 ekor onta sebagai ganti anaknya dan begitu seterusnya, dan jika yang keluar nama onta, maka dia akan berhenti dan onta sebanyak itu akan disembelih.
Sampai sepuluh kali undian, nama yang keluar adalah Abdullah. Itu berarti sudah 100 onta yang harus dipotong.
Baru pada undian kesebelas, nama yang keluar adalah onta. Walhasil, 100 ekor onta akhirnya dipotong sebagai pengganti jasad atau jiwanya Abdullah.
Kelebihan Abdullah
Dari sisi keturunan, Abdullah adalah putra Abdul Mutthalib, pemuka Quraisy dan orang yang paling dihormati di Makkah.
Dari sisi akhlak, Abdullah merupakan orang yang dikenal sebagai pemuda yang berakhlak mulia. Bahkan, kebiasaan negatif yang banyak dilakukan oleh pemuda Makkah, beliau tidak ikut melakukannya. Termasuk zina. Bahkan beliau bertekad untuk tidak pernah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis kecuali dengan istrinya.
Di usianya yang ke-25, beliau dinikahkan dengan Aminah, putri Wahb, seorang pemuka Quraisy. Dengan Aminah inilah Abdullah pertama kali melakukan hubungan biologis.
Dalam beberapa referensi diceritakan bahwa, kedua pasangan ini baru melakukannya sekali, setelah itu, Abdullah sudah diperintahkan oleh orang tuanya pergi ke Syam untuk berdagang.
Wafat
Terdapat beberapa riwayat tentang wafatnya Abdullah.
Pertama dan yang paling populer :
  1. Abdullah meninggal dalam perjalanan kembali ke Makkah, dimakamkan di Abha. Rasulullah SAW masih dalam kandungan ibunya di bulan keenam.
  2. Riwayat kedua, beliau kembali dari berdagang ke Syam.
  3. Ada juga riwayat yang mengatakan beliau baru kembali dari Madinah guna memetik kurma untuk dibawa ke Makkah.Ada juga pendapat yang mengatakan beliau sakit di Madinah, lalu belum lagi sembuh benar beliau pulang ke Makkah dan meninggal, itu terjadi setelah kelahiran Rasulullah SAW  2 bulan.
Ketika wafat usia Abdullah 25 tahun.
Warisan yang ditinggalkan Abdullah adalah : 5 ekor onta, beberapa ekor kambing dan seorang budak perempuan yang bernama Barakah atau yang lebih dikenal dengan Ummu Aiman.
C.      Ibu Kandung
Ibunda Rasulullah SAW
Aminah bint Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah. 
Lahir di Makkah, sekitar 18 tahun sebelum Rasulullah SAW dilahirkan.  
Ibunya adalah : Barrah bint Abd al-’Uzza ibn Utsman ibn Abd al-Dar, ibn Qushay ibn Kilab, ibn Murrah.
Wanita dengan nasab terbaik yang ada di Quraisy, mempunyai akhlak yang baik dan menjaga kehormatannya dengan baik.Wanita yang Rasulullah SAW banggakan dengan sabdanya :
Sesungguhnya aku adalah anak seorang perempuan dari Quraisy yang
memakan Qadid (dendeng). (HR. Ibn Majah)[1]
Allah terus memindahkan aku dari tulang shulb yang baik, dipindahkan ke rahim yang suci, bersih, terpilih. Tidaklah ia mempunyai dua cabang kecuali aku masuk dalam yang terbaik.
Pernikahannya dengan Abdullah
Di hari-hari pesta pernikahan, di malam pertama pasangan pengantin ini, Aminah bermimpi yang ia ceritakan kepada suaminya Abdullah : Aku melihat cahaya yang memancar dengan lembut sehingga menerangi dunia dan seisinya. Hingga seolah-olah terlihat olehnya megahnya istana Bushra di negeri Syam. Lalu ada suara yang membisik : Kamu sudah mengandung pemimpin umat ini.
Alkisah, Aminah teringat seorang peramal Quraisy yang bernama Sauda’ Bint Zuhrah al-Kilabiyah pernah berkata kepada penduduk Bani Zuhrah bahwa akan lahir dari turunan kalian seorang pengingat atau pemberi peringatan. Para penduduk kala itu meminta peramal ini untuk menunjukkan orang yang akan melahirkan dari rahimnya pemberi peringatan tersebut. Sauda’ sang peramal menunjuk kepada Aminah.
Kejadian serupa menimpa Abdullah yang menjelang malam pertamanya dengan Aminah, datang kepadanya Putri Naufal ibn Asad, saudara perempuan Waraqah ibn Naufal sang pendeta, dia menawarkan diri untuk dinikahi atau disetubuhi pada malam itu juga. Akan tetapi Abdullah yang sudah berjanji akan menjaga keperjakaannya menolak. Esok harinya, ketika Abdullah bertemu dengannya lagi, Abdullah bertanya : Mengapa engkau tidak menawarkan diri kepadaku lagi? wanita itu menjawab : Cahaya yang menemani kamu kemarin sudah tidak ada lagi hari ini, maka saya tidak menginginkanmu lagi.
10 hari pasangan suami istri ini menikmati indahnya rumah tangga, sampai akhirnya Abdullah harus ikut bergabung dengan rombongan pedagang yang akan berangkat ke Syam.
Menunggu Suami
Sebulan setelah kepergian sang suami, Aminah merasa bahwa ia hamil. Kondisi ini semakin menambah kerinduan kepada suami.
Tiba musim pedagang Makkah kembali dari Syam, Aminah yang ditemani oleh pembantunya yang bernama Ummu Aiman, duduk menanti sang suami datang.
Ketika tamu datang, yang muncul adalah ayah dan mertuanya, Wahb dan Abdul Mutthalib. Mereka mengabarkan bahwa Abdullah harus tinggal di Yatsrib, di rumah seorang kerabat, karena sakit yang diderita.
Selang beberapa hari kemudian, utusan dari Yatsrib datang membawa kabar duka, Abdullah meninggal dunia.
Pengantin baru ini sedih luar biasa, kerinduan akan suami sangat terasa. Namun takdir tidak bisa ditolak, ajal tidak bisa ditunda. Kematian akhirnya akan datang kepada siapa saja.
Melahirkan Anak Pertama
Sembilan bulan janin dikandung, tiba harinya, lahirlah bayi yang dinantikan itu. Detik-detik sebelum kelahiran bayi ini, Aminah menyaksikan cahaya menyinari rumahnya.
Bidan yang menangani prosesi kelahiran ini adalah al-Syifa', ibu dari Abdurrahman ibn ‘Auf. Dia bercerita bahwa yang dia lihat pertama kali adalah cahaya yang begitu terang benderang. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam proses persalinan ini. Ditemani oleh Ummu Aiman, sang pembantu, al-Syifa' dengan mudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang bidan.
Kegembiraan pun menyelimuti Aminah, bayi yang ditunggu-tunggunya sudah lahir dengan selamat, bahkan penuh dengan keajaiban.
Belum lagi kegembiraan itu sempurna, kesedihan harus datang lagi, sang anak tidak mau disusui. Hari pertama ditolak, hari kedua demikian pula. Ibu muda ini pun bingung, 2 hari bayi ini tidak makan apa-apa, bagaimana jika dia sakit lalu meninggal. Kesedihan dan kekhawatiran seorang ibu pun mulai menyelimuti dirinya.
Ketika keadaannya seperti itu, datanglah Tsuwaybah, budak atau pembantu Abu Lahab, paman si bayi, menawarkan untuk menyusuinya. Dan aneh, bayi ini mau disusui oleh Tsuwaybah. Alhasil, Tsuwaybah menjadi ibu susu bayi ini untuk beberapa hari.
Pendidikan Awal Untuk Sang Putra
Bayi yang baru dilahirkannya, diambil oleh sang kakek, Abdul Mutthalib, dibawa ke Ka’bah, di sanalah ia dinamakan dengan Muhammad.
Tidak lama kemudian, sekitar 8 hari, sebagaimana adat orang Makkah pada waktu itu, mereka menitipkan anak-anaknya kepada ibu-ibu susu. Muhammad pun dititipkan kepada Halimah al-Sa’diyah untuk disusui dan dididik di kampungnya, daerah Bani Sa’ad (sekitar 25 km dari Makkah).
Dua tahun Muhammad dititipkan di Bani Sa’ad, baru kemudian dikembalikan ke pangkuan ibu kandungnya. Akan tetapi dengan bujuk rayu Halimah dan suaminya al-Harits, Muhammad kembali dititipkan kepadanya.
Selang beberapa bulan kemudian, Muhammad dikembalikan lagi kepada ibu kandungnya di Makkah, dan mulai saat itu, Muhammad berada di bawah belai kasih dan didikan Aminah serta bantuan Ummu Aiman sang pembantu.
Dengan penuh kasih sayang dan perhatian, Aminah membesarkan putra tunggalnya Muhammad, hari demi hari, bulan demi bulan.
Wafat
Tiga tahun Aminah mendidik anak tunggalnya dengan suka dan duka. Kelucuan, keceriaan dan ketangkasan Muhammad, mampu untuk menggembirakan hatinya. Namun, kerinduan akan mendiang suami tidak juga bisa terlupakan. Ia memutuskan untuk menziarahi makam sang suami sambil menziarahi kerabat yang ada di kota Yatsrib.
Dengan mengajak serta anak dan pembantunya Ummu Aiman, Aminah mengikut kafilah dagang, berangkat ke Yatsrib. Dalam riwayat, ikut pula mertua beliau Abdul Mutthalib.
Ajal tidak dapat ditolak, malaikat maut tidak pernah kompromi, kematian akan datang kepada setiap manusia pada saat yang sudah ditentukan.
Di tengah perjalanan pulang kembali ke Makkah, tepatnya di kampung Abwa, 210 km dari Madinah arah Makkah, Aminah meninggal dunia dan dimakamkan di sana.
Usia beliau kala itu  sekitar 24 tahun.
Lengkap sudah, Muhammad menjadi yatim piatu. Mulai hari itu, anak kecil ini tidak lagi akan mendengar canda ibu, setelah dia tidak pernah melihat kharisma wajah sang ayah. Muhammad kembali ke Makkah bersama Ummu Aiman, kakeknya Abdul Mutthalib dan rombongan kafilah dagang.



[1] Hadis diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam al-Sunan, hadis no. 3303.

Ibu susu
Menjadi adat dan kebiasaan orang Arab kala itu, khususnya kaum Quraisy, untuk menyusukan anak-anak mereka kepada orang lain yang memang berprofesi sebagai ibu susu. Biasanya mereka datang dari kampung. Dan kampung tukang menyusui adalah kampung Bani Sa’ad, daerah Hudaybiah, sekitar 23-25 km dari Masjid al-Haram. Ibu susu Rasulullah SAW dalam riwayat 4 orang. Dua diantaranya dapat dipastikan, sedangkan dua lainnya masih diperselisihkan. Mereka adalah :

 1. Tsuwaybah
Tsuwaybah, Ibu Susu Rasulullah SAW yang pertama. Beliau menyusukan Rasulullah SAW beberapa hari saja, antara 5-10 hari. Tsuwaybah adalah budaknya Abu Lahab yang kemudian dimerdekakan. Tak lama kemudian, beliau menyusui Rasulullah SAW ketika mengunjungi rumah Aminah dan didapati bahwa Muhammad yang masih bayi, tidak mau disusui ibunya. Dia pun akhirnya mencoba untuk menyusuinya, dan luar biasa, bayi ini pun mau. Sejak hari itu, sampai kedatangan Halimah al-Sa’diyah, Muhammad SAW disusui oleh Tsuwaybah. Cerita bahwa Tsuwaybah termasuk ibu susunya dapat dilihat dalam riwayat berikut :
Ummu Habibah bint Abu Sofyan ra. berkata : Saat Rasulullah SAW menemuiku, aku berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, apakah engkau berminat terhadap saudara perempuanku, yaitu putri Abu Sofyan?”
Rasulullah SAW balik bertanya : “Maksudmu, apa yang harus aku lakukan?” Aku menjawab : “Engkau menikahinya.” Rasulullah SAW bertanya : “Apakah kamu menyukai hal itu?” Aku menjawab : “Aku bukanlah istrimu satu-satunya dan orang yang paling aku senangi untuk sama-sama berbagi kebajikan ini adalah saudaraku.” Rasulullah bersabda :

“Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku.” Lalu aku katakan lagi kepada beliau : “Aku dengar engkau melamar Durrah bint Abu Salamah?” Beliau berkata : “Putri Ummu Salamah?” Aku menjawab : “Ya.”
Beliau bersabda :
Kalau ia bukan anak tiri yang berada dalam asuhanku, maka ia tidak halal bagiku karena ia adalah anak perempuan saudaraku sepersusuan, sebab aku dan bapaknya telah disusui oleh Tsuwaybah. Maka janganlah kamu menawarkan kepadaku putri-putrimu ataupun saudara-saudara perempuanmu. (HR. al-Bukhari dan Muslim)


2. Seorang ibu dari Bani Sa’ad selain Halimah

3. Halimah sl-Sa’diyah
Dikisahkan, entah kenapa, di hari pertama usia Muhammad, ibunya Aminah hendak menyusui anak tunggalnya ini, namun anak ini enggan untuk membuka mulutnya. Aminah yang sedih dengan kematian suaminya, semakin sedih ketika putranya tetap tidak ingin menyusu dari ibunya sendiri di hari kedua. Di hari ketiga, datanglah Tsuwaybah, pembantu Abu Lahab, dia menawarkan diri untuk menyusui keponakan majikannya ini, ternyata bayi ini mau dan mulai menyusu. Si ibu gembira luar biasa, Tsuwaybah dulu juga pernah menyusui Hamzah ibn Abdul Mutthalib. Pada hari ke delapan usia Muhammad, datanglah 10 orang wanita dari Bani Sa’ad ibn Bakr untuk mencari anak-anak susu. Satu dari mereka adalah Halimah yang datang bersama suaminya al-Harits dan putranya yang kecil, Abdullah ibn al-Harits.

Cerita Halimah
Bagaimana Halimah bisa menjadi ibu susu Rasulullah SAW, kisahnya diceritakan sendiri oleh beliau yang ringkasnya sebagai berikut :
Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’ad. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua yang tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami masih tetap mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar.
Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi-bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah SAW pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, “Dia adalah anak yatim.” Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri.
Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi yang aku susui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.” Suaminya berkata, “Memang ada baiknya jika engkau melakukan itu, semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu.” Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala aku mencoba menyusui, bayi itu mau menyusu sesukanya hingga kenyang.
Anak kandungku sendiri juga bisa menyusu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami hampir tidak pernah tidur karena mengurus bayi kami. Suamiku mengahampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami. “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya. “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku. Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami, juga kunaikkan bersamaku di atas punggungnya.
Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka (rombongan Bani Sa’ad) tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, “Wahai putri Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?” “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledai yang dulu.” Kataku. “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.” Kata mereka. Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’ad, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya.
Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kering. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian, di tempat gembalaannya putri Abu Dzu’aib.” Namun domba-domba mereka pulang tetap dalam keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak ini. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak kami ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia merelakan anak itu tinggal bersama kami. Begitulah Rasulullah SAW tinggal di tengah Bani Sa’ad, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas yang bercerita, bahwa :
Rasulullah SAW didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah bejana dari emas, dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun menemui beliau yang datang dengan wajah pucat. (HR. Muslim)


Penghormatan Rasulullah SAW
Satu potret penghormatan Rasulullah SAW terhadap ibu susunya terlihat di Ji’ranah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Amir ibn Watsilah al-Kinani yang berkata :
Aku melihat Rasulullah SAW membagi-bagikan daging di Ji’ranah, kala itu usiaku masih kecil, aku membawa tulang-tulang onta, tiba-tiba datang seorang perempuan mendekati Nabi SAW, kemudian baginda menghamparkan sorbannya, dan perempuan itu duduk di atasnya. Akupun bertanya : Siapakah perempuan ini ? Beberapa orang sahabat menjawab : Dia adalah ibu yang menyusuinya dulu. (HR. Abu Dawud)


Penghormatan Khadijah
Ketika Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah, Halimah al-Sa’diyah datang ke Makkah mengucapkan selamat, karena anak susunya telah menikah. Sebagai penghormatan dan tanda terima kasih, Khadijah yang dikenal kaya dan dermawan memberikan hadiah kepada ibu susu suami yang dicintai dan dikaguminya. Khadijah memberikan hadiah 40 ekor kambing.

4. Khaulah bint al-Mundzir
Dari keempat nama tadi, yang tidak diperselisihkan para sejarawan Islam adalah Tsuwaybah dan Halimah.
Ibu Asuh
Ummu Aiman Ibu Asuh Rasulullah SAW
Ibu Asuh Rasulullah SAW adalah Ummu Aiman, nama sebenarnya adalah Barakah bint Tsa’labah ibn ‘Amr ibn Hishn ibn Malik ibn Salamah ibn al-Nu’man al-Habasyiyah. Berasal dari Habasyah. Dia adalah mawali/budak/pembantu Abdullah ibn Abdul Mutthalib, ayah Rasulullah SAW. Menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji setelah Rasulullah SAW memerdekakannya. Dari perkawinan ini lahir Aiman. Dikatakan sebagai ibu asuh karena setelah kepergian Aminah bint Wahb, ibu kandung Rasulullah SAW ketika baginda masih berusia 6 tahun, Ummu Aiman lah yang menjaga dan mengasuhnya serta membantu keperluan seorang anak dari mulai makan, minum, pakaian dan lain sebagainya. Rasulullah SAW sering memanggilnya dengan sapaan Ummah (ibu). Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda : Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibundaku.
Perjuangan Ummu Aiman
Ummu Aiman adalah termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, paling tidak, untuk wanita, beliau masuk setelah Khadijah atau setelah putri-putri Rasulullah SAW atau masuk dalam kategori sepuluh wanita pertama masuk Islam. Semasa di Makkah, karena termasuk orang biasa, beliau mendapat perlakuan kasar dan buruk dari pemuka Quraisy. Ketika hijrah diizinkan, beliau termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah. Kemudian beliau termasuk orang yang kembali ke Makkah bersama rombongan. Ketika hijrah ke Madinah, beliau termasuk yang berhijrah, bahkan dengan berjalan kaki dan dalam kondisi puasa. Meski tidak sendiri dan tetap bersama rombongan, beliau tidak menunggang onta apalagi kuda. Jarak 430 km ditempuh dengan berjalan kaki.
Sampai akhirnya, karomah Allah SWT diberikan untuknya. Siang yang panas tetap dilaluinya dengan kesabaran dan ketabahan. Ketika datang waktu berbuka, Ummu Aiman tidak mendapatkan air untuk diminum. Tiba-tiba muncul gumpalan awan yang membentuk seperti ember putih, beliau mengambilnya dan meminum darinya. Setelah minum sampai hilang dahaganya, beliau melanjutkan perjalanannya ke Madinah tanpa pernah merasakan haus kembali. Bahkan sampai akhir hayatnya. Bahkan, beliau bercerita bahwa suatu ketika beliau sengaja tawaf di siang hari di panas yang terik dengan harapan akan merasa haus, tapi ternyata beliau tidak juga merasa haus.
Cerita Lucu
Ummu Aiman ra. bercerita : Suatu ketika Rasulullah SAW menginap di rumah. Ketika malam beliau bangun dan buang air di bejana. Tak lama kemudian saya terbangun dan mencari minum karena kehausan, saya mendapatkan air di bejana, dan saya langsung meminumnya. Esok paginya, Rasulullah SAW berkata kepadaku :
“Wahai Ummu Aiman, tolong buangkan air yang ada di bejana.”
Saya pun menjawab : “Wahai Rasulullah SAW, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, saya sudah minum air yang ada di dalamnya.” Rasulullah SAW tertawa sampai terlihat giginya lalu bersabda :
“Sungguh perutmu tidak akan sakit lagi setelah ini.”

Keluarga
Setelah dimerdekakan oleh Rasulullah SAW, Barakah (nama asli Ummu Aiman) menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Aiman. Karena itulah beliau dipanggil dengan nama Ummu Aiman. Aiman sendiri tumbuh menjadi pemuda yang gagah, berjuang bersama Rasulullah SAW sampai akhirnya syahid di perang Hunain. Ketika Ummu Aiman menjanda, masih lagi di Makkah sebelum hijrah. Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya : Barang siapa yang ingin menikahi perempuan ahli surga, maka hendaklah dia menikahi Ummu Aiman. Mendengar tawaran dan berita baik, Zayd ibn Haritsah langsung menyatakan minatnya dan melamarnya. Dari perkawinan ini, lahir Usamah ibn Zayd, orang yang dicintai Rasulullah SAW dan anak orang yang dicintai Rasulullah SAW.


Wafat
Ketika Rasulullah SAW meninggal, Abu Bakar mengajak Umar untuk menjenguk Ummu Aiman dengan harapan semoga dapat meringankan kesedihannya. Setelah berjumpa, Ummu Aiman menangis. Abu Bakar berkata : Kenapa kamu menangis, apa yang disiapkan Allah lebih baik untuk Rasulullah SAW. Ummu Aiman menjawab : Aku bukan tidak tahu hal itu, tetapi aku sedih karena wahyu sudah terputus dari langit. Terdapat beberapa riwayat tentang tahun wafatnya, ada yang mengatakan 5 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada juga yang mengatakan 6 bulan kemudian. Dalam kitab Nisa’ Hawl al-Rasul SAW, dipilih pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal 20 hari setelah terbunuhnya Umar, atau tahun 23 H.


Ibu Angkat
Fatimah bint Asad Ibu Angkat Rasulullah SAW
Dia adalah Fatimah bint Asad ibn Hasyim ibn Abd Manaf. Beliau adalah istri dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Beliau juga merupakan ibu dari sepupu Rasulullah SAW dari Abu Thalib : Ali, Thalib, ‘Aqil, Ja’far, Ummu Hani, Jumanah dan Raythah. Beliau lah yang mengasuh secara langsung Rasulullah SAW selama beliau ada di rumah Abu Thalib bersama Ummu Aiman sebagai pembantu mereka. Fatimah bint Asad baru masuk Islam setelah suaminya Abu Thalib meninggal. Beliau berbai’at dengan Rasulullah SAW dan menjadi muslimah yang baik. Beliau ikut berhijrah ke Madinah, dan setelah itu ikut berperan dan membantu Rasulullah SAW dalam perjuangannya dan peperangannya. Selain itu, beliau juga berperan besar dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya yang kesemuanya merupakan orang-orang yang sangat berperan dalam perjuangan Rasulullah SAW.


Riwayat
Dari Ibn Abbas : “Ketika Fatimah bint Asad ibn Hasyim, ibunda Ali ibn Abi Thalib meninggal, Rasulullah SAW membuka bajunya dan mengkafani Fatimah bint Asad ibn Hasyim, dan Rasulullah SAW berbaring di liang lahatnya, sesudah pemakaman selesai, para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, Engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan pada orang lain. Beliau menjawab : Aku memakaikannya bajuku supaya beliau memakai pakaian Ahli Surga, dan aku berbaring di liang lahatnya dengan harapan dapat meringankan himpitan kuburnya, beliau termasuk orang yang sangat berjasa kepadaku sesudah Abu Thalib”. Di riwayat yang lain Rasulullah SAW mendoakannya sesudah berbaring di liang lahadnya, “Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah yang Maha Hidup dan tidak akan mati, ampunilah Ibuku dan berilah Hujjah baginya, lapangkanlah kuburnya, demi Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Wafat
Beliau meninggal di Madinah. Ketika meninggal, Rasulullah SAW yang mengkafankannya, bahkan dengan menggunakan bajunya. Beliau juga yang ikut turun ke dalam liang lahat bahkan sempat tiduran di sisinya. Setelah keluar dari liang lahat, Rasulullah SAW terlihat menangis. Melihat hal yang diluar kebiasaan itu, Umar bertanya : Wahai Rasulullah, kenapa kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan terhadap orang lain ? Rasulullah SAW menjawab : “Wahai Umar, perempuan ini di mataku adalah seperti ibu yang melahirkanku. Ketika Abu Thalib mencari nafkah, beliaulah yang menyiapkan makanan dan aku makan bersama mereka”. Ketika para sahabat bertanya hal yang sama, Rasulullah SAW menjawab : “Sesungguhnya, tidak ada orang yang berbuat lebih baik kepadaku setelah Abu Thalib dari dia. Aku pakaikan bajuku dengan harapan dia dipakaikan baju dari surga, aku tiduran di liang lahatnya dengan harapan dia diringankan dari azab kubur.”
Peta makam

Kakek dan Nenek Rasulullah SAW
Kakek Rasulullah SAW dari Ayah adalah : Abdul Mutthalib, nama aslinya adalah Syaibatul Hamd ibn Hasyim (namanya ‘Amr) ibn Abd Manaf (namanya al-Mughirah) ibn Qushay (namanya Zayd) ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn al-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah (namanya ‘Amr) ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan.
Nenek Rasulullah SAW dari Ayah adalah :
1. Nutaila bint Janab
2. Halah bint Wuhaib
3. Fatimah bint ‘Amr
4. Samra’ bint Jundub
5. Lubna bint Hajar
6. Mumanna’a bint ‘Amr
Kakek Rasulullah SAW dari Ibu adalah : Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn al-Nadhr.
Nenek Rasulullah SAW dari Ibu adalah : Barrah bint Abd al-‘Uzza ibn Utsman ibn Abd al-Dar ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn al-Nadhr.

Paman dan Bibi Rasulullah SAW
1. Al-Abbas
Beliau lebih tua 3 tahun dari Nabi Muhammad SAW, termasuk orang terkemuka kaum Quraisy, bijaksana, memiliki kharisma. Beliau mengumumkan keislamannya pada tahun penaklukkan Makkah. Beliau wafat di Madinah dan dishalatkan oleh Khalifah Utsman ibn Affan.

2. Hamzah
Singa Allah dan Singa Rasul-Nya dari kaum Muhajirin, ikut dalam perang Badar, beliau lebih tua 4 tahun dari Rasulullah SAW, dan mati Syahid di perang Uhud, dibunuh oleh Wahsyi

3. Abu Thalib
Nama aslinya adalah Abd Manaf. Dia yang mengasuh Rasulullah SAW setelah kakeknya Abdul Mutthalib wafat. Dia melindungi Rasulullah SAW dari kejahatan kaum Quraisy. Abu Thalib wafat tahun 9 kenabian.

4. Al-Zubayr
Adalah anak dari Fatimah, seibu dengan Abdullah (paman kandung Rasulullah SAW).

5. Al-Harits
Adalah putra pertama Abdul Mutthalib, maka dia dipanggil Abu al-Harits. Al-Harits ikut serta dengan ayahnya menggali ulang sumur Zamzam.

6. Hajl
Namanya adalah al-Mughirah anak dari Halah bint Wuhaib.
7. Al-Muqawwim
Beliau adalah anak dari Halah bint Wuhaib.

8. Dhirar
Adalah putra Quraisy yang terkenal dengan ketampanan dan kedermawanannya. Meninggal di zaman awal kenabian Rasulullah SAW, dan tidak mempunyai keturunan. Anak dari Nutailah bint Janab.

9. Abu Lahab
Namanya adalah Abdul Uzza, nama panggilannya Abu ‘Utbah, dipanggil oleh Abdul Mutthalib “Abu Lahab” karena dia tampan. Terkenal dengan kedermawanannya. Ibunya adalah Lubna bint Hajar. Nabi SAW sudah berusaha mengajaknya masuk Islam, namun selalu ditolak. Bahkan, Abu Lahab dan istrinya yang bernama Ummu Jamil bint Harb begitu memusuhi Nabi SAW sehingga turunlah ayat yang secara tegas melaknat apa yang dilakukannya. Abu Lahab tewas pada perang Badr tahun 2 H. Sedikit cerita tentang Abu Lahab termuat dalam surat al-Lahab ayat 1-5 : 1. Binasalah kedua tangan abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. 2. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. 3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. 4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. 5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

10. Qutsam
Ibunya adalah Nutailah bint Janab. Tidak mempunyai keturunan.

11. Mush’ab
Ibunya adalah Mumanna’ah bint ‘Amr. Gelarnya al-Ghaidaq. Diberi gelar al-Ghaidaq karena dia termasuk orang Quraisy yang dermawan dan kaya raya. Saudara seibunya adalah ‘Auf ibn Abd ‘Auf, yang merupakan ayah dari Abdurrahman ibn ‘Auf.

Bibi Rasulullah SAW :
1. Sofiyyah
Sofiyyah ra. masih sempat melihat hari-hari terakhir Rasulullah SAW, keponakan yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil. Beliau wafat di zaman Khalifah Umar ibn al-Khatthab, tahun 20 H dalam usia 70 an (73-79) tahun. Jenazahnya dimakamkan di Baqi’, Madinah al-Munawwarah.
2. Ummu Hakim al-Baydha’
Beliau menikah dengan Kurayz ibn Rabi’ah pada masa Jahiliyah dan dikaruniai 4 orang anak, yaitu : ‘Amir, Arwa, Thalhah, dan Ummi Thalhah. Arwa menikah dengan ‘Affan ibn Abi al-‘Ash dan dikaruniai seorang putra bernama Utsman ibn ‘Affan. Al-Baydha’ dinikahi oleh ‘Uqbah ibn Abi Mu’ayth dan dikaruniai al-Walid, Khalid dan Ummu Kultsum.
3. ‘Atikah
‘Atikah bint Abdul Mutthalib, salah seorang bibi Rasulullah SAW. Menikah di zaman jahiliyah dengan Abi Umayyah ibn al-Mughirah (ayah dari Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW). Dari pernikahan ini beliau dikaruniai beberapa anak, antara lain Abdullah dan Zuhayr. Abdullah tidak masuk Islam. Zuhayr masuk Islam, bahkan termasuk orang yang berusaha merobek lembar blokade (surat perjanjian) yang di gantung di Ka’bah. Masuk Islam masih di Makkah, namun baru sempat hijrah setelah perang Badr. Bahkan Atikah ra. sempat bermimpi tentang kekalahan Quraisy di perang Badr sebelum kejadian itu terjadi. Sayang, setelah beliau tiba di Madinah setelah perang Badr, catatan tentang sejarah hidup beliau tidak termuat lagi dalam kitab sirah, termasuk tahun wafatnya.
4. Umaimah
Menikah di masa Jahiliyah dengan Jahsy ibn Riyab dan dikaruniai 4 orang anak, yaitu : Abdullah (yang menyaksikan perang Badr), Ubaidillah dan Abd atau Abu Ahmad, Zainab bint Jahsy yang kemudian menjadi istri Rasululah SAW, dan Hamnah bint Jahsy.
5. Arwa
Arwa bint Abdul Mutthalib ibn Hasyim. Salah seorang bibi Rasulullah SAW. Menikah di zaman jahiliyah dengan Umayir ibn Wahab ibn Abd Manaf. Dikaruniai anak laki-laki bernama Thulaib. Setelah suaminya meninggal, beliau menikah lagi dengan Artha’ah ibn Syarhabil ibn Hasyim. Dari suami keduanya ini beliau dikaruniai seorang putri bernama Fatimah. Masuk Islam sejak awal lagi, namun putranya sudah terlebih dahulu masuk Islam. Bahkan, karena kondisi yang sulit, konon pernyataan syahadatain beliau disampaikan ke Rasulullah SAW melalui lisan putranya. Karena itu, konsekuensinya Arwa dan putranya harus mengalami pelbagai macam intimidasi dan penyiksaan. Dan itu dilaluinya dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Sayang, perjalanan hidup beliau seteleh priode Makkah tidak ditemukan dalam kebanyakan kitab sirah. Meski tidak dapat dipastikan, ada pendapat bahwa beliau meninggal tahun 15 H.
6. Barrah
Dinikahi pada masa jahiliyah oleh Abdul Asad ibn Hilal dan dikaruniai Abu Salamah yang menyaksikan Perang Badr. Abu Salamah menikahi Ummu Salamah bint Abu Umayah, dan setelah Abu Salamah meninggal beliau dinikahi oleh Rasulullah SAW. Sesudah Abdul Asad, Barrah dinikahi oleh Abu Rahm ibn Abd al-Uzza dan dikaruniai Abu Sabrah ibn Abu Rahm yang juga menyaksikan perang Badr.
Penjelasan
Putra-putri Abdul Mutthalib 18, 12 laki-laki dan 6 perempuan. Dari istri pertama : Fatimah bint Amr al-Makhzumiah dikaruniai 3 putra : Abdullah, Abu Thalib dan al-Zubyr. Dari istri kedua : Nutailah al-Umariyyah, anaknya : al-Abbas, Dhirar dan Qutsam. Dari istri ketiga : Halah bint Wuhaib, anaknya : Hamzah, al-Muqawwim dan Hajl. Dari istri keempat : Lubna al-Khuza’iyah dikaruniai 1 putra : Abu Lahab yang nama sebenarnya adalah Abd al-Uzza. Dari istri kelima Shofiyyah, anaknya al-Harits adalah anak sulung dari Abdul Muthalib. Dari istri keenam Mumanna’ah, anaknya al-Ghaiydaq yang nama sebenarnya Mush’ab. Sedangkan Abdullah, ayah Rasulullah SAW merupakan putra terkecil (bungsu).

Istri-istri Rasulullah SAW
Istri Rasulullah SAW 11 orang, mereka adalah:

1. Khadijah bint Khuwailid
Biografi Singkat
Khadijah bint Khuwailid, wanita pemuka kota Makkah yang dihormati dan disegani. Dikenal sebagai saudagar yang sukses. Lahir dari keluarga yang terhormat, ayahnya bernama Khuwailid ibn Asad ibn Abd al-Uzza ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay. Ibunya bernama Fatimah bint Za’idah ibn al-Asham ibn Haram ibn Rawahah. Dari silsilah ayahnya, pada kakeknya yang bernama Qushay nasabnya bertemu dengan nasab nabi Muhammad SAW. Khadijah lahir 15 tahun lebih awal dari pada nabi Muhammad SAW, persisnya pada tahun 68 SH.
Perkawinan sebelum dengan Muhammad
Khadijah pertama kali menikah dengan Abi Halah ibn Zurarah al-Taymi. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai dua orang anak yang bernama : Halah dan Hindun. Abu Halah meninggal, Khadijah menikah lagi dengan suami keduanya yang bernama ‘’Utaiyq ibn ‘Abid ibn Abdillah al-Makhzumi. Perkawinan ini tidak bertahan lama, mereka pun bercerai. Usai bercerai dengan suami kedua, banyak pemuka Quraisy yang datang melamar Khadijah, namun selalu ditolak. Dia memilih konsentrasi untuk mendidik anak-anaknya dan pada perdagangan hartanya.
Perkawinan Khadijah dengan Muhammad
Ketika Muhammad masih lagi muda, Khadijah yang sudah mendengar dan mengetahui reputasi Muhammad sebagai pemuda yang jujur, pedagang yang ulet dan amanah, maka beliau pun mempercayakan Muhammad untuk membawa dagangannya ke Syam ditemani oleh budaknya yang bernama Maysarah. Perdagangan ini menghasilkan keuntungan yang lebih dari biasanya. Maysarah pun melaporkan kejadian yang dialamai dan dilihatnya selama perjalanan bersama Muhammad. Khadijah sangat mengagumi akhlak dan kepiawaian Muhammad dalam berdagang. Khadijah juga menilai bahwa Muhammad cocok untuk dirinya. Keinginannya ini diceritakannya kepada seorang sahabatnya yang bernama Nafisah bint Munayyah. Nafisah pun menemui Muhammad dan bertanya : “Hai Muhammad, kenapa kamu belum menikah ?”
Muhammad menjawab : “Saya tidak punya sesuatu untuk menikah”. Nafisah kembali bertanya : “Bagaimana kalau dia yang memenuhinya, dan seorang itu memiliki harta, kecantikan, keturunan yang mulia, dan kesetaraan. Apakah kamu mau ?” Rasulullah SAW bertanya : “Dan siapakah dia itu ?” Nafisah menjawab : “Khadijah bint Khuwailid” Rasulullah SAW berkata : “Jika dia menyetujui, maka saya sudah menerimanya”. Nafisah memberitahukan Khadijah kabar gembira ini, Khadijah menyambutnya dengan gembira. Lalu, semua persiapan yang diperlukan pun dilakukan. Abu Thalib, Hamzah dan paman Muhammad lainnya datang meminang Khadijah untuk Muhammad.
Perkawinan dilaksanakan dengan mas kawin 20 ekor onta betina. Di hari perkawinan mereka, Khadijah mengadakan walimah dengan bersedekah kepada fakir miskin, bahkan ketika ibu susu suami barunya datang, yaitu Halimah al-Sa’diyah, Khadijah menghadiahinya 40 ekor kambing sebagai rasa terima kasih karena telah pernah mengasuh Muhammad yang kini sudah menjadi suaminya.

Perjuangan Khadijah ra.
Cintanya Khadijah kepada Muhammad tidak setengah-setengah. Demikian pula sebaliknya. Pengorbanan Khadijah untuk membantu suaminya yang sudah menunjukkan tanda-tanda kenabian tidak berhenti. Dukungan moril dan materil diberikan sepenuhnya. Terlebih setelah sang suami diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah, Khadijah tanpa ragu meyakini kebenaran yang dibawa oleh nabi baru yang adalah suaminya sendiri. Pengorbanan dan dukungan Khadijah yang sangat besar, bahkan tidak terbatas inilah yang membuat cinta Muhammad kepada istri pertamanya tidak dapat digantikan oleh istri-istrinya yang lain. Bahkan, ketika ada keraguan dari Muhammad akan apa yang terjadi terhadap dirinya, Khadijah menanyakan hal ini kepada salah seorang sepupunya yang seorang pendeta : Waraqah ibn Naufal.
Waraqah menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada diri Muhammad juga itu yang terjadi pada diri Musa dan Isa. Dan itu merupakan tanda kenabian. Pengakuan dan penjelasan Waraqah menambah keyakinan Khadijah bahwa suaminya adalah seorang nabi. Dan dia pun bersegera mengakuinya sebagai nabi dan mengimani semua yang dibawanya. Bukan cuma itu, Khadijah berdiri dibelakang suaminya, mengajak penduduk Makkah untuk menganut agama baru, Islam. Ajakan mereka berhasil dan Zayd, serta kesemua putri-putrinya memeluk agama baru ini.

Wafat
Khadijah menafkahkan semua hartanya untuk Islam. Ketika masa blokade ekonomi yang diberlakukan oleh kaum Quraisy, selama 3 tahun itu pula Khadijah ikut merasakan pahitnya. Sampai akhirnya, ajalpun menjemput. Setelah 3 hari mengalami sakit yang semakin parah, nyawa yang suci itu pun akhirnya berpulang ke pangkuan sang Khaliq. Khadijah meninggal tahun 3 SH. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la, daerah Hujun, Makkah. Sebagai seorang yang begitu berarti bagi Rasulullah SAW dan perjuangannya, baginda pernah bersabda :
Sebaik-baik wanita pada zamannya adalah Maryam bint Imran, dan sebaik-baik wanita pada zamannya adalah Khadijah bint Khuwailid. (HR. al-Bukahri dan Muslim)
Foto pemakaman Ma’la

2. Saudah bint Zum’ah
Biografi
Saudah bint Zum’ah ibn Qays ibn Abd Syam ibn Abd ibn Nashr ibn Malik ibn Hasan ibn Malik al-Qurasyi’ah al-‘Amiriyah. Ibunya bernama al-Syamus bint Qays ibn Zayd ibn Umar, dari Bani Adiy ibn al-Najjar. Masuk Islam di fase awal. Saudah menikah pertama kali dengan sepupunya yang bernama Sakran ibn ‘Amr. Keduanya bersama-sama ikut berhijrah ke Habasyah bersama serombongan kaum muslimin. Takdir Allah, Sakran dipanggil Allah dan meninggal di pengasingan, Habasyah. Saudah kembali ke Makkah dengan status sosial berbeda, sebagai seorang janda.
Pernikahannya dengan Rasulullah SAW
Suatu hari, ketika Rasulullah SAW sedang mengenang masa-masa indahnya bersama Khadijah, tiba-tiba muncul Khaulah bint Hakim, istri dari Utsman ibn Maz’un. Rasulullah SAW pun menyambutnya. Khaulah bertanya : Wahai Rasulullah SAW apakah baginda tidak mau nikah ? Rasulullah SAW terperanjat lalu menjawab : Siapa setelah Khadijah, wahai Khaulah ?
Jika baginda mau yang perawan bisa, atau yang janda juga bisa. Rasulullah berkata: Siapa yang perawan ? Khaulah berkata : Putri sahabatmu, ‘Aisyah bint Abi Bakar. Rasulullah kembali bertanya : Yang sudah janda ? Khaulah menjawab : Saudah, dia sudah beriman dan mengikuti ajaranmu.
Rasulullah SAW meminta Khaulah untuk mengatur semua. Khaulah pun melaksanakan permintaan ini. Akhirnya, Rasulullah SAW melakukan Aqad nikah dahulu dengan Aisyah, baru kemudian dengan Saudah. Bedanya, dengan Aisyah pasangan suami istri ini tidak langsung tinggal serumah karena usia Aisyah, sedangkan dengan Saudah, mereka langsung tinggal serumah.

Upacara Pernikahan
Saudah adalah seorang janda yang sudah berumur untuk ukuran seorang ibu, berwajah biasa saja dan berperawakan besar/gemuk. Seorang janda yang tabah dan kuat, yang rela mempertahankan aqidahnya meski harus melalui cobaan dan penderitaan. Karena itu, ketika Rasulullah SAW melamarnya, beliau tahu bahwa lamaran tersebut datang dari seorang Rasul, bukan dari seorang laki-laki atas nama kelaki-lakiannya. Beliau mensyukuri hal tersebut, beliau dengan ikhlas membantu keperluan Rasulullah SAW dan bersama mendidik anak-anaknya. Lalu, ketika fase Madinah, beliau menyerahkan malam gilirannya untuk diberikan kepada Aisyah.

Wafat
Saudah Ummul Mu’minin menyaksikan kepergian suaminya, orang yang dicintai dan diharapkan akan menjadi suaminya di surga kelak, Rasulullah SAW. Beliau meninggal pada zaman Khalifah Umar ibn al-Khatthab dan jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Baqi’.

3. Aisyah bint Abu Bakar
Biografi singkat
Aisyah bint Abi Bakar ibn Utsman ibn ‘Amir ibn ‘Amr ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay. Ibunya : Ummu Ruman bint ‘Amir ibn ‘Uwaimir al-Kinaniyah. Lahir di Makkah tahun 5 setelah kenabian. Menikah dengan Rasulullah SAW tahun 1 atau 2 SH dalam usia 6/7 tahun. Berumah tangga dengan Rasulullah SAW tahun 2 H dalam usia 9/10 tahun. Meninggal tahun 57 H, sekitar 46 tahun setelah Rasulullah SAW meninggal. Meriwayatkan sekitar 2.110 hadis.

Pernikahannya dengan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menikahi Aisyah di Makkah kala usia Aisyah masih 6 tahun, menurut riwayat Imam al-Bukhari dan beberapa kitab hadis. Dalam riwayat Ibn Hisyam, usia Aisyah 7 tahun. Namun harus dicatat, bahwa pada usianya 6-7 tahun, Aisyah hanya dinikahkan secara Akad. Artinya, pasangan suami-istri yang sudah sah ini, tidak langsung tinggal serumah dan melakukan apa yang biasa dilakukan suami istri. Rasulullah SAW baru hidup serumah ketika keduanya sudah berada di Madinah. Walimahnya diadakan pada bulan Syawwal tahun 1 H, atau sekitar 8 bulan setelah Nabi SAW tiba di Madinah. Selain pendapat tadi, ada juga riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, bahwa walimah itu baru dilaksanakan setelah Rasulullah SAW kembali dari perang Badr, dan itu di tahun 2 H. Wallahu A’lam. Sedangkan mahar untuk pernikahan ini, menurut riwayat Ibn Hisyam : 400 dirham. Sedangkan menurut riwayat Ibn Majah, maharnya adalah kebutuhan/peralatan rumah tangga yang besarnya ditaksir sebesar 50 dirham atau 40 dirham.

Riwayat Walimah Pernikahan
Dari Aisyah ra. ia berkata :
Rasulullah SAW menikahiku pada saat aku berusia enam tahun dan beliau menggauliku saat berusia sembilan tahun. Aisyah ra. melanjutkan : Ketika kami tiba di Madinah, aku terserang penyakit demam selama sebulan setelah itu rambutku tumbuh lebat sepanjang pundak. Kemudian Ummu Ruman datang menemuiku waktu aku sedang bermain ayunan bersama beberapa orang teman perempuanku. Ia berteriak memanggilku, lalu aku mendatanginya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang diinginkan dariku. Kemudian ia segera menarik tanganku dan dituntun sampai di muka pintu. Aku berkata : Huh.. huh.. hingga nafasku lega. Kemudian Ummu Ruman dan aku memasuki sebuah rumah yang di sana telah banyak wanita Anshar. Mereka mengucapkan selamat dan berkah atas nasib yang baik. Ummu Ruman menyerahkanku kepada mereka lalu mereka memandikanku dan meriasku, dan tidak ada yang membuatku terkejut kecuali ketika Rasulullah SAW datang dan mereka meyerahkanku kepada beliau. (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Hikmah Perkawinan
Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah yang masih berusia sangat muda, pada waktu itu sama sekali tidak menjadi gosip miring. Sebab hal itu merupakah hal yang biasa dilakukan masyarakat Arab, baik di Makkah maupun di Madinah. Berbeda dengan kebiasaan orang di zaman sekarang. Bukti dari model pernikahan ini merupakan adat kebiasaan masyarakat kala itu adalah Rasulullah SAW sendiri menikahkan 3 orang putri pertamanya juga dalam usia masih sangat belia. Zainab menikah dengan Abu al-’Ash, kemudian Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahkan dengan ‘Utbah dan Utaibah. Ketiga-tiganya melakukan akad sebelum Nabi SAW menjadi Nabi. Jadi dipastikan, usia mereka masih sangat muda. Tidak perlu terlalu jauh mengambil contoh, di tahun 1950 an, berapakah usia umum perempuan Indonesia menikah? Apakah di usia 20 tahun? Tentu tidak. 17 tahun? Jawabnya juga tidak. Terlalu banyak contoh nenek kita yang menikah dalam usia di bawah 15 tahun. Apakah itu aib dan bermasalah pada waktu itu? Jawabannya jelas : Tidak. Lalu bagaimana dengan 1.400 tahun yang lalu?
Muhammad SAW kala pernikahan itu sudah menjadi Nabi. Walhasil, semua tindakan strategisnya pasti berdasarkan persetujuan wahyu. Di balik persetujuan wahyu itu, pasti ada hikmah besar yang kadang tidak terbaca oleh kebanyakan orang. Beberapa hikmah yang dapat kita lihat adalah :

  •  Rasulullah SAW adalah sumber hukum. Dari prilaku dan berita yang disampaikan merupakan ilmu pengetahuan dan bahkan bisa menjadi dasar hukum.
  • Aisyah yang masih polos karena faktor usia yang masih sangat muda, ditambah kecerdasan otaknya, menjadikannya haus untuk ditanya dan bertanya tentang banyak hal oleh dan dari Rasulullah SAW. Hasilnya, banyak sekali ilmu pengetahuan yang diserap oleh beliau. Ini terbukti dengan banyaknya Hadis riwayat Aisyah.
  • Imam al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama hadis terkenal berkata : Kalaulah semua ilmu orang digabungkan, kemudian ilmu istri-istri Rasulullah SAW digabungkan, (kemudian dibandingkan dengan ilmu Aisyah) maka ilmu Aisyahlah yang terbanyak.
Dengan usia mudanya Aisyah, maka kesempatannya untuk menyampaikan ilmu yang didapat dari Rasulullah SAW lebih leluasa dan lebih panjang masanya. Hal ini terbukti dari usia Aisyah yang masih hidup + 45 tahun setelah Rasulullah SAW meninggal. Dalam kurun waktu 45 tahun ini Aisyah menjadi sumber informasi utama. Data yang lain menunjukkan, bahwa orang yang meriwayatkan hadis atau informasi dari beliau, sekurang-kurangnya berjumlah : 299 orang. Status keperawanannya, membawa banyak dampak hukum. Pertama, bukan menjadi sunnah Nabi menikah dengan janda. Bukan menjadi sunnah Nabi menikah dengan perawan. Perawan dan janda jangan dijadikan pertimbangan pertama. Boleh menikah dengan orang yang sudah baligh. Hal ini sebagai dasar hukum, namun bukan menjadi sunnah Nabi menikah dengan perempuan berusia sangat muda seperti usia Aisyah, sebagai Nabi, beliau hanya menikahi orang seusia ini satu kali, yaitu dengan Aisyah. Sedangkan usia istri-istri beliau yang lain, sangat bervariatif. Ada yang masih 17- 20 tahun, ada yang 21-30 tahun, dan ada juga yang sudah berusia 31-40 tahun.

Difitnah Selingkuh : Hadits al-Ifk
Cobaan yang paling berat yang dialami Aisyah dalam rumah tangganya dengan Rasulullah SAW adalah ketika beliau difitnah selingkuh dan berzina dengan Shafwan ibn Mu’atthal al-Sulami al-Dzakwani . Kisah ini dikenal dengan Hadits al-Ifk. Kisah itu terjadi pada tahun 5 H setelah pulang dari Perang dengan Bani al-Mustalaq di daerah Muraysi’. Berikut riwayat kejadiannya sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim : Aisyah ra. istri Nabi SAW bercerita : Setiap Rasulullah SAW hendak keluar dalam suatu perjalanan, beliau selalu mengadakan undian di antara para istri beliau dan siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka Rasulullah SAW akan berangkat bersamanya. Aisyah berkata: Lalu Rasulullah SAW mengundi di antara kami untuk menentukan siapa yang akan ikut dalam perang dan ternyata keluarlah undianku sehingga aku pun berangkat bersama Rasulullah SAW. Peristiwa itu terjadi setelah diturunkan ayat hijab (al-Ahzab ayat 53) di mana aku dibawa dalam sekedup dan ditempatkan di sana selama perjalanan kami.
Pada suatu malam ketika Rasulullah SAW selesai berperang lalu pulang dan kami telah mendekati Madinah, beliau memberikan aba-aba untuk berangkat. Aku pun segera bangkit setelah mendengar mereka mengumumkan keberangkatan lalu berjalan sampai jauh meninggalkan pasukan tentara. Seusai melaksanakan hajat, aku hendak langsung menghampiri onta tungganganku namun saat meraba dada, ternyata kalungku yang terbuat dari mutiara Zifar putus. Aku pun kembali untuk mencari kalungku sehingga tertahan karena pencarian itu. Sementara orang-orang yang bertugas membawaku mereka telah mengangkat sekedup itu dan meletakkannya ke atas punggung ontaku yang biasa aku tunggangi karena mereka mengira aku telah berada di dalamnya. Ia menambahkan : Kaum wanita pada waktu itu memang bertubuh ringan dan langsing/tidak gemuk karena mereka hanya mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedikit sehingga orang-orang itu tidak merasakan beratnya sekedup ketika mereka mengangkatnya ke atas onta. Apalagi ketika itu aku anak perempuan yang masih belia. Mereka pun segera menggerakkan onta itu dan berangkat.
Aku baru menemukan kalung itu setelah pasukan tentara berlalu. Kemudian aku mendatangi tempat perhentian mereka, namun tak ada seorang pun di sana. Lalu aku menuju ke tempat yang semula dengan harapan mereka akan merasa kehilangan dan kembali menjemputku. Ketika aku sedang duduk di tempatku rasa kantuk mengalahkanku sehingga aku pun tertidur. Ternyata ada Shafwan ibn al-Mu’atthal al-Sulami al-Dzakwani yang tertinggal di belakang pasukan sehingga baru dapat berangkat pada malam hari dan keesokan paginya ia sampai di tempatku. Dia melihat bayangan hitam seperti seorang yang sedang tidur lalu ia mendatangi dan langsung mengenali ketika melihatku karena ia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab. Aku terbangun oleh ucapannya, “inna lillaahi wa inna ilaihi raji`uun” pada saat dia mengenaliku. Aku segera menutupi wajahku dengan kerudung dan demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara sepatah kata pun dan aku pun tidak mendengar satu kata pun darinya selain ucapan “inna lillahi wa inna ilaihi raji`uun”.
Kemudian ia menyiapkan onta sehingga aku dapat menaikinya. Dan ia pun berangkat sambil menuntun onta yang aku tunggangi hingga kami dapat menyusul pasukan yang sedang berteduh di tengah hari yang sangat panas. Maka celakalah orang-orang yang telah menuduhku di mana yang paling besar berperan ialah Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Sampai kami tiba di Madinah dan aku pun segera menderita sakit setiba di sana selama sebulan. Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan para pembuat berita bohong padahal aku sendiri tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Yang membuatku gelisah selama sakit adalah bahwa aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah SAW yang biasanya kurasakan ketika aku sakit. Rasulullah SAW hanya masuk, mengucapkan salam, kemudian bertanya : “Bagaimana keadaannya?”
Hal itu membuatku gelisah, tetapi aku tidak merasakan adanya keburukan, sampai ketika aku keluar setelah sembuh bersama Ummu Misthah ke tempat pembuangan air besar di mana kami hanya keluar ke sana pada malam hari sebelum kami membangun tempat membuang kotoran (WC) di dekat rumah-rumah kami. Kebiasaan kami sama seperti orang-orang Arab dahulu dalam buang air. Kami merasa terganggu dengan tempat-tempat itu bila berada di dekat rumah kami. Aku pun berangkat dengan Ummu Misthah, seorang anak perempuan Abu Ruhm ibn Mutthalib ibn Abdi Manaf dan ibunya adalah putri Shakhr ibn ‘Amir, bibi Abu Bakar al-Siddiq. Putranya bernama Misthah ibn Utsatsah ibn Abbad ibn Mutthalib. Aku dan putri Abu Ruhm langsung menuju ke arah rumahku sesudah selesai buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah menginjak bajunya dan terpeleset jatuh sehingga terucaplah dari mulutnya kalimat : “Celakalah Misthah!” Aku berkata kepadanya : Alangkah buruknya apa yang kau ucapkan! Apakah engkau memaki orang yang telah ikut serta dalam perang Badr?
Ummu Misthah berkata : “Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang dia katakan?” Aku menjawab : “Memangnya apa yang dia katakan?” Ummu Misthah lalu menceritakan kepadaku tuduhan para pembuat cerita bohong sehingga penyakitku semakin bertambah parah. Ketika aku kembali ke rumah, Rasulullah SAW masuk menemuiku, beliau mengucapkan salam kemudian bertanya : Bagaimana keadaannya? Aku berkata : Apakah engkau mengizinkan aku mendatangi kedua orang tuaku? Pada saat itu aku ingin meyakinkan kabar itu dari kedua orang tuaku. Begitu Rasulullah SAW memberiku izin, aku pun segera pergi ke rumah orang tuaku. Sesampai di sana, aku bertanya kepada ibu : “Wahai ibuku, apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?” Ibu menjawab : “Wahai anakku, tenanglah! Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita buruk dilontarkan kepadanya.”
Aku berkata : “Maha suci Allah! Apakah setega itu orang-orang membicarakanku?” Aku menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis. Beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali ibn Abu Thalib dan Usamah ibn Zayd untuk membicarakan perceraian dengan istrinya ketika wahyu tidak kunjung turun. Usamah ibn Zayd memberikan pertimbangan kepada Rasulullah SAW sesuai dengan yang ia ketahui tentang kebersihan istrinya (dari tuduhan) dan berdasarkan kecintaan dalam dirinya yang ia ketahui terhadap keluarga Nabi SAW. Ia berkata : “Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan kami tidak mengetahui dari mereka kecuali kebaikan.” Sedangkan Ali ibn Abu Thalib berkata : “Semoga Allah tidak menyesakkan hatimu karena perkara ini, banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika engkau bertanya kepada budak perempuan itu (pembantu rumah tangga Aisyah) tentu dia akan memberimu keterangan yang benar.”
Lalu Rasulullah SAW memanggil Barirah (jariyah yang dimaksud) dan bertanya : “Hai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang Aisyah?” Barirah menjawab : “Demi Zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran! Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.” Kemudian Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar meminta bukti dari Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Di atas mimbar itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wahai kaum Muslimin, siapakah yang mau menolongku dari seorang yang telah sampai hati melukai hati keluarga? Demi Allah! Yang kuketahui pada keluargaku hanyalah kebaikan. Orang-orang juga telah menyebut-nyebut seorang lelaki yang kuketahui baik. Dia tidak pernah masuk menemui keluargaku (istriku) kecuali bersamaku.”
Maka berdirilah Sa’ad ibn Mu’az al-Anshari seraya berkata : “Aku yang akan menolongmu dari orang itu, wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan Aus, aku akan memenggal lehernya dan kalau dia termasuk saudara kami dari golongan Khazraj, maka engkau dapat memerintahkanku dan aku akan melaksanakan perintahmu.” Mendengar itu, berdirilah Sa’ad ibn ‘Ubadah. Dia adalah pemimpin golongan Khazraj dan seorang lelaki yang baik tetapi amarahnya bangkit karena rasa fanatik golongan. Dia berkata tertuju kepada Sa’ad ibn Mu’az : “Engkau salah! Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu untuk membunuhnya!” Lalu Usayd ibn Hudhayr saudara sepupu Sa’ad ibn Mu’az, berdiri dan berkata kepada Sa’ad ibn ‘Ubadah : “Engkau salah! Demi Allah, kami pasti akan membunuhnya! Engkau adalah orang munafik yang berdebat untuk membela orang-orang munafik.” Bangkitlah amarah kedua golongan yaitu Aus dan Khazraj, sehingga mereka hampir saling berbaku-hantam dan Rasulullah SAW masih berdiri di atas mimbar terus berusaha meredakan emosi mereka hingga mereka diam dan Rasulullah SAW diam.
Sementara itu, aku menangis sepanjang hari, air mataku tidak berhenti mengalir dan aku pun tidak merasa nyenyak dalam tidur. Aku masih saja menangis pada malam berikutnya, air mataku tidak berhenti mengalir dan juga tidak merasa enak tidur. Kedua orangtuaku mengira bahwa tangisku itu akan membelah jantungku. Ketika kedua orangtuaku sedang duduk di sisiku yang masih menangis, datanglah seorang perempuan Anshar meminta izin menemuiku. Aku memberinya izin lalu dia pun duduk sambil menangis. Pada saat kami sedang dalam keadaan demikian, Rasulullah SAW masuk. Beliau memberi salam, lalu duduk. Beliau belum pernah duduk di dekatku sejak ada tuduhan yang bukan-bukan kepadaku, padahal sebulan telah berlalu tanpa turun wahyu kepada beliau mengenai persoalanku.
Rasulullah SAW mengucap syahadat pada waktu duduk kemudian bersabda : “Hai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku bermacam tuduhan tentang dirimu. Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.” Ketika Rasulullah SAW selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku : “Jawablah untukku kepada Rasulullah SAW mengenai apa yang beliau katakan.” Ayahku menyahut : “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah SAW.” Kemudian aku berkata kepada ibuku : “Jawablah untukku kepada Rasulullah SAW!” Ibuku juga berkata : “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah SAW.”
Maka aku pun berkata : “Aku adalah seorang perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca al-Qur’an. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian, bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku. Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana dikatakan ayah Nabi Yusuf : Kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah SWT dengan wahyu yang diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah SAW akan bermimpi bahwa Allah membersihkan diriku dari fitnah itu.
Rasulullah SAW belum lagi meninggalkan tempat duduknya dan tak seorang pun dari isi rumah ada yang keluar, ketika Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Tampak Rasulullah SAW merasa kepayahan seperti biasanya bila beliau menerima wahyu, hingga tetesan keringat beliau bagaikan mutiara di musim dingin, karena beratnya firman yang diturunkan kepada beliau. Ketika keadaan yang demikian telah hilang dari Rasulullah SAW (wahyu telah selesai turun), maka sambil tertawa, perkataan yang pertama kali beliau ucapkan adalah : “Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu dari tuduhan”. Lalu ibuku berkata kepadaku : “Bangunlah! Sambutlah beliau!” Aku menjawab : “Demi Allah, aku tidak akan bangun menyambut beliau. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa diriku bersih”.
Allah Ta’ala menurunkan ayat : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga, dan sepuluh ayat berikutnya. Allah menurunkan ayat-ayat tersebut yang menyatakan bahwa diriku bersih”. Abu Bakar yang semula selalu memberikan nafkah kepada Misthah karena kekerabatan dan kemiskinannya, pada saat itu mengatakan : “Demi Allah, aku tidak akan lagi memberikan nafkah kepadanya sedikit pun selamanya, sesudah apa yang dia katakan terhadap Aisyah”. Sebagai teguran atas ucapan itu, Allah menurunkan ayat selanjutnya : “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian, bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat mereka, orang-orang miskin”, sampai pada firman-Nya : “Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian”. (Hibban ibn Musa berkata : Abdullah ibn Mubarak berkata : “Ini adalah ayat yang paling aku harapkan dalam Kitab Allah)”. Maka berkatalah Abu Bakar : “Demi Allah, tentu saja aku sangat menginginkan ampunan Allah”.
Selanjutnya dia (Abu Bakar) kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti sedia kala dan berkata : “Aku tidak akan berhenti memberikannya nafkah untuk selamanya”. Aisyah meneruskan : “Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Zainab bint Jahsy, istri Nabi SAW tentang persoalanku : Apa yang kamu ketahui? Atau apa pendapatmu?” Zainab menjawab : “Wahai Rasulullah, aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku (dari hal-hal yang tidak layak). Demi Allah, yang kuketahui hanyalah kebaikan”. Aisyah berkata : “Padahal dialah yang menyaingi kecantikanku di antara para istri Nabi SAW, Allah menganugerahinya dengan sikap wara’ (menjauhkan diri dari maksiat dan perkara meragukan) lalu mulailah saudara perempuannya, yaitu Hamnah bint Jahsy, membelanya dengan rasa fanatik (yakni ikut menyebarkan apa yang dikatakan oleh pembuat cerita bohong). Maka celakalah ia bersama orang-orang yang celaka”.

Kita bisa menyimak surat An-Nur ayat 11-20 :
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.
dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.”
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).

Analisa :
  • Sepuluh ayat di atas menunjukkan bahwa Aisyah tidak berselingkuh dan tidak juga berzina.
  • Aisyah dan keluarganya, juga Rasulullah SAW gembira dengan berita yang langsung turun dari Langit ketujuh ini.
Kelebihan Aisyah
Hadis riwayat Anas ibn Malik ra. ia berkata :
Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (bubur daging dan roti) atas makanan yang lainnya”.

Aisyah ra. bercerita :
Bahwa Nabi SAW pernah berkata kepadanya : “Sesungguhnya malaikat Jibril mengucapkan salam kepadamu”. Aisyah berkata : Lalu aku menjawab: “Wa alaihissalam wa rahmatullah (Semoga keselamatan serta rahmat Allah selalu terlimpahkan atasnya)”.

Aisyah ra. ia berkata :
Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tiga malam aku bermimpi melihat kamu. Malaikat datang kepadaku mengantarkanmu dengan ditutupi sepotong kain sutera seraya berkata : Inilah istrimu. Ketika aku menyingkap kain itu, ternyata itu memang benar-benar kamu. Lalu aku katakan : Kalau itu memang datang dari sisi Allah, maka Allah pasti akan menjadikannya kenyataan”.


Kontribusinya dalam periwayatan Hadis
Kecerdasan Aisyah dan kepekaannya serta kepeduliannya, serta usianya yang panjang setelah wafat Rasulullah SAW, membuat Aisyah banyak meriwayatkan Hadis. Bahkan menjadi yang kedua setelah Abu Hurairah. Berikut data singkatnya :

Wafat
Setelah hidup sendiri sebagai Ummul Mu’minin selama lebih dari 46 tahun, akhirnya, ajal beliau pun datang. Tepat hari Selasa malam, 17 Ramadhan tahun 57 H, Aisyah kembali ke pangkuan Ilahi dalam usia 66 tahun. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Nabawi dengan imam Abu Hurairah. Pada malam itu juga jenazahnya dikubur di Baqi’ di bawah sinar obor yang menerangi kota Madinah, berdampingan dengan makam para Ummul Mu’minin lainnya. Turun ke liang lahat keponakan-keponakan beliau : Abdullah ibn al-Zubayr, ‘Urwah ibn al-Zubayr, al-Qasim ibn Muhammad, Abdullah ibn Muhammad dan Abdullah ibn Abdurrahman.


4. Hafsah bint Umar
Biografi
Hafsah bint Umar ibn al-Khattab, ibn Nufayl ibn Abd al-’Uzza ibn Riyah ibn Abdillah ibn Qurth ibn Razah ibn ‘Adiy ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib. Istri Rasulullah SAW yang menghafal dan menjaga al-Qur’an. Hafsah lahir di Makkah sekitar 2 tahun sebelum kenabian.


Perkawinan Pertama
Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Hafsah pernah menikah dengan Khunays ibn Huzafah ibn Qays ibn ‘Adiy. Sang suami adalah sahabat yang ikut dua kali hijrah, ke Habasyah ke 2 dan ke Madinah. Beliau juga ikut perang Badr dan Perang Uhud. Ketika perang Uhud, Khunays merupakan salah seorang yang cidera tertusuk pedang atau tombak dan panah. Selang beberapa hari kemudian, beliau pun meninggal dunia. Hafsah yang masih muda, berubah statusnya menjadi janda muda. Sang ayah, Umar ibn al-Khatthab ikut mencarikan suami yang baik dan sesuai dengan Hafsah. Umar ibn al-Khatthab menawarkan sahabatnya Abu Bakar al-Siddiq untuk menikahi putrinya. Umar harus kecewa karena Abu Bakar menolak tawaran ini. Umar pun melihat Utsman ibn ‘Affan, beliau pun menawarkan hal yang sama. Lagi-lagi hal yang sama juga yang diterima. Utsman menolak.


Perkawinannya dengan Rasulullah SAW
Kekecewaan Umar terhadap penolakan Abu Bakar dan Utsman, beliau ceritakan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tersenyum dan berkata :
“Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman. Dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah. Umar gembira dengan kabar ini, dia segera kembali ke rumah untuk menyampaikan kabar ini kepada putrinya”.
Belum lagi sampai di rumah, Umar berjumpa Abu Bakar dengan wajah yang ceria. Abu Bakar mengetahui gerangan apa yang membuat Umar begitu gembira. Umar menceritakan kabar baik yang baru saja beliau dengar dari mulut Rasulullah SAW. Abu Bakar pun memberi ucapan selamat dan berkata :
“Wahai Umar, janganlah kamu menuduhku yang tidak-tidak. Sebelum kamu menawarkan kepadaku. Aku pernah dengar Rasulullah menyebut nama Hafsah. Namun aku tidak ingin bercerita hal ini kepada orang lain karena tidak ingin membuka rahasia Rasulullah. Jika saja Rasulullah tidak menikahinya, niscaya aku akan menikahinya”.
Walhasil, pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafsah dilaksanakan pada bulan Sya’ban 3 H.

Kehidupan Rumah Tangga
Hafsah mewarisi karakter ayahnya yang keras. Hidup sebagai istri ketiga tentu tidak mudah. Gesekan dan singgungan pasti terjadi, terlebih dengan Aisyah yang lebih muda dari dirinya. Untuk hal itu Umar sang ayah memberikannya nasehat : Di mana letak kamu dibanding dengan Aisyah ? Dan di mana letak bapakmu dibanding dengan bapaknya ? Umar juga menasehatinya agar tidak membuat Rasulullah SAW marah. Namun Hafsah masih dengan karakter kerasnya. Rasululalh SAW sempat memarahinya. Umar yang mendengar cerita bahwa Rasulullah SAW marah sama putrinya, mendatangi sang putri dan menanyakan kebenaran isu tersebut. Hafsah membenarkan isu tadi. Umar pun marah dan berkata : Demi Allah saya sudah tahu kalau Rasulullah tidak mencintaimu. Kalaulah bukan karena aku, niscaya kamu sudah ditalaknya. Hafsah menyesali prilakunya yang kurang baik dan terus memperbaikinya sampai akhirnya menjadi istri yang solehah.

Dicerai dan dirujuk kembali
Suatu hari, Hafsah mendapati Rasulullah SAW bersama Maria al-Qibtiyah berada di rumahnya. Rasa cemburu dan kesal membakar amarahnya. Setelah Maria keluar dari rumahnya, Hafsah menemui Rasulullah SAW dan marah dengan kejadian yang baru dilihatnya. Dia pun berkata : Saya tidak terima wahai Rasulullah engkau bersama Maria al-Qibtiyah di rumahku. Kata-kata tadi membekas di hati Rasulullah SAW, beliau berusaha untuk memakluminya dan berusaha untuk menenangkannya. Beliau pun berkata bahwa Maria tidak akan digaulinya lagi. Akan tetapi Rasulullah SAW meminta kepada Hafsah untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa-siapa.
Hafsah tidak mampu memegang rahasia, cerita yang seharusnya tidak disebarluaskan kepada siapapun, ternyata diceritakannya juga kepada Aisyah. Dan akhirnya sampai ke telinga Rasulullah SAW. Hafsah diceraikan. Namun karena posisi Umar sang ayah di mata Rasulullah SAW yang dihormati, dan Umar juga melakukan mediasi, maka tak lama kemudian Rasulullah SAW merujuknya kembali. Dalam beberapa riwayat, perintah rujuk itu dibawa oleh Jibril as. Yang mengabarkan juga bahwa Hafsah akan menjadi istri Rasulullah SAW di Surga.

Ayat al-Qur’an
Beberapa ayat al-Qur’an diturunkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh Rasulullah SAW disebabkan oleh Hafsah atau Hafsah dan Aisyah. Awal surat al-Tahrim (ayat 1- 5), merupakan beberapa ayat yang turun berkaitan dengan Hafsah. Terdapat Hikmah besar di balik kejadian-kejadian yang terjadi di balik rumah tangga Rasulullah SAW bersama Hafsah. Antara lain :

  • Hafsah adalah manusia biasa, bahkan masih mewarisi watak keras dari ayahnya. Karakter seperti ini memerlukan waktu untuk berubah dan dirubah, dan Hafsah akhirnya berubah lebih baik dengan melalui beberapa kali kejadian.
  • Memperlihatkan kesabaran Rasulullah SAW dalam menghadapi istri yang tentu mempunyai sifat bawaan.
  • Memperlihatkan sikap dan tanggapan Rasulullah SAW terhadap seorang istri yang kurang ta’at. Didikan yang harus dijatuhkan haruslah bertahap, bukan langsung yang terberat.
Kehormatan untuk menjaga Mushaf
Setelah Rasulullah SAW wafat , Hafsah mengisi hidupnya dengan tekun beribadah. Abu Bakar sebagai Khalifah memilih Hafsah sebagai Ummul Mu’minin yang diamanahkan untuk menjaga al-Qur’an / Mushaf pertama yang tertulis lengkap. Di zaman Khalifah Umar, mushaf itu tetap terjaga di rumahnya. Pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan, ketika beliau memerintahkan kepada beberapa orang sahabat untuk menyatukan tulisan dan huruf al-Qur’an menjadi satu, beliau memilih dan menjadikan mushaf yang dijaga oleh Hafsah sebagai rujukan utamanya.

Wafat
Tahun demi tahun waktu berjalan terus. Usia Hafsah pun semakin bertambah, kekuatan fisiknya semakin lemah. Beliau yang memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya, dan akhirnya wafat di kota ini pada tahun 47 H. Jasad beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’ bersama para Ummul Mu’minin yang lainnya.

5. Ummu Salamah

Biografi
Ummu Salamah, begitulah Ummul Mu’minin ini lebih dikenal. Nama Ummu Salamah adalah Hindun. Ayahnya adalah Abu Umayyah ibn al-Mughirah ibn Abdullah ibn Umar ibn Makhzum al-Qurasyiyah al-Makhzumiyah. Ibunya adalah ‘Atikah bint ‘Amir ibn Rabi’ah ibn Malik ibn Khadijah ibn ‘Alqamah al-Kinaniyah. Menikah pertama kali dengan Abu Salamah, Abdullah ibn Abdul Asad, ibn Hilal, ibn Abdullah ibn Makhzum. Abu Salamah sendiri adalah anak dari bibi Rasulullah SAW yang bernama Barrah bint Abdul Mutthalib. Disamping itu beliau juga merupakan saudara susu Rasullah SAW karena keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah.

Kecantikan Ummu Salamah
Ummu Salamah adalah wanita Quraisy yang dikenal kecantikannya. Kecantikannya dapat digambarkan dari perkataan Aisyah berikut ini :
  • Ketika Rasulullah SAW menikahi Ummu Salamah, saya merasa sedih sekali karena berita tentang kecantikannya yang terdengar selama ini. Saya menunggu sampai akhirnya saya melihatnya langsung. Setelah saya melihat, ternyata kecantikannya berkali-kali lipat dari yang disifatkan.
  • Ketika Aisyah menceritakan kecantikan Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW yang baru, kepada istri Rasulullah SAW yang lainnya, yaitu Hafsah. Hafsah pun berkomentar : Saya melihat bahwa kecantikannya biasa-biasa saja, tidak seperti yang digambarkan orang. Hafasah berkata demikian, entah untuk meredam kecemburuan Aisyah atau juga untuk meredam kecemburuan dirinya sendiri
Perjuangan Ummu Salamah
Ummu Salamah dan suami pertamanya, Abu Salamah, adalah termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa awal. Pasangan suami istri ini mengalami dan merasakan sendiri pahit dan getirnya menjadi orang Islam di bawah tekanan dan intimidasi musyrikin Makkah. Demi menjaga keyakinan yang sudah mereka imani, keduanya rela meninggalkan harta bendanya di Makkah untuk hijrah ke Habasyah. Ketika berada di Habasyah, pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Salamah. Setelah selesai masa blokade Quraisy terhadap kaum muslimin, pasangan ini bersama rombongan, kembali ke Makkah. Setibanya di Makkah, kondisi yang baik seperti yang diharapkan tidak kunjung tiba. Mereka berdua dan semua kaum muslimin masih dan tetap mendapatkan perlakuan kasar dari kaum Quraisy. Ketika perintah untuk berhijrah ke Madinah diberikan oleh Rasulullah SAW, pasangan suami istri dan putranya adalah termasuk yang melaksanakan perintah ini. Mereka bertiga hijrah bersama ke Yatsrib.


Kisah Hijrahnya ke Madinah
Beliau menceritakan ketika Abu Salamah memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Abu Salamah menyiapkan ontanya lalu mengangkat saya ke atas ontanya dan meletakkan anak saya Salamah dipangkuan saya kemudian berjalan sambil menuntun onta tersebut lalu beberapa orang dari Bani al-Mughirah berkata kepada Abu Salamah : Mengapa kami harus mengizinkan kamu membawa dia (Ummu Salamah) kemudian mereka menuntun onta. Pada saat itu keluarga Bani Abdul Asad (Keluarga Abu Salamah) marah dan berkata : Demi Allah kami tidak akan merelakan anak kami salamah bersama dia. Ummu Salamah berkata : lalu dua kelompok tersebut menarik-narik anak saya sampai lepas persendian tangannya dan dibawa oleh keluarga ayahnya, Bani al-Mughirah menahan saya dan Abu Salamah melanjutkan perjalanan ke Madinah sehingga berpisahlah saya, suami dan anak saya.
Setiap pagi saya keluar dan duduk di al-Bathhaa menangis sampai sore selama setahun, kemudian seseorang dari sepupu saya yang termasuk Bani al-Mughirah mengasihani saya dan berkata kepada mereka, mengapa kalian tidak melepas wanita yang bersedih/menderita ini, kalian memisahkan antara dia, suami dan anaknya. Mereka berkata, susullah suamimu jika kau mau. Dan Bani Abdul Asad mengembalikan anakku, aku menaiki onta sesudah meletakkan anakku dipangkuanku dan berjalan menuju Madinah tanpa ada yang menemani. Saya bertemu Utsman ibn Abi Thalhah di al-Tan’im dan berkata : Hendak ke manakah wahai anak Abu Umayyah? Saya menjawab : Saya ingin menyusul suamiku di Madinah. Dia berkata tidaklah ada yang menemanimu? Ummu Salamah berkata : tidak, demi Allah, Aku hanya ditemani Allah dan anakku ini.
Dia berkata Demi Allah kamu tidak boleh ditinggal. Dia menuntun ontaku dan berjalan, demi Allah saya tidak pernah ditemani oleh orang Arab yang lebih mulia darinya, ketika berhenti dia menurunkan ontanya lalu menjauh supaya saya turun, ketika saya turun, dia mengistirahatkan onta dan mengikatnya dipohon, dan dia beristirahat di tempat yang lebih jauh. Ketika waktu berangkat tiba dia menyiapkan onta dan menjauh sambil berkata : “Naiklah”, sehingga jika sudah siap dia datang dan menurunkan ontanya lagi. Dia melakukan hal ini berkali-kali sampai desa Bani ‘Amr ibn ‘Auf di Quba’. Dia berkata : Suamimu di desa ini, masuklah dengan berkah Allah lalu ia pergi ke Makkah.

Perkawinannya dengan Rasulullah SAW
Setelah Abu Salamah meninggal dunia karena bekas luka setelah perang Uhud, Ummu Salamah berubah status menjadi janda dengan satu orang anak, yaitu Salamah. Lepas masa iddahnya, Abu Bakar datang melamar, namun ditolaknya dengan halus. Umar ibn al-Khatthab maju untuk melamarnya, namun lamaran ini pun ditolak. Mendengar bahwa kedua orang sahabatnya sudah ditolak, lalu kalau Ummu Salamah hidup sendirian, tentu hal ini tidak baik untuknya. Sebagai penghargaan kepada mantan suaminya dan juga dirinya, Rasulullah SAW datang melamarnya. Terjadilah dialog menarik antara keduanya. Ketika datang lamaran ini, Ummu Salamah berkata terus terang tentang kondisinya : “Wahai Rasulullah, bukanlah saya tidak mau menikah denganmu akan tetapi kondisi dan pribadi saya yang seperti ini, saya pencemburu berat, saya khawatir hal itu akan menjadi dosa buat saya. Kedua, saya sudah tua. Ketiga, saya punya anak”.
Mendengar penjelasan Ummu Salamah tadi, Rasululah SAW menjawab : “Jika kamu merasa sudah tua, maka saya lebih tua dari kamu, dan tidak masalah kalau orang mengatakan bahwa dia menikah dengan orang yang lebih muda darinya. Jika kamu punya anak yatim, maka itu merupakan tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu merasa punya penyakit pencemburu berat, maka saya akan berdoa kepada Allah semoga hal itu tidak ada lagi.”
Ummu Salamah akhirnya menerima lamaran ini dan terjadilah pernikahan itu di bulan Syawwal tahun 4 H. waktu itu usia Ummu Salamah sekitar 29 tahun, dan usia Rasulullah SAW sudah 56 tahun. Sekitar 7 tahun rumah tangga itu dibangun, namun pasangan ini tidak dikaruniai anak.

Kontribusi
Ummu Salamah adalah wanita cerdas dan pejuang hebat. Setelah menjadi istri Rasulullah SAW, beliau banyak mendampingi baginda. Beberapa peristiwa yang beliau ikuti :
1. Hudaibiyah di tahun 6 H
2. Fath Makkah tahun 8 H
3. Ghazwah Hawazin dan Tsaqif, tahun 8 H.
4. Ghazwah Khaibar tahun 7 H
5. Blokade Ta’if tahun 8 H
6. Haji Wada’ tahun 10 H.
Dalam bidang Periwayatan, tercatat sebagai berikut :


Wafat
Hampir 7 tahun Ummu Salamah menemani Rasulullah SAW dalam suka dan duka. Usai Rasulullah SAW wafat, ummu Salamah terus menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang ia terima langsung dari Rasulullah SAW sampai ajal menjemput. Tahun 59 H. Ummu Salamah meninggal di Madinah. Shalat Jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah ra. Sedangkan jasadnya di makamkan di Baqi’.

6. Juwairiyah bint al-Harits

Biografi
Juwairiyah adalah nama setelah menikah dengan Rasulullah SAW, sedangkan nama sebelum menikah dengan Rasulullah SAW adalah Barrah bint al-Harits ibn Abi Dhirar al-Khuza’iyah al-Mustalaqiyah.
Perempuan ini adalah putri dari pemimpin Bani Mustalaq yang bernama al-Harits ibn Abi Dhirar al-Khuza’i al-Mustalaqi.
Barrah sudah menikah dengan Musafi’ ibn Shafwan al-Mustalaqi. Barrah kala itu, ketika dia menjadi rampasan perang, berusia 20 tahun, mempunyai wajah cantik, menarik, membuat siapa yang melihatnya akan tertarik padanya sebagaimana dikatakan oleh Aisyah ra.


Pernikahannya dengan Rasulullah SAW
Ketika terjadi perang antara kaum muslimin dan Bani Mustalaq yang dimenangkan oleh kaum muslimin, Barrah merupakan salah satu dari sekian tawanan yang menjadi al-Sabi. Ketika pembagian rampasan, Barrah menjadi bagian Tsabit ibn Qays dan sepupunya. Tsabit menyerahkan sebidang kebun kurmanya untuk sepupunya dan Barrah menjadi miliknya. Kemudian Barrah menawarkan/meminta untuk dibebaskan, Tsabit menyetujuinya dengan syarat membayar 9 keping emas. Persyaratan di atas tidak disanggupi oleh Barrah, beliaupun mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Ketika akan mengadu, Rasulullah SAW berada di rumah Aisyah. Mengetahui bahwa Barrah akan menemui Rasulullah SAW, Aisyah kurang senang dan khawatir kalau nanti menjadi madunya.
Ketika Barrah masuk menemui Rasulullah SAW, dia berkata : “Wahai Rasulullah, saya seorang muslimah, karena saya sudah membaca dua kalimat syahadat, dan nama saya Barrah bint al-Harits pemimpin kaumnya. Kami mendapatkan apa yang telah kami dapatkan, lalu saya pun jatuh ke tangan Tsabit ibn Qays dan sepupunya. Tsabit lalu membebaskan saya dari sepupunya dengan sebidang kebun kurma, lalu dia berjanji akan membebaskan saya dengan syarat bayaran yang saya tidak sanggup membayarnya. Karena itu, saya datang kepadamu untuk minta jalan keluar”. Rasulullah SAW menjawab : “Apakah kamu mau yang lebih baik dari itu ?” Barrah menjawab : “Apa itu wahai Rasulullah ?”
Rasulullah SAW menjawab : “Saya bayar hutang kamu dan kamu saya nikahi”. Barrah tersipu menjawab : “Baik wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW menjawab : “Telah saya lakukan”. Dengan pernyataan ini sudah terjadi ijab qabul, dan Rasulullah SAW membayarkan harga tebusannya sebesar 9 keping emas sebagai maharnya. Perkawinan ini terjadi pada tahun 4 H.


Hikmah di balik pernikahan
Ada hikmah besar di balik pernikahan Barrah yang diganti namanya menjadi Juwairiyah oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berharap, karena Juwairiyah adalah putri pemimpin kaum Bani Mustalaq, maka diharapkan akan menarik Bani Mustalaq untuk memeluk Islam. Niatan ini berhasil, ketika Juwairiyah resmi menjadi istri Rasulullah SAW, para sahabat pun berkomentar tentang Bani Mustalaq yang jadi budak atau jariah mereka dengan berkata : “Besannya Rasulullah”. Walhasil, sahabat pun banyak yang memerdekakan mereka. Tidak lama kemudian, bapaknya Juwairiyah dan kedua kakak/adiknya memeluk Islam. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak dari kaumnya. Dikisahkan dalam buku sirah, lebih dari seratus orang Bani Mustalaq masuk Islam, semua ada dibalik hikmah perkawinan ini.


Wafat
Tidak lama setelah menikah, orang tua Juwairiyah datang menemui Nabi SAW, dia memprotes posisi putrinya dan minta untuk dibebaskan dan diajak pulang ke kampungnya. Mendapatkan hal ini, Rasulullah SAW menawarkan al-Harits untuk membiarkan putri untuk memilih, apakah akan kembali bersama ayahnya, atau akan tetap bersama Rasululah SAW. Juwairiyah dipanggil dan diminta untuk memilih. Beliau memilih untuk bersama Allah dan Rasul-Nya. Juwairiyah meninggal pada tahun 56 H, dalam usia 65 tahun. Hadis-hadis riwayatnya dapat dijumpai dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab hadis lainnya.


7. Zainab bint Jahsy
Biografi
Beliau adalah Zainab bint Jahsy ibn Ri’ab ibn Ya’mar al-Asadiyah Ibunya adalah : Umayyah bint Abdul Mutthalib, bibi Rasulullah SAW. Dengan demikian, Zainab merupakan sepupu Rasulullah SAW. Lahir di Makkah sekitar 20 SN (sebelum kenabian) atau 33 SH. Nama sebelum Zainab menikah dengan Rasulullah SAW adalah Barrah.


Pernikahan Pertama
Barrah, nama pertama Zainab, dinikahkan oleh Rasulullah SAW dengan anak angkatnya, Zayd ibn Haritsah. Pernikahan ini adalah perjodohan yang diatur oleh Rasulullah SAW. Pada awalnya Zainab melakukan penolakan karena menurutnya, Zayd tidak setara dengan dirinya. Zayd adalah budak yang dimerdekakan. Bertampang cendrung tidak tampan. Sedangkan Zainab mempunyai nasab yang terhormat dan dari keluarga yang terhormat. Namun Rasulullah SAW melihatnya berbeda. Zayd adalah remaja yang cerdas, gagah dan ta’at pada agama. Rasulullah SAW mencintainya, bahkan dia dijuluki sebagai orang yang dicintai Rasulullah SAW. Penolakan ini mendapat teguran dari Allah dan turunlah ayat :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab 33 : 36)

Perceraiannya Dengan Zayd
Karena harus ta’at dengan perintah Rasulullah SAW, pernikahan itu tetap berlangsung meski Zainab merasa kurang cocok. Perkawinan ini tentu untuk memperlihatkan prinsip-prinsip dasar Islam, bahwa level seseorang bukan karena faktor keturunan, atau ketampanan/kecantikan, akan tetapi karena faktor ketakwaan. Rupanya perkawinan ini tidak membuahkan kebahagiaan, Zainab tetap belum dapat menghormati Zayd sebagaimana mestinya. Zainab tetap merasa lebih terhormat dibandingkan dia, dan kesombongan inilah serta kata-kata Zainab yang kasar membuat Zayd sakit hati dan ingin menceraikannya. Ketika Zayd mengadukan kepada Rasulullah SAW tentang kondisi ini, baginda tetap meminta Zayd untuk bersabar dan mempertahankan rumah tangganya. Tidak bertahan lama, rumah tangga ini akhirnya sampai pada titik hampanya, dan Zayd pun menceraikan Zainab.


Pernikahannya dengan Rasulullah SAW
Usai masa iddahnya setelah diceraikan Zayd, Rasulullah SAW maju melamar. Diutuslah Zayd mantan suaminya sendiri untuk datang melamar. Namun kabar bahagia yang dibawa Zayd tidak membuat hati Zainab luntur, dia tidak memberi jawaban, dia menunggu berita dari langit. Jika turun wahyu perintah kepada Rasulullah SAW untuk menikahinya, maka dia akan melakukannya dengan senang hati, jika tidak maka sepertinya dia tetap akan diam. Akhirnya turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW yang menyangkut permasalahan ini, surat al-Ahzab ayat 37, yang artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya, dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Kabar turunnya wahyu tadi segera disampaikan kepada Zainab. Ada perbedaan riwayat tentang siapa yang menyampaikan berita ini kepada Zainab, ada yang mengatakan al-Basyir, ada juga yang mengatakan Salma pembantu Rasulullah SAW, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa yang menyampaikannya adalah Zayd ibn Haritsah. Pernikahan kali ini adalah sangat istimewa, tidak ada wali dan tidak ada saksi. Zainab sering mengangkat cerita ini sebagai kebanggaannya dengan berkata : Saya adalah orang yang memiliki wali paling mulia, dan orang yang mempunyai duta paling mulia, kalian dinikahkan oleh wali kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit ke tujuh. Pernikahan istimewa ini terjadi pada bulan Zul Qa’dah tahun 4 H. Usia Zainab kala itu sudah mencapai 37 tahun.


Hikmah Perkawinan
Ketika tersebar kabar Rasulullah SAW menikahi Zainab yang jelas-jelas adalah mantan istri anak angkatnya sendiri, rumor negatif tentang Rasulullah SAW pun beredar dan bersumber dari kaum munafik. Intinya mempertanyakan pembolehan ini dengan kata-kata : Muhammad telah melarang untuk menikahi mantan istri anaknya, sedangkan dia sendiri menikahi mantan istri anaknya. Isu miring ini menyebabkan turunnya ayat ke 40 dari surat al-Ahzab yang artinya :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Jadi, Zayd bukanlah anak kandung Rasulullah SAW, akan tetapi anak angkat. Walhasil, yang diharamkan Islam adalah menikahi mantan istri anak kandung, bukan anak angkat.


Akhlak Zainab
Sebelum menjadi istri Rasulullah SAW, Zainab dikenal sebagai orang yang kuat ibadahnya. Setelah menjadi istri Rasulullah SAW kecenderungan ibadahnya tentu lebih baik lagi. Beliau juga dikenal suka membantu orang miskin, anak yatim, janda dan kaum dhu’afa lainnya. Bahkan, ketika akan meninggal, Zainab yang sudah mempersiapkan kain kafannya sendiri mengetahui bahwa Amirul Mu’minin nanti juga akan mengirimkan kain kafan untuknya. Karena itu beliau berpesan, satu dari dua kain kafan itu tolong disedekahkan. Akhlak mulianya Zainab bisa dilihat dari pernyataan Aisyah berikut ini :
Saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik dari sisi agamanya dari Zainab, ketakwaanya kepada Allah, kejujuran bicara, menyambung tali silaturrahmi, dan besarnya ketika bersedekah.

Kontribusi dalam periwayatan Hadis
Sebagai istri Rasulullah SAW Zainab banyak menerima ilmu dari baginda, kemudian beliau pun menyampaikan dalam bentuk riwayat. Berikut riwayat beliau yang terekam dalam beberapa kitab hadis :


Wafat
Zainab wafat pada tahun 20 H, di zaman Khalifah Umar dalam usia 53 tahun. Beliau merupakan istri Rasulullah SAW yang paling awal wafat setelah Rasulullah SAW. Sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau pernah mengabarkan kepada para istrinya bahwa orang yang pertama kali menyusulnya adalah orang yang tangannya paling panjang. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para istri Nabi sering mengukur adu panjang tangan mereka dengan menempelkannya di tembok. Setelah Zainab wafat, mereka tidak lagi melakukannya dan baru memahami bahwa yang dimaksud bukan kedua tangan yang mereka miliki, akan tetapi makna kiasan, yaitu suka membantu orang. Umar ibn al-Khatthab mengimami shalat jenazah, lalu jenazahnya dimakamkan di Baqi’.

8. Zainab bint Khuzaimah

Biografi
Dia adalah Zainab bint Khuzaimah ibn al-Harits ibn Abdullah ibn ‘Amr ibn Abd Manaf ibn Hilal ibn ‘Amir ibn Sha’sa’ah al-Hilaliyah. Ibunya : Hindun bint ‘Auf ibn al-Harits ibn Hamatah al-Huamiriyah. Data ini menunjukkan bahwa ibunya yang bernama Hindun adalah ibu mertua Rasulullah SAW dari dua orang istri : Zainab dan Maimunah. Zainab dan Maimunah adalah adik kakak satu ibu lain bapak. Ibu kandung mereka berdua ini, selain mertua Rasulullah SAW dari dua istri, juga merupakan merupakan mertua dari Abu Bakar, Ali, Hamzah, Abbas dan Ja’far. Dengan demikian, sejarah Islam menjulukinya sebagai Ibu Mertua Paling Terhormat. Zainab lahir sekitar 13 SN, atau 26 SH.

Pernikahan Pertama
Terdapat banyak riwayat yang berbeda mengenai mantan suami Zainab ra. Ada yang mengatakan pernah menikah sekali, ada juga yang mengatakan pernah menikah dua kali. Berikut perbandingan riwayat tersebut :

  • Ibn Abd al-Barr dan Ibn Hajar meriwayatkan dari al-Zuhri yang mengatakan bahwa suaminya Abdullah ibn Jahsy, beliau syahid di perang Badr, lalu Rasulullah SAW menikahinya.
  • Ibn Abd al-Barr, Ibn Sayyid al-Nas, al-Tabari dan Ibn Hajar dalam kitab-kitab sejarah mereka menyebutkan bahwa Zainab sebelumnya adalah istri dari Thufail ibn al-Harits yang mentalaknya, kemudian Rasulullah SAW menikahinya. Ada juga yang mengatakan bahwa setelah Thufail, Zainab menikah dulu dengan Adiknya Thufail yang syahid di Badr.
  • Sedangkan Ibn Hisyam meriwayatkan bahwa Zainab sebelumnya adalah istri dari Juhmah ibn ‘Amr, cerai lalu menikah dengan ‘Ubaidah ibn al-Harits, cerai lalu menikah dengan Rasulullah SAW.
Pernikahannya Dengan Rasulullah SAW
Dengan riwayat tadi dapat diketahui bahwa Zainab adalah janda syuhada’ Badr. Menikah dengan Rasulullah SAW sebagai suami ketiganya. Bertindak sebagai walinya adalah pamannya yang bernama Qabisah ibn Umar al-Hilali. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW langsung melamarnya dan Zainab menerimanya tanpa wali karena sudah berstatus janda. Mahar yang dibayarkan Rasulullah SAW sebesar 400 Dirham. Perkawinan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 3 H. Namun perkawinan ini tidak berlangsung lama, belum genap 8 bulan, Zainab meninggal dunia.


Wafat
Zainab dikenal sengat peduli dengan orang miskin, karena itu beliau dijuluki sebagai Ummul Masakin, ibunya orang-orang miskin. Beliau meninggal tahun 4 H dalam usia tidak lebih dari 30 tahun. Dimakamkan di Baqi’, sehingga merupakan istri pertama Rasulullah SAW yang dimakamkan di Baqi’. Ketika dishalatkan jenazahnya, Rasulullah SAW sendiri yang menjadi imamnya.

9. Ummu Habibah

Biografi
Ramlah bint Abi Sofyan Shakhr ibn Harb ibn Umayyah al-Qurasyi. Beliau adalah putri seorang pemuka Quraisy, bahkan pemimpin mereka, yang sebelum masuk Islam pada beberapa bulan sebelum Fath Makkah, merupakan musuh terbesar yang terus memusuhi Rasulullah SAW. Ramlah telah memeluk Islam sejak awal bersama suaminya Ubaidillah ibn Jahsy di Makkah, mereka kemudian berhijrah ke Habasyah pada tahun 5 H. Disesalkan, suaminya tadi berpindah agama menjadi Nasrani dan memilih menetap di Habasyah.


Perkawinannya dengan Rasulullah SAW
Ummu Habibah bercerita sewaktu masih di Habasyah menjadi salah satu muhajirin : “Suatu malam aku bermimpi seolah-olah ada seseorang yang datang dan berkata : Wahai Ummul Mu’minin. Aku pun menafsirkan itu sebagai lamaran Rasulullah kepadaku. Tidak lama kemudian, setelah masa iddah aku selesai – bercerai dari suaminya yang pindah agama menjadi Nasrani – seorang utusan Raja Najasyi mengetuk pintu meminta izin untuk mengabarkan bahwa adanya utusan Rasulullah yang melamarku untuk baginda. Setelah masa iddah selesai, perkawinan pun diadakan, ini terjadi di tahun 6 H. Sebagai wali / wakil dari pihak perempuan adalah Khalid ibn Sa’id ibn al-’Ash. Sedangkan dari pihak Rasulullah SAW meski disitu ada sepupu Rasulullah SAW yaitu Ja’far ibn Abi Thalib, namun al-Najasyi lah yang menjadi wakil baginda.


Upacara Pernikahan
Upacara pernikahanpun dilaksanakan di kerajaan Najasyi, sedangkan Ummu Habibah menunggu di rumah. Al-Najasyi berpidato :

الحمد لله الملك القدوس السلام المؤمن المهيمن العزيز الجبار. الحمد لله حق حمده وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله. وأنه الذي بشر به عيسى بن مريم عليه الصلاة والسلام.
وأما بعد : فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلي أن أزوجه أم حبيبة بنت أبي سفيان. فأجبت إلى ما دعا إليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.

Artinya : 
Segala Puji bagi Allah Maha Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Segala Puji bagi Allah sebaik-baiknya pujian. Dan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya. Orang yang diberi kabar oleh Isa ibn Maryam as. Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah SAW menulis kepadaku untuk menikahkannya dengan Ummu Habibah bint Abi Sofyan. Maka aku memenuhi permintaan Rasulullah SAW.

Khalid menyambutnya dengan berpidato juga :
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستنصره وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسوله أرسله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون.
أما بعد : فقد أجبت إلى ما دعا إليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وزوجته أم حبيبة بنت أبي سفيان فبارك الله لرسوله.

Al-Najasyi menyerahkan 400 Dinar kepada Ummu Habibah melalui Khalid sebagai mahar, demikian pula dengan kalung dan cincin yang terbuat dari perak. Kemudian, makanan pun disediakan dan disantap. al-Najasyi tidak lupa membagi-bagikan uang kepada rakyatnya.

Kembali ke Madinah
Menjelang kepulangannya ke Madinah, al-Najasyi meminta kepada para istrinya untuk menghadiahkan Ummu Habibah pelbagai macam wangian yang mereka miliki. Tahun 7 H. sebagian rombongan Muhajirin Habasyah kembali ke Madinah. Ummu Habibah adalah salah seorang dari rombongan tersebut dengan status sudah resmi menjadi istri Rasulullah SAW. Lalu, ketika masuk malam pertama pasangan suami istri, Rasulullah SAW mencium bau wangi yang kata Rasulullah SAW, bukan wangian Arab, bukan juga wangian Badui. Ummu Habibah tersenyum. Wangian yang ia gunakan memang bukan wangian Arab atau Badui, akan tetapi wangian Afrika, Parfum negeri Habasyah.


Wafat
Sekitar 4 tahun Ummu Habibah menemani Rasulullah SAW sebagi istri yang baik, dalam suka maupun duka. Sebelum meninggal beliau memanggil para Ummul Mu’minin lainnya dan meminta mereka saling meridhai sebagai sesama istri Rasulullah SAW yang tentunya pernah terjadi gesekan dan kesalahpahaman. Beliau meninggal tahun 44 H dan dimakamkan di Baqi’.

10. Sofiyyah bint Huyay

Biografi
Beliau adalah Sofiyyah bint Huyay ibn Akhthab ibn Syu’bah ibn Tsa’labah. Nasabnya sampai ke Nabi Harun, saudara Nabi Musa as. Istri Rasulullah SAW ini berdarah Yahudi, dari Bani al-Nadhir. Dengan darah keyahudiannya, beliau suka dicibirkan orang. Melihat dan mendengar sindiran orang terhadap Sofiyyah, Rasulullah SAW berkata kepadanya : “Ketahuilah, bahwa kamu adalah anak turunan Nabi dan pamanmu juga Nabi, bahkan kamu sekarang adalah istrinya Nabi. Jadi dengan apa lagi mereka bisa berbangga di hadapan kamu ?”


Perkawinannya dengan Rasulullah SAW
Sofiyyah bercerita bahwa ketika di malam pertamanya sewaktu menikah dengan Kinanah, dia bermimpi melihat adanya bulan di kamarnya. Ketika hal ini diceritakan kepada suaminya, dia pun dipukul dengan keras sampai membekas lama, Kinanah berkata : “Tidaklah ini terjadi kecuali karena kamu memimpikan menjadi istri pemuka Hijaz, Muhammad”. Ketika terjadi perang antara kaum muslimin dengan penduduk Khaibar yang dimenangkan oleh kaum muslimin, Sofiyyah merupakan salah satu rampasan perang yang dijadikan Jariah/budak. Ketika para tawanan perang ini dikumpulkan, Bilal membawa dua orang dan menemui Rasulullah SAW, satu diantara yang dibawanya adalah Sofiyyah. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Bilal untuk memberikan kepada Sofiyyah baju tudungnya (rida’) sebagai isyarat bahwa Rasulullah SAW telah memilihnya.
Rasulullah SAW bertanya kepada Sofiyyah : “Apakah kamu mau dengan aku ?” Sofiyyah menjawab : “Wahai Rasulullah, dulu aku mengharapkannya ketika aku masih kafir, bagaimana tidak ketika saya sudah memeluk Islam?” Rasulullah SAW pun menikahinya dengan maharnya adalah pembebasannya dari perbudakan.


Walimah Pernikahan
Usai pernikahan yang diadakan ketika Rasulullah SAW masih di luar Madinah, kabar gembira menyelimuti kota Madinah, walimah pernikahan pun dipersiapkan. Ketika sampai di daerah al-Shabaa, Rasulullah SAW menyuruh tentaranya untuk beristirahat. Ibn Ishak menceritakan bahwa Ummu Anas merias pengantin perempuan Sofiyyah sehingga nampak kecantikannya yang sangat menawan, bahkan menjadi wanita yang paling cantik. Ketika sampai di Madinah, walimah pernikahan pun dilaksanakan. Mereka makan makanan yang dibawa dari Khaibar. Usia Sofiyyah ketika itu baru berusia 17 tahun, sebelumnya beliau pernah menikah dengan Salam ibn Abi Haqiq, dan kedua kalinya dengan Kinanah ibn Abi Haqiq.


Cerita Malam Pengantin
Malam pengantin Rasulullah SAW dengan Sofiyyah kali ini istimewa. Tanpa sepengetahuan Rasulullah SAW, Abu Ayyub al-Anshari menjaga rumah pengantin dengan pedang terhunus. Ketika subuh menjelang tiba, Rasulullah SAW menyadari bahwa ada orang yang menghunus pedang berdiri di sekitar rumahnya. Begitu mengetahui bahwa orang yang memegang senjata itu adalah Abu Ayyub, Rasulullah SAW pun bertanya sebab dia melakukan hal ini. Abu Ayyub menjawab bahwa semalaman dia menjaga rumah ini karena khawatir Sofiyyah akan membunuh Rasulullah SAW sebagaimana percobaan Zainab bint al-Harits yang mencoba membunuh Rasulullah SAW dengan cara meracuninya. Abu Ayyub khawatir, Sofiyyah yang baru masuk Islam dan sebelumnya memeluk agama Yahudi, melakukan hal yang sama. Rasulullah SAW berkomentar : Semoga Allah memberimu rahmat, ya Allah jagalah Abu Ayyub sebagaimana dia sudah begadang menjagaku.


Hari-hari pertama pernikahan
Ketika sampai di Madinah, sambutan para wanita Madinah terlihat kurang ramah karena Sofiyyah berasal dari Yahudi. Untuk menghindari kecemburuan dan lain sebagainya, Sofiyyah tidak ditempatkan di rumah salah satu istrinya, akan tetapi ditempatkan di salah satu rumah sahabat bernama Haritsah ibn al-Nu’man. Lalu para istri Rasulullah SAW berkumpul untuk menemuinya. Ketika waktunya tiba, dengan bercanda Rasulullah SAW memegang baju Aisyah ra. dan menanyakannya dengan nama panggilan manja : “Bagaimana kamu melihat wahai syuqaira (wanita berambut pirang)”. Aisyah berkata : Aku melihat seorang wanita Yahudi.
Rasulullah SAW menjawab : “Janganlah kamu berkata seperti itu, dia sudah muslimah dan Islamnya pun sudah baik”. Sofiyyah menanggapi sikap beberapa orang madunya dengan tabah dan sabar, sampai akhirnya dia menangis di depan Rasulullah SAW karena sering disinggung soal darah Yahudinya. Baginda menghiburnya dengan mengajarkan jawabannya : “Kenapa kamu tidak menjawab seperti ini : Bagaimana kalian merasa lebih terhormat dari aku, sedangkan suamiku Muhammad, Kakekku Harun dan saudara kakekku Musa”. Jawaban ini sangat melegakan Sofiyyah.


Sifat dan Akhlaq
Sofiyyah yang berdarah Yahudi sering menjadikannya dihina atau disinggung dan dijelekkan. Satu cerita, seorang budak pembantunya datang mengadu ke Khalifah Umar ibn Khatthab : Wahai Amir al-Mu’minin, sesungguhnya Sofiyyah itu menyenangi hari Sabtu dan berhubungan dengan Yahudi. Mendengar cerita ini, Umar pun menanyakan kebenarannya kepada Sofiyyah. Beliau menjelaskan dengan berkata : Mengenai hari Sabtu, sesungguhnya saya tidak lagi mencintainya setelah Allah menggantinya untuk saya dengan hari Jum’at. Sedangkan Yahudi, saya masih mempunyai sanak famili dan saya menyambung tali silaturahmi. Setelah itu, Sofiyyah mendatangi budaknya dan bertanya kenapa dia melakukan hal ini. Budak itu menjawab seenaknya “Setan”. Sofiyyah lalu berkata : Pergilah! Kamu merdeka. Tak ada rasa dendam di hatinya, bahkan kejelekan dibalas dengan kebaikan.


Kontribusi Dalam Periwayatan Hadis
Sebagai istri Rasulullah SAW, Sofiyyah banyak menerima ilmu dari baginda, kemudian beliau pun menyampaikannya dalam bentuk riwayat. Berikut riwayat beliau yang terekam dalam beberapa kitab hadis


Wafat
Sofiyyah wafat di zaman khalifah Mu’awiyah, persisnya tahun 50 H. Beliau dimakamkan di Baqi’ bersebelahan dengan makam para Ummul Mu’minin. Hadis-hadis riwayatnya termuat dalam Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.

11. Maimunah bint al-Harits

Biografi
Maimunah, nama awalnya adalah Barrah bint al-Harits ibn Hazn ibn Buhayr, ibn Hazm, ibn Rabi’ah ibn Abdillah, ibn Hilal ibn ‘Amir, ibn Sha’sha’ah al-Hilaliyah.

Saudara kandungnya :
• Ummu al-Fadhl, Lubabah al-Kubra, istri Abbas ibn Abdul Mutthalib. Wanita kedua masuk Islam setelah Khadijah, dan wanita yang berani dan pernah menampar wajah Abu Lahab karena terlalu memusuhi Nabi dan Islam.
Saudara seibunya :
• Zainab bint Khuzaimah al-Hilaliyah, Ummul Mu’minin.
• Asma bint ‘Umays, istri Ja’far ibn Abi Thalib, lalu Abu Bakar, lalu Ali ibn Abi Thalib.
• Salma bint ‘Umays, istri Hamzah ibn Abdul Mutthalib.
Ibu Mereka semua adalah : Hind bint ‘Auf ibn Zuhayr ibn al-Harits. Beliau merupakan ibu yang paling terhormat di dunia, karena mempunyai 6 orang menantu besar : Rasulullah SAW, Abu Bakar al-Siddiq, kemudian Ali dan Ja’far keduanya putra Abi Thalib, lalu Hamzah dan Abbas keduanya putra Abdul Mutthalib.


Pernikahannya dengan Rasulullah SAW
Barrah bint al-Harits pernah menikah dengan Abi Rahm ibn Abd al-’Uzza al-’Amiry. Suami pertamanya ini meninggal sedangkan usia Barrah kala itu masih 26 tahun. Tahun 7 H, Rasulullah SAW bersama seribuan umat Islam pergi ke Makkah untuk melakukan umrah. Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah, kaum muslimin diizinkan untuk masuk Makkah 3 hari lamanya. Kedatangan Rasulullah SAW bersama sekian banyak umat Islam, tentu mengambil perhatian penduduk Makkah, termasuk kaum perempuannya. Satu dari mereka yang selalu memperhatikan Rasulullah SAW adalah Barrah bint al-Harits. Barrah yang sudah masuk Islam, berkeinginan, berharap, berhayal dan bermimpi ingin menjadi istri Rasulullah SAW. Harapannya ini disampaikan kepada kakak kandungnya, Ummu al-Fadhl, istri Abbas ibn Abdul Mutthalib. Ummu al-Fadhl menceritakan maksud dan keinginan keponakannya kepada sang suami, Abbas menyambungkan maksud ini kepada keponakannya, Muhammad Rasulullah SAW. Gayung bersambut Rasulullah SAW menerima tawaran ini.


Mahar Perkawinan
Perkawinan terakhir Rasulullah SAW ini merupakan pernikahan yang mempunyai ciri tersendiri dan tidak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya. Ayat al-Qur’an turun untuk menjelaskan (QS. al-Ahzab 33 : 50) :

Hai Nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu istri- istrimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’minah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat tersebut dan kondisi yang berbeda, yaitu perempuan yang datang kepada Rasulullah SAW untuk dinikahi, maka tidak ada mahar yang harus dibayarkan suami.

Walimah Perkawinan
Rasulullah SAW bermaksud untuk mengadakan walimah, namun karena waktu yang diizinkan 3 hari berada di Makkah sudah habis, kaum musyrikin meminta beliau dan rombongan keluar meninggalkan kota Makkah. Rasululah SAW meminta izin untuk bisa diperpanjang waktunya satu hari, namun tetap tidak diizinkan dan rombongan diminta keluar pada hari itu juga. Walhasil, Rasulullah SAW keluar meninggalkan kota Makkah dan meminta salah seorang pembantunya yang bernama Abu Rafi’ untuk menemani pengantin menyusul pada esok hari. Rasulullah SAW menunggu pengantin di luar kota Makkah, persisnya di Sarof, dekat dengan Tan’im, atau sekitar 5 km dari masjid al-Haram. Ketika pengantin putri datang, walimah perkawinan pun diadakan, makan-makan disajikan dan ummat Islam gembira dengan peristiwa ini.


Masa di Madinah
Sejarah tidak meriwayatkan tentang perselisihan atau pertengkaran antara Maimunah dan para Ummul Mu’minin yang lain. Ketika Rasulullah SAW sakit menjelang wafat, beliau ada di rumah Maimunah. Dengan kerelaan hati Maimunah mengizinkan supaya Rasulullah SAW dirawat di rumah Aisyah.


Kontribusi Dalam Riwayat Hadis
Sebagai istri Rasulullah SAW Maimunah banyak menerima ilmu dari baginda, kemudian beliau pun menyampaikan dalam bentuk riwayat. Berikut riwayat beliau yang terekam dalam beberapa kitab hadis


Wafat
Sepeninggal Rasulullah SAW, Maimunah tinggal di Madinah menghabiskan sisa hidupnya dengan tekun beribadah dan terus menyebarkan ajaran agama Islam yang diketahuinya langsung dari Rasulullah SAW. 40 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, Maimunah pun wafat, persis di tahun 51 H, dalam usia 80 tahun. Sebelum meninggal beliau berwasiat, agar jasadnya dimakamkan di tempat malam pengantinnya bersama Rasulullah SAW, yaitu di Sarof, pinggir kota Makkah. Setelah dishalatkan dengan imam Ibn Abbas, jenazah ini dimakamkan di tempat yang diwasiatkan.

Dua Hamba sahaya:
1. Maria al-Qibthiyah
Biografi
Maria al-Qibtiyah bint Syam’un, berasal dari daerah Ansena, Asyuth, Mesir. Lahir dengan bapak seorang Qibthi dan ibu Kristen Romawi. Maria mempunyai wajah yang cantik, begitu juga adiknya yang bernama Sirin. Karena itu, dia dan adiknya dijadikan selir oleh Raja Muqawqis.

Kisah Pertemuannya dengan Rasulullah SAW
Kisah pertemuan Maria dengan Rasulullah SAW ketika Rasulullah SAW mengutus Hathib ibn Abi Balta’ah ke Mesir untuk membawa surat untuk Muqawqis, raja/penguasa Qibth. Surat itu berisi ajakan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Muqawqis untuk memeluk Islam. Ketika akan pulang, Hathib dititipi hadiah untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW, antara lain : dua budak wanita yang sangat disegani di Qibth, pakaian, emas, madu dan kuda. Kedua budak tadi adalah Maria dan Sirin. Maria diambil oleh Rasulullah SAW, sedangkan Sirin diberikan kepada Hassan ibn Tsabit. Hathib berangkat ke Mesir pada bulan Dzulhijjah 6 H dan beliau berada di kota Qibth selama 5 hari. Dengan perjalanan yang memerlukan waktu lebih dari satu bulan, maka Maria menjadi budak Rasulullah SAW terjadi di awal tahun 7 H.


Cerita Rumah
Maria al-Qibtiyah selain cantik, juga menarik, ramah dan baik. Sifat seperti ini membuat orang lain senang terhadapnya, termasuk Rasulullah SAW. Ketika bersama Rasulullah SAW, Maria sudah memeluk Islam, meski statusnya sebagai budak, namun dia tetap menutup wajahnya dengan cadar sebagaimana para Ummul Mu’minin lainnya. Aisyah termasuk orang yang cemburu dengan Maria, karena Rasulullah SAW sering mampir ke tempat Maria dan berlama-lama di sana. Maria ditempatkan di rumah al-Harits ibn Nu’man yang berada di sekitar masjid. Mengetahui kecemburuan Aisyah dan istri-istri lainnya kepada Maria, Rasulullah SAW memindahkan rumah Maria ke daerah yang lebih jauh, sekitar 2 km dari masjid. Kecemburuan itu semakin menjadi ketika tersebar berita bahwa Maria hamil, hal yang selalu diidam-idamkan oleh semua istri-istri Rasulullah SAW. Untuk menjaga Maria dan membantu keperluan persalinan, selain terdapat adiknya Sirin, Rasulullah SAW menyuruh Salma dan Abu Rafi’, pengasuh Hasan dan Husen, untuk membantu Maria.


Anak Rasulullah SAW dari Maria
Melalui Maria al-Qibthiyah, Rasulullah SAW dikaruniai anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H. Kelahiran Ibrahim tentu disambut gembira oleh Rasulullah SAW, namun isu miring tetap tertiup, isu yang meragukan bahwa Ibrahim adalah anak kandung Rasulullah SAW. Keraguan itu hilang ketika Jibril datang dan menyapa Rasulullah SAW dengan : Assalamu’alaika ya Aba Ibrahim (wahai bapaknya Ibarahim). Nabi SAW sangat gembira dengan kelahiran anak bungsunya ini. Pada hari ke 7 kelahiran Ibrahim, Nabi SAW melaksanakan beberapa sunnahnya. Pertama memberi anaknya nama, yaitu Ibrahim. Kedua, mencukur gundul rambutnya lalu menimbangnya dan bersedekah dengan perak sejumlah timbangan rambutnya tadi. Rambutnya tadi kemudian ditanam. Ibrahim lalu diserahkan kepada Ummu Sayf untuk disusukan sebagaimana umumnya orang Arab pada waktu itu. Ibrahim tidak berumur panjang, 16 bulan 8 hari setelah kelahirannya, beliau wafat.


Wafat
Setelah meninggalnya Rasulullah SAW, Maria hidup lebih menyendiri lagi, sampai-sampai tidak ada yang menemuinya kecuali adiknya Sirin, atau beliau ziarah ke makam Rasulullah SAW atau makam anaknya Ibrahim di Baqi’. Maria meninggal pada tahun 16 H dan dimakamkan di Baqi’.

2. Raihanah bint Zayd

Biografi
Raihanah bint Zayd ibn ‘Amr ibn Khunafah. Wanita berparas sangat cantik berdarah Yahudi ini adalah salah satu dari mereka yang ditawan sebagai rampasan perang ketika terjadi perang dengan Bani al-Nadzir pada tahun 6 H. Ketika masih di kampung Bani al-Nadhir, Raihanah adalah istri dari al-Hakam.


Pernikahan
Terjadi perselisihan riwayat tentang status Raihanah. Ada yang mengatakannya sebagai budak, ada yang menyatakannya sebagai istri karena Rasulullah SAW sudah memerdekakannya lalu menikahinya dengan mahar 12 Uqiah (emas/perak). Cerita di awal dia ditawan, Rasulullah SAW memilihnya untuk menjadi budaknya. Ketika menjadi miliknya (Amah/budak perempuan), beliau memintanya untuk masuk Islam baru kemudian digauli. Namun Raihanah enggan dan tetap memilih agama Yahudi. Rasulullah SAW mengutus Ibn Sa’iyyah untuk mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan keutamaan jika dia menjadi istri Rasulullah SAW. Tidak terlalu lama, pintu hidayah terbuka dan Raihanah menyatakan keislamannya. Rasulullah SAW mendatanginya dan menawarkannya dua pilihan, dibebaskan kemudian dinikahi, atau tetap menjadi budak dan milik Rasulullah SAW. Ternyata Raihanah memilih yang ringan untuk dirinya dan untuk Rasulullah SAW, yaitu tetap menjadi budaknya Rasulullah SAW.

Wafat
Setelah kepergian Rasulullah SAW, Raihanah memilih untuk I’tizal dan Zuhd (hidup menyendiri dan jauh dari pergaulan dengan masyarakat). Jadi, tidak diketahui tahun berapa beliau meninggal. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa beliau meninggal setelah haji wada’ (10 H) dan dimakamkan di Baqi’.

Istri Rasulullah SAW yang meninggal sebelum baginda wafat:
  • Khadijah, meninggal tahun 3 SH.
  • Zainab bint Khuzaimah, meninggal tahun 3 H.
Ringkasan Tahun Perkawinan
 Putra-putri Rasulullah SAW
Jumlah putra dan putri Rasulullah SAW adalah 7 orang, 3 orang putra dan 4 orang putri. Sedangkan ibu dari putra dan putri baginda adalah Khadijah dengan 6 anak dan dari Maria Qibthiyah seorang putra yang bernama Ibrahim. Dengan demikian, Putra dan Putri Rasulullah SAW secara berurutan berdasarkan kelahiran adalah sebagai berikut :
1. al-Qasim
2. Zainab
3. Ruqayyah
4. Ummu Kultsum
5. Fatimah
6. Abdullah
7. Ibrahim


Biografi putra-putri Rasulullah saw :
1. al-Qasim
Al-Qasim adalah putra pertama dari pasangan Muhammad dan Khadijah. Beliau lahir di Makkah dan wafat di Makkah sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi. Lahir sekitar tahun 13 sebelum kenabian, Namun usia beliau hanya sekitar 7 hari saja. Dalam riwayat lain, al-Qasim meninggal ketika sudah mampu berjalan, dan dalam riwayat lain, sudah dapat menunggang binatang. Karena itu, disepakati oleh para ulama bahwa al-Qasim bukan seorang sahabat. Namun demikian, karena usianya masih sangat kecil, beliau dapat dinyatakan wafat dalam keadaan fitrah.

2. Zainab
Putri pertama pasangan Muhammad dan Khadijah, lahir di Makkah, sekitar satu tahun setelah kelahiran kakaknya al-Qasim. Putri pertama Rasulullah SAW ini tumbuh dibawah kasih sayang dan didikan terbaik yang diberikan seorang bapak dan ibu kepada anak mereka. Zainab, seorang putri yang selain diakui kecantikannya dan mempunyai wajah yang mirip dengan ibunya, beliau dikenal juga sebagai seorang perempuan yang teguh, tegar dan penyabar. Seorang wanita yang memiliki cinta sejati. Zainab dengan didikan orang tuanya, memiliki keimanan yang kuat, ketabahan yang jarang ditemukan dalam kebanyakan wanita, kesabaran yang luar biasa. Ketabahan dan keteguhannya dapat terlihat jelas dalam biografi perjalanannya yang penuh dengan ujian dan cobaan.


Kehidupan Rumah Tangga
Zainab mempunyai latar belakang sempurna, anak Muhammad ibn Abdillah yang terkenal dengan kejujuran dan kebaikannya. Ibunya Khadijah, perempuan kaya, baik, dan sangat dihormati kaumnya. Menikah dengan Abu al-’Ash ibn al-Rabi’, salah seroang pemuka Quraisy yang berprofesi sebagai pedagang yang sukses, nasab keduanya bertemu dari jalur ibunya, sebab ibu Abu al-’Ash, yaitu Halah bint Khuwailid adalah saudara kandung Khadijah. Pernikahan tersebut terjadi sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Jika demikian adanya, maka kemungkinan usia Zainab kala itu adalah, antara 10 sampai 13 tahun.


Anak-anak mereka
Pasangan ini dikaruniai dua orang anak, seorang putra dan seorang putri : Ali ibn Abi al-’Ash dan Umamah bint Abi al-’Ash. Keduanya lahir di Makkah. Umamah sempat disunting Ali dan menjadi istrinya setelah wafatnya Fatimah bint Muhammad.


Ujian Rumah Tangga
Dua pasangan Zainab dan Abu al-’Ash merupakan pasangan ideal yang membangun rumah tangganya berdasarkan cinta. Meski perjodohan mereka adalah perjodohan keluarga, namun setelah mereka menjadi suami istri, mereka saling mencintai dan menyayangi. Ujian rumah tangga mereka datang setelah Rasulallah SAW mendapatkan wahyu serta menyebarkan ajaran agama baru, Islam. Zainab sebagaimana adik-adiknya yang lain, mengimani ajaran yang dibawa oleh ayahnya, mereka menjadi orang-orang mu’minah pertama. Sayangnya, Abu al-’Ash sang suami, tidak mau menerima dan mempercayai Islam, bahkan memusuhi Rasulullah SAW dan Islam dengan sangat keras.


Hijrahnya Zainab
Semasa Rasulullah SAW di Makkah, Zainab yang sudah memeluk Islam, namun masih bersuami kafir. Zainab berusaha untuk mengajak suaminya memeluk Islam namun selalu ditolak, hanya karena keduanya saling mencintai, pasangan ini masih terus bertahan dalam satu rumah tangga. Ketika hampir semua umat Islam berhijrah ke Madinah, termasuk Rasulullah SAW, Zainab masih tetap di Makkah, hal ini tentu membuat masalah dan pikiran tersendiri buat keduanya. Rasulullah SAW membolehkan putrinya ini tetap di Makkah mengikuti suaminya. Selang dua tahun setelah Rasulullah SAW berhijrah, terjadilah perang Badr. Seribu musyrikin Quraisy datang menyerang, salah satu dari mereka adalah Abu al-’Ash.
Allah SWT menentukan bahwa peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin, puluhan orang musyrikin Makkah tewas, dan puluhan lagi ditawan, salah satu dari mereka adalah Abu al-’Ash, menantu Rasulullah SAW. Kejadian ini tentu membuat gelisah Zainab, antara keimanan dan cinta dan ta’at kepada suami berbenturan. Zainab ingin menebus kebebasan Abu al-’Ash dengan harta yang memang banyak dimilikinya. Bersama tebusan yang dikirim oleh penduduk Makkah, Zainab juga mengirim harta tebusan untuk membebasakan suami tercinta, diselipkan diantaranya kalung ibunya Khadijah, yang dihadiahkan pada hari pernikahannya. Melihat kalung Khadijah, Rasulullah SAW sedih luar biasa, beliau pun menyerukan kepada para sahabatnya : Jika kalian berpendapat bahwa kalian bisa membebaskan tawanannya, dan mengembalikan hartanya, maka lakukanlah. Para sahabat menjawab : Tentu wahai Rasulullah SAW. Abu al-‘Ash dibebaskan dengan syarat, Zainab dibiarkan berhijrah ke Madinah oleh suaminya.

Cobaan Hijrah
Dalam rangka mempersiapkan kehijrahan Zainab, setelah membebaskan suaminya, Rasulullah SAW mengutus Zayd ibn Haritsah dan seorang Anshar untuk menjemput putrinya seraya berkata : “Kalian berdua tunggulah di lembah Ya’jaj (+ 11 km dari Makkah) sampai Zainab lewat, jika dia sudah lewat, kalian temani dia sampai ke sisiku”. Abu al-’Ash tiba di Makkah dengan hartanya dan disambut meriah oleh penduduk Makkah. Setelah bertawaf, dia kembali ke rumah untuk menemui istri tercinta, Zainab. Setelah melepas rindu, dia pun ingat akan janji yang diucapkannya kepada Muhammad SAW, lalu dia berkata : wahai Zainab, bersiap-siaplah untuk menyusul ayahmu. Islam sudah menceraikan aku dengan kamu. Abu al-’Ash harus menepati janji karena dia dikenal selama ini sebagai orang yang amanah. Rasulullah SAW tahu akan hal ini dan yakin bahwa barter menantu dengan anak akan terjadi, karenanya beliau mengutus dua orang untuk menjemput putrinya.
Zainab sedih dengan perpisahan ini, namun keimanannya membawa lisannya berkata : “Aku dengar dan aku ta’ati Allah dan Rasul-Nya”. Ketika Zainab sedang bersiap-siap untuk hijrah, datanglah Hindun bint ‘Utbah seraya berkata : “Aku mendapatkan berita bahwa kamu wahai putri Muhammad, akan menyusul ayahmu”. Zainab menjawab : “Aku tidak menginginkannya”. Hindun berkata lagi : “Wahai putri paman, pergilah, jika kamu memerlukan sesuatu untuk sampai ke ayahmu, baik harta maupun tunggangan, saya punya itu, jangan malu untuk memintanya”. Zainab merasa bahwa Hindun sudah jujur, namun dia takut dan khawatir, karena itu dia tetap menyembunyikan maksud hijrahnya ini.
Setelah semua siap, kakak iparnya yang bernama Kinanah ibn al-Rabi’ memberinya onta. Mereka berdua meninggalkan kota Makkah di siang hari dengan disaksikan banyak orang. Berita kepergian Zainab dari Makkah akhirnya tersebar, banyak dari mereka tidak rela anak dari Muhammad yang telah membunuh keluarga mereka di Badr, meninggalkan kota dengan leluasanya. Mereka pun mengejarnya. Zainab pun terkejar di daerah Dzi Thua, dan orang yang pertama berhasil mengejarnya adalah Habbar ibn al-Aswad ibn Abdul Mutthalib dan Nafi’ ibn Abd al-Qays. Habbar menakut-nakutinya dengan tombak, sedangkan Zainab yang saat itu sedang hamil hingga beliau keguguran. Lalu kakak iparnya, Kinanah, menghadang mereka dan dia berteriak : “Aku bersumpah demi Allah, jika ada yang berani mendekat, aku akan memanahnya”.
Abu Sofyan datang melerai seraya berkata : Kamu kurang arif dan kurang tepat, kamu keluar bersama iparmu secara terang-terangan di muka halayak ramai, sedangkan kamu tahu apa yang sedang menimpa kami, dan apa yang disebabkan oleh Muhammad bapaknya ipar kamu ini terhadap kami. Kelakuan kamu seperti itu merupakan penambah kepedihan kami. Demi Tuhan, kami tidak berhasrat untuk menawan perempuan ini dari kembali ke bapaknya. Karena itu kembalilah ke Makkah, lalu pergilah dan tinggalkan Makkah setelah hal ini reda dan pergi secara sembunyi-sembunyi. Zainab kembali ke rumah suaminya dan pingsan setibanya disana akibat dari darah yang keluar dari badannya (beliau hamil dan keguguran karena peristiwa di atas). Selang beberapa hari, setelah pulih dan lebih sehat, beliau mempersiapkan diri untuk berhijrah ke Madinah. Kali ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, diantar oleh iparnya Kinanah ibn al-Rabi’ sampai ke Dzi Thua. Di situ sudah menunggu Zayd ibn Haritsah dan seorang Anshar yan akan membawa Zainab ke Madinah.


Zainab tiba di Madinah
Kedatangan Zainab disambut haru oleh seluruh penduduk Madinah. Rasulullah SAW menyambut putrinya tercinta dengan berbagai perasaan, gembira, sedih bercampur marah. Ketiga adik-adiknya sedih, meski bercampur sedih dan marah, mereka menyambut kakaknya yang sudah lebih dari dua tahun tidak pernah mereka jumpai. Zainab meski sudah berpisah dari suaminya Abu al-’Ash, namun benih-benih cinta masih bersemi di hatinya. Dia terus berdoa semoga cahaya Islam dapat menerangi hati suaminya. Zainab tinggal bersama ayahnya Rasulullah SAW. Dia tetap menjanda, menjaga kedua anaknya Ali dan Umamah.


Suaminya masuk Islam
Tahun 7 H, terdengar dan sampai berita ini ke telinga Zainab bahwa mantan suaminya Abu al-’Ash sudah memeluk Islam dan akan berhijrah ke Madinah. Doanya terkabul, harapannya menjadi kenyataan. Menjelang ketibaan sang suami, Zainab sabar menanti sampai hari kedatangan itu. Dia terus berteriak Allahu Akbar, di rumah dan di masjid, sampai penduduk Madinah ikut berteriak Allahu Akbar. Ketika Abu al-’Ash benar-benar tiba, Zainab menyambutnya seraya berkata : “Selamat Datang wahai putra bibiku dan bapaknya Ali dan Umamah”. Zainab tidak memanggilnya dengan sebutan suamiku, karena mereka sudah berpisah.
Zainab pun berkata lagi : “Wahai manusia sekalian, saya sudah melindungi Abu al-’Ash”. Teriakan Zainab terdengar kemana-mana dan sampai juga ke telinga Rasulullah SAW. Seusai shalat, baginda bertanya kepada para sahabat : “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Mereka menjawab : “Ya”. Rasulullah SAW bersabda : “Saya belum pernah mendengarnya sebelum kalian juga mendengarnya. Dan sesungguhnya seorang Muslim dari kalangan mana pun dapat melindungi siapa pun. Maka kami sudah melindungi siapa yang dia (Zainab) lindungi”.


Perkawinannya kembali
Zainab dan Abu al-’Ash sudah berpisah dan bercerai karena perbedaan agama. Meski keduanya saling mencintai, namun perbedaan keyakinan memisahkan mereka. Sebelumnya ketika masih di Makkah, syariat Islam belum lagi sempurna, hukum nikah belum lagi sempurna. Seorang muslimah masih diperbolehkan untuk bersuamikan non muslim. Akan tetapi di periode Madinah, sejalan dengan waktu, muslimah tidak lagi diperkenankan bersuamikan non muslim. Setelah Abu al-‘Ash memeluk Islam dan berhijrah ke Madinah, alasan untuk memisahkan mereka sudah tidak ada lagi. Zainab masih menjanda dan Abu al-’Ash sudah menjadi seorang muslim. Selang beberapa waktu (minggu atau bulan), sejak kedatangan Abu al-’Ash di Madinah, Rasulullah SAW akhirnya mempersatukan kembali anak dan mantan menantunya dalam tali perkawinan kembali. Ada yang mengatakan, mereka disatukan dengan tali perkawinan baru, ada juga yang mengatakan dengan tali perkawinan yang lama. Wallahu a’lam. (penulis cenderung menguatkan tali perkawinan baru).
Bekas luka ketika peristiwa hijrah masih menyisakan sakit di tubuh Zainab. Meski kesedihannya sudah hilang dengan nikmat dan anugrah yang telah Allah SWT berikan antara lain :


  • Kembali berkumpul bersama ayah dan adik-adiknya serta kaum muslimin lainnya.
  • Suaminya sudah memeluk Islam.
  • Suaminya sudah berhijrah.
  • Dia kembali disatukan dalam tali perkawinan dengan suami tercintanya.
Wafat
Tepat pada tahun 8 H beliau dipanggil keharibaan Allah SWT sang pencipta. Rasulullah SAW mengimami shalat jenazahnya dan menguburkannya di Baqi’. Radiallahu ‘anha Wa Ja’ala al-Jannata Matswaha.


3. Ruqayyah
Putri kedua Rasulullah SAW dari istrinya Khadijah. Lahir di Makkah sekitar 11- 10 SN (Sebelum Kenabian). Hidup dengan penuh kasih sayang dan bimbingan yang baik dari kedua orang tuanya. Sering diidentikkan kembar dengan adiknya Ummu Kultsum padahal bukan kembar, hanya karena berwajah mirip dan selalu bermain bersama, maka banyak orang yang menyangka bahwa keduanya adalah saudara kembar.

Perkawinan
Ketika sudah menginjak remaja, dia selalu bermain bersama adiknya Ummu Kultsum, bahkan diceritakan bahwa keduanya seperti anak kembar. Karena kakaknya sudah diambil (menikah) dengan keluarga dari pihak ibu, maka keluarga dari pihak ayah menginginkan agar dua putri ini, Ruqayah dan Ummi Kultsum, menikah dengan keluarga ayah. Abu Thalib datang kepada Muhammad menyampaikan hasrat tersebut. Muhammad dan Khadijah menyetujui usulan dan pinangan ini. Dua dara pun menyetujui persetujuan bapak dan ibunya. Dinikahkanlah secara bersamaan kedua putrinya ini : Ruqayyah dengan ‘Utbah ibn Abi Lahab dan Ummu Kultsum dengan ‘Utaybah ibn Abi Lahab.
Kakak beradik menikah dengan kakak beradik, kakak dengan kakak dan adik dengan adik. Dengan demikian Muhammad ibn Abdillah berbesan dengan Abu Lahab. Namun, belum lagi kedua atau keempatnya tinggal dalam rumah tangga, hidup bagaimana layaknya sepasang suami istri, tiba-tiba Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah. Beliau menyampaikan dan menyebarkan ajaran agama baru, Islam.


Perceraian
Abu Lahab tidak menerima ajaran baru, Islam yang dibawa oleh besan dan juga keponakannya, Muhammad. Bukan hanya menolak, Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, memusuhi agama baru ini sekaligus Nabi pembawa ajarannya. Setelah permusuhan ini semakin membesar, para pemuka Quraisy berkumpul dan meminta kepada tiga menantu Muhammad untuk menceraikan istri-istri mereka dan mempersilahkan ketiganya untuk mencari wanita lain yang mereka kehendaki.
Abu al-‘Ash menolak tawaran ini dan tetap mempertahankan Zainab bint Muhammad sebagai istrinya. ‘Utbah dan ‘Utaybah memenuhi permintaan ini dan langsung menceraikan masing-masing istrinya : Ruqayyah dan Ummu Kultsum yang belum lagi digauli karena masih belum tinggal serumah. Tidak cukup disitu, kedua anak Abu Lahab ini menyertai cerainya dengan hinaan dan cacian terhadap istri dan mertua mereka. Rasulullah SAW menerima dan bersyukur atas perceraian ini, namun marah atas cacian dan penghinaan yang dilontarkan kedua menantunya.


Perkawinan kedua
Terlepas dari ikatan perkawinannya dengan ‘Utbah, Ruqayyah pun menjadi janda kembang (janda yang masih perawan). Utsman ibn ‘Affan, seorang pemuda Quraisy yang pandai dan kaya, datang melamar. Utsman merupakan sedikit dari pemuda Quraisy yang sudah memeluk Islam. Rasulullah SAW setuju dengan lamaran ini dan diadakanlah pesta perkawinan yang meriah. Perkawinan ini terjadi pada tahun-tahun awal Kenabian.


Perjuangan
Tidak lama setelah Ruqayyah dan Utsman menikah, kondisi kaum Muslimin di Makkah semakin terhimpit. Penghinaan, penzaliman dan penyiksaan semakin kerap. Melihat kondisi ini, Rasulullah SAW memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah. Beliau bersabda : “Kalaulah kalian pergi ke Habasyah, di sana ada Raja yang baik dan tidak seorang pun yang dizalimi. Kerajaan itu kerajaan yang jujur, tetaplah di sana sampai Allah memberi kita jalan keluar”. Diantara mereka yang hijrah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam adalah Utsman ibn ‘Affan dan istrinya Ruqayyah. Sepasang pengantin baru ini merupakan keluarga yang ikut berhijrah, dan Utsman ibn ‘Affan adalah orang yang pertama mengajak keluarganya berhijrah.
Hijrah pertama ini diikuti oleh 12 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Selama berada di Habasyah ini, pasangan Utsman dan Ruqayyah dianugrahi seorang anak yang diberi nama : Abdullah ibn Utsman. Setelah keadaan kota Makkah semakin membaik, mereka pun kembali, tidak lagi 16 orang, namun sudah ditambah dengan seorang bayi yang merupakan cucu pertama Rasulullah SAW dan putra pertama pasangan Utsman dan Ruqayyah.


Perjuangan selanjutnya
Sekembalinya dari negeri Habasyah, kondisi umat Islam tidaklah terlalu aman sampai akhirnya mereka harus kembali berhijrah. Saatnya tiba, pasangan suami istri dan anak semata wayangnya ikut berhijrah untuk kedua kalinya, ke kota Yatsrib. Meski tidaklah sejauh dan sesulit perjalanan ke Habasyah, namun hijrah ke Yatsrib juga merupakan perjuangan berat yang dilakukan oleh kaum muslimin yang masuk Islam di Makkah. Karena itu, wajar jika mereka, tanpa kecuali mendapat pujian dari Allah dan Rasul-Nya, termasuk di dalamnya adalah keempat putri Rasulullah SAW. Madinah adalah tempat yang menyenangkan buat keluarga ini, selain bisa melaksanakan ajaran agama dengan mudah dan bebas, tanpa intimidasi, keluarga ini dapat hidup rukun dan damai. Ayah, ibu dan anak serta mertua ada di kota yang sama, dan sama-sama menikmati kebebasan hidup.


Wafat
Tidak lama setelah putra satu-satunya meninggal dalam usia 6 tahun, Ruqayyah mulai sakit-sakitan. Pada tahun 2 H, perang Badr terjadi. Rasulullah SAW mengajak kaum muslimin dari Muhajirin dan Anshar untuk bahu-membahu mempertahankan agama yang mereka yakini. Utsman ibn ‘Affan menyambut ajakan ini. Namun karena kondisi istrinya yang sedang sakit parah, Rasulullah SAW memerintahkan Utsman untuk tetap di Madinah dan menjadi Pemimpin kota Madinah. Sepulang dari perang Badr, kondisi kesehatan Ruqayyah semakin parah dan akhirnya beliau meninggal dengan meninggalkan seorang ayah, seorang suami, seorang kakak dan seorang adik. Radiallahu ‘anha, Wa Ja’ala al-Jannata Matswaha


4. Ummu Kultsum
Putri ketiga Rasulullah SAW, atau anak keempat ini, lahir dari rahim ibunya Khadijah bint Khuwaylid di Makkah, sekitar tahun 7 SN (Sebelum Kenabian). Kakak kandung dari Fatimah al-Zahra ini mirip sekali dengan kakaknya Ruqayyah, orang sering mengatakan bahwa mereka berdua adalah saudara kembar karena kemiripan wajah mereka berdua. Di masa kecilnya lagi, Ummu Kultsum selalu bermain dengan kakaknya Ruqayyah. Mereka semua hidup bahagia dibawah bimbingan kasih sayang ayah yang bijak dan ibu yang sangat peduli. Meski kakak laki-laki sudah meninggal, namun kakak tertua mereka, Zainab dapat melindungi dan mengajari adiknya.

Pernikahan Dini
Sebagaimana kebiasaan orang Arab Makkah kala itu, yaitu menikahkan putrinya pada usia dini, putri-putri Rasulullah SAW mengalami hal yang serupa. Zainab sebagai putri tertua dinikahkan dengan Abu al-‘Ash pada usia sekitar sepuluh tahun. Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahkan secara bersamaan dengan kakak beradik putra Abu Lahab, ‘Utbah dan ‘Utaybah. Dasar perkawinan ini adalah untuk menyambung tali persaudaraan dari jalur bapak, yaitu Muhammad ibn Abdillah dari Bani Hasyim. Sebagaimana diketahui, bahwa putri pertama mereka, Zainab, sudah dinikahkan dengan Abu al-’Ash yang merupakan keponakan dari Khadijah. Karena itu, keluarga dari pihak bapak menginginkan kalau anak keponakannya ini menikah dengan keluarga mereka. Muhammad dan Khadijah setuju, ikatan pernikahan pun dilaksanakan. Hasilnya, Muhammad dan Abu Lahab pun berbesan. Semua ini terjadi ketika Muhammad belum diangkat menjadi Nabi.


Cerai Dini
Tak lama kemudian, sebelum dua pasangan pengantin muda kakak beradik tinggal serumah, dan belum menikmati malam pengantinnya, perubahan besar pun terjadi. Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah SAW. Abu Lahab sebagai salah satu pemuka Quraisy, menolak ajakan agama baru yang dibawa oleh besan yang juga adalah keponakannya. Dia tetap mempertahankan tradisi jahiliah yang selama ini dilaksanakan, begitu juga dengan kedua anaknya yang sudah beranjak remaja. Tidak hanya itu, ketiga-tiganya menjadi orang-orang terdepan yang menolak ajakan Muhammad, sedangkan Ummu Kultsum dan kakak serta adiknya, menyakini ajaran baru yang dibawa bapak mereka. Perselisihan pun membesar, Abu Lahab tidak mau berbesan dengan Muhammad yang dituduh sebagai pengkhianat ajaran kakek nenek mereka. Kedua anaknya mendukung sang bapak dan tidak mau beristrikan putri pengkhianat itu, mereka memutuskan tali perkawinan yang sudah diikat. Tidak cukup di situ, ketiganya mencaci maki besan dan mertuanya.
Mendengar dan melihat sikap bermusuhan itu, meski belum turun ajaran yang melarang menikah antar agama, Rasulullah SAW mengambil sikap yang sama, menerima dan bersyukur atas pembatalan ini. Kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum sepakat dengan putusan sang bapak yang diyakini sepenuhnya sudah memutuskan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan. Tidak hanya itu, karena sudah dihina dan dicaci maki oleh bekas besan dan kedua menantunya, Rasulullah SAW mengutuk dan mendoakan keburukan buat ketiga-tiganya. ‘Utaybah suami gantung Ummu Kultsum, didoakan semoga mati dimakan anjing, dan ternyata benar, dia mati dimakan singa padang pasir ketika tertidur di antara sahabat-sahabatnya.


Perjuangan masa Makkah
Sulitnya kehidupan di Makkah di bawah tekanan kaum Quraisy dialami dan dilalui oleh Ummu Kultsum dengan tawakkal, dan penuh kesabaran. Dengan kewajiban menjaga sang adik Fatimah, karena sang kakak sudah menikah dan tinggal bersama suami, Ummu Kultsum lah yang membantu ibunya Khadijah ketika sakit, merawatnya dan menjadi pengganti ibu setelah beliau wafat. Di usia belasan tahun, biasanya seorang putri sudah menikah, namun beliau tidak, meski banyak orang datang melamar. Ummu Kultsum dan adiknya Fatimah terus membantu perjuangan Rasulullah SAW, menghiburnya di kala duka, dan mendorongnya di kala sulit. Mereka berdua menjadi buah hati sang ayah. Ketika saatnya hijrah, Ummu Kultsum dan Fatimah baru berhijrah ke Madinah setelah 3-4 hari hijrahnya Rasulullah SAW bersama Abu Bakar. Keduanya berangkat bersama Ali dan ibu tiri mereka Saudah yang sudah menjadi istri Rasulullah SAW.


Menikah dengan Utsman ibn ‘Affan
Ketika perang Badr terjadi, Ruqayyah sakit dan Utsman diangkat oleh Rasulullah SAW untuk menjadi penggantinya di Madinah selama kepergiannya ke medan perang. Tak lama setelah pasukan yang membawa kemenangan tiba di Madinah dari Badr, Ruqayyah dipangil Allah SWT ke pangkuan-Nya. Di perang Badr, Umar kehilangan menantunya Khunais ibn Huzafah, suami dari putrinya Hafsah. Setelah masa iddah sang putri selesai, Umar ingin menjodohkan putrinya ini dengan lelaki pilihannya sendiri. Umar menawarkan Abu Bakar, namun beliau menolaknya. Lalu Utsman yang sudah menduda juga ditawarkan, Utsman pun menolak. Umar gelisah dan kecewa dengan penolakan kedua sahabatnya itu. Berita kekecewaan Umar sampai ke telinga Rasulullah SAW, Umar pun dipanggil dan Rasulullah SAW bersabda : Hafsah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafsah.


Cerita Sebab Pernikahan
Dengan pernyataan tadi, Rasulullah SAW memutuskan untuk menikahi Hafsah bint Umar dan menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan Utsman ibn ‘Affan. Ummu Ayyasy yang pernah menjadi pembantu Ruqayyah berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah aku menikahkan Utsman kecuali atas dasar wahyu dari langit”. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jibril as. telah mendatangiku dan berkata : Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kamu untuk menikahkan Utsman dengan Ummu Kultsum dengan mahar seperti untuk Ruqayyah dan juga seperti perlakuannya dengan istri pertamanya”. Dengan menjadi menantu Rasulullah SAW untuk dua orang putrinya, Utsman digelari dengan Dzu al-Nurayn (pemilik dua cahaya). Pernikahan Utsman dan Ummu Kultsum ini terjadi pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 3 H.


Wafat
Di tahun 9 H, setelah membina rumah tangga bersama suami tercinta, Utsman ibn ‘Affan selama 6 tahun dan belum dikaruniai anak, ajal pun menjemputnya. Tepat ketika adzan Subuh berkumandang, suara adzan Bilal membangunkan rasa cintanya kepada Allah SWT. Utsman sang suami pergi melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah SAW. Ummu Kultsum terbaring ditemani oleh Ummu Ayyasy salah seorang pembantu Rasulullah SAW. Ketika sakarat maut tiba dan sang suami serta bapak sedang melaksanakan shalat, Ummu Ayyasy segera memberitahukan kondisi terakhir Ummu Kultsum. Utsman segera kembali ke rumah dan Rasulullah SAW pergi menyusul diiringi Abu Bakar, Umar dan Ali, Ummu Ruman istri Abu Bakar dan Sofiyyah bint Abdul Mutthalib datang melayat, di sana sudah ada juga sang adik, Fatimah. Di hadapan mereka yang hadir, Ummu Kultsum kembali ke Rahmatullah.


5. Fatimah
Fatimah bint Muhammad, Rasulullah SAW. Ibunya adalah Khadijah bint Khuwaylid, Lahir di Makkah tahun 18 SH (5 tahun sebelum kenabian). Menikah dengan Ali ibn Abi Thalib di bulan Rajab 15 bulan setelah Hijrah Masa kecilnya dilalui begitu indah, kasih sayang yang didapat dari seorang ayah yang bijak dan ibu yang penyayang, seolah-olah si kecil mungil ini menjadi idaman semua anak kecil. 5 tahun kemudian, ketika ayahnya diangkat menjadi Nabi dan Rasul, barulah kehidupan seorang putri yang lucu dan cantik ini sedikit berubah. Ayahnya yang dulunya disegani dan dihormati karena dikenal sebagai seorang yang baik, jujur dan amanah, berubah menjadi orang yang dibenci dan dicaci oleh kebanyakan anak kaumnya. Meski orang-orang Quraisy tidak mencaci maki atau menyakiti Fatimah, namun perlakuan mereka atas ayahandanya tentu menyakitinya juga. Hebatnya, meski masih tergolong anak kecil, Fatimah al-Zahra mampu bersikap bijak dan menjadi penghibur buat sang ayah. Dalam banyak kesempatan, Fatimah lah yang menolong ayahnya dari hinaan dan cacian musyrikin Makkah. Fatimah dan semua kakaknya mengimani apa yang dibawa dan diajarkan oleh sang ayah.

Keutamaan Fatimah
Fatimah bint Muhammad adalah putri kesayangan Rasulullah SAW, peranannya dalam membantu perjuangan Rasulullah SAW tidak diragukan. Baik masa di Makkah, maupun di Madinah. Beberapa hadis di bawah ini memuat secara tegas keutamaan putri Rasulullah SAW ini. Miswar ibn Makhramah ra. berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda dari atas mimbar :
Sesungguhnya keluarga Bani Hisyam ibn Mughirah meminta restu kalau mereka akan menikahkan putri mereka dengan Ali ibn Abi Thalib. Tentu saja aku tidak merestui, aku tidak merestui, sekali lagi aku tidak merestui kecuali jika Ali ibn Abi Thalib berkenan menceraikan putriku terlebih dahulu kemudian menikahi putri mereka tersebut. Karena putriku adalah bagian dari diriku, apa yang mengganggunya akan menggangguku dan apa yang menyakitkannya akan menyakitkan diriku.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)


Pemimpin Wanita di Surga
Aisyah ra. bercerita bahwa : “Suatu hari Fatimah berjalan menghampiri Nabi SAW, gaya jalannya mirip sekali dengan gaya jalannya Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menyambutnya dan menyuruhnya duduk di sisi kanan atau kirinya. Kemudian beliau membisikkan sesuatu kepadanya sehingga ia pun menangis kemudian beliau membisikkannya lagi sampai ia tertawa”. Kemudian Aisyah berkata : Aku bertanya kepada Fatimah : “Apakah yang dibisikkan Rasulullah SAW itu kepadamu sehingga kamu menangis, kemudian apa lagi yang dibisikkan kepada kamu sehingga kamu tertawa?” Fatimah menjawab : “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah SAW”. Sampai setelah Rasulullah SAW wafat aku bertanya kembali kepada Fatimah.
Fatimah pun menjawab :
Beliau membisikkan kepadaku untuk mengabarkan kepadaku berita wafatnya beliau, lalu aku pun menangis kemudian beliau membisikkan lagi kepadaku untuk mengabarkan kepadaku bahwa aku adalah orang yang pertama kali menyusul beliau dari keluarganya lalu aku pun tertawa. Kemudian Beliau berkata : Tidakkah kamu ridha jika kamu menjadi pemimpin perempuan penghuni surga atau perempuan mu’minah. Aku pun tersenyum mendengarnya.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)


Riwayat
Dari Aisyah ra. dia berkata : Rasulullah SAW keluar pada pagi hari mengenakan jubah hitam bersulam, tak lama kemudian datang Hasan ibn Ali, maka beliau memasukkannya (ke dalam jubah), kemudian datang al-Husen dan dimasukkannya juga bersamanya, kemudian datang Fatimah dan dimasukkan ke dalamnya, kemudian datang Ali dan dimasukkan kedalamnya. Kemudian beliau berkata :
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab 33 : 33)
(HR. Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi dan Ahmad)


Perkawinan Fatimah
Berbeda dengan ketiga kakak-kakaknya yang menikah di usia dini, antara 9-12 tahun, Fatimah menikah di usia yang matang. Setelah tiba di Madinah bersama rombongan yang berhijrah setelah Rasulullah SAW, Fatimah yang saat itu sudah berusia sekitar 18 tahun, tentu banyak yang datang melamarnya. Abu Bakar dan Umar adalah dua diantara mereka yang menyatakan hal itu. Namun Rasulullah SAW menolak pinangan tersebut, sampai akhirnya Ali yang menyatakan hasratnya dan Rasulullah SAW menerimanya lalu berkata : “Apakah kamu memiliki sesuatu ?” Ali menjawab : “Tidak, wahai Rasulullah”. Rasulullah saw berkata : “Mana baju perangmu yang dulu pernah aku berikan ?” Ali Menjawab : “Yang itu ada pada saya wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata : “Berikanlah itu untuk Fatimah (sebagai mahar)”.
Ali bersegera mengambil baju perangnya itu dan Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjualnya. Utsman membelinya seharga 475 Dirham. Uang mahar itu semuanya diberikan kepada Rasulullah SAW. Yang kemudian memberikan sebagiannya kepada Bilal untuk dibelikan makanan dan wewangian, sebagian lagi diberikan kepada Ummu Salamah untuk membeli pakaian dan keperluan pengantin perempuan. Pernikahan pun dilakukan, Rasulullah SAW mengundang sahabat-sahabatnya dan menjadikan mereka sebagai saksi pernikahan putrinya dengan Ali dengan mas kawin 40 misqal perak dibayar satu tahun ke depan. Akad nikah itu diakhiri dengan memberikan selamat dan mendoakan kedua mempelai, lalu para tamu pun disuguhi hidangan berupa buah kurma. Perkawinan ini terjadi setelah perang Badr pada tahun 2 H.


Malam Pengantin
Pasangan pengantin ini ditempatkan di rumah Ummu Salamah, sebelum malam datang Rasulullah SAW berpesan kepada Ali untuk tidak melakukan sesuatu sampai beliau kembali menemuinya. Usai shalat Isya’ Rasulullah SAW kembali ke rumah Ummu Salamah untuk menemui kedua pengantin. Setelah minta diambilkan air dan berwudhu’, Rasulullah SAW memanggil pengantin dan mendoakannya dengan ucapan :
اَللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا, وَبَارِكْ عَلَيْهِمَا, وَبَارِكْ فِيْ نَسْلِهِمَا.
“Ya Allah berkahilah keduanya, dan berkahilah ke atas keduanya, dan berkahilah keturunannya”.
Usai didoakan, pasangan pengantin ini pun menikmati malam indahnya dengan penuh berkah dan doa.


Putra dan Putri
Pasangan Ali dan Fatimah dianugrahi beberapa orang anak yang menjadi cucu Rasulullah SAW dan penerus generasinya. Anak pertamanya Hasan, yang sebelumnya dinamakan Harb (perang) oleh Ali namun diganti oleh Rasulullah SAW dengan Hasan (baik). Lahir pada tahun 4 H. Anak kedua : Husen, lahir tahun 5 H. Anak ketiga : Muhassin, lahir tahun 6 H. Anak keempat : Zainab, lahir tahun 7 H. Anak Kelima : Ummu Kultsum, lahir tahun 9 H. Dari keempat anak inilah keturunan Rasulullah SAW berlanjut sampai sekarang.


Fatimah akan dimadu
Poligami merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat kala itu. Ali ibn Abi Thalib, suami Fatimah berniat untuk berpoligami. Di pihak lain, ketika salah seorang putri Abu Jahal yang sudah masuk Islam dan sudah berhijrah menjadi putri yang sudah layak untuk menikah, lalu keluarganya yang juga sudah masuk Islam dan sudah berhijrah ke Madinah, mereka melihat bahwa calon yang paling tepat untuk keponakannya ini adalah Ali, kemudian mereka mengajukan usulan ini kepada Ali. Ali tidak keberatan dengan usulan ini, beliau pun siap untuk berpoligami, terlebih lagi melihat bahwa Rasulullah SAW sendiri berpoligami dan banyak sahabat yang juga berpoligami, maka wajar kalau beliau juga berpoligami. Mendapat respon positif dari Ali, kerabat Bani Hisyam ibn Mughirah (Abu Jahal) meminta izin kepada Rasulullah SAW. Isu Ali akan menikah lagi sampai juga ke telinga Fatimah, beliau terperanjat, kecewa dan kesal. Fatimah pun mengadukan hal ini kepada ayahanda.


Penolakan Rasulullah SAW
Melihat putri tercintanya kecewa dan sedih, Rasulullah SAW pun ikut kecewa terhadap sikap Ali yang ingin memadu putrinya. Faktor lain yang membuat kesal Rasulullah SAW adalah calon mertuanya Ali, yaitu Abu Jahal yang merupakan orang yang sampai akhir hayatnya memusuhi dan menyakitinya. Dua faktor di atas membuat Rasulullah SAW memutuskan dengan berkata :
“Sesungguhnya Bani Hisyam ibn Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan mereka selamanya, kemudian saya tidak mengizinkan mereka. Kecuali, jika anaknya Abi Thalib ingin menceraikan putri saya dan menikah dengan putri mereka. Sesungguhnya Fatimah itu bagian dariku, apa yang mengganggunya akan menggangguku dan apa yang menyakitkannya akan menyakitkan diriku. Sungguh saya khawatir ini akan jadi ujian berat atau fitnah buat keimanannya.”
Melihat penolakan Rasulullah SAW yang begitu keras dan tegas, Ali tidak berani dan akhirnya beliau pun membatalkan niatnya itu.


Kasih dan Sayangnya Rasulullah SAW
Fatimah merupakan putri kesayangan Rasulullah SAW sejak sebelum kenabian. Banyak kemiripan antara keduanya. Fatimah, meski masih kecil, namun perhatian, bantuan dan dorongannya terhadap perjuangan Rasulullah SAW begitu besar dan sangat berarti. Selain itu, Rasulullah SAW juga melihat bahwa keturunannya masih akan berlanjut, dan itu melalui keturunan Fatimah. Sering Rasulullah SAW ketika Fatimah datang, beliau berdiri dan menempatkannya di tempatnya sendiri. Ketika Rasulullah SAW sakit sebelum wafatnya, beliau memanggil Fatimah dan membisikkan sesuatu sehingga Fatimah menangis, kemudian memanggilnya lagi dan membisikkan sesuatu sehingga dia tertawa. Sesudah Rasulullah SAW wafat Fatimah ditanya tentang hal tersebut dan beliau menjawab : “Rasulullah SAW membisikkan bahwa beliau akan wafat karena penyakit ini maka saya menangis, kemudian membisikkan bahwa aku adalah keluarga pertama yang akan menyusulnya maka aku tertawa”.


Wafat
Kematian pasti menjemput setiap manusia, tidak peduli siapa orang itu. Setelah kepergian Rasulullah SAW ke pangkuan Allah SWT, Fatimah sedih sekali. Namun apalah hendak dikata, takdir Allah lebih berkuasa dari kehendak manusia. Menjelang kematiannya, Fatimah memanggil Ummu Rafi’ dan berkata : “Wahai ibu, siapkanlah untuk saya mandi.” Fatimah mandi sebagaimana biasa bahkan lebih baik, kemudian menggunakan baju barunya, lalu berpesan : Taruhlah kasurku di tengah rumah, Fatimah tidur dan menghadap kiblat, kemudian berkata: “Wahai ibu, nyawa saya akan dicabut sekarang, dan saya sudah mandi, karena itu, jangan ada yang membuka kafanku lagi.” Fatimah pun meninggal. Ketika Ali datang dan diberitahu soal kejadian tadi, Ali memakluminya dan menguburkannya tanpa memandikannya lagi, setelah menshalatkannya bersama Abbas. Fatimah dimakamkan di malam hari di pemakaman Baqi’, hari Senin malam Selasa 3 Ramadhan 11 H, atau 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW.


6. Abdullah
Putra kedua Rasulullah SAW dari istrinya Khadijah. Lahir di Makkah setelah kakaknya yang bernama Fatimah. Ini berarti putra bungsu Rasulullah SAW dari Khadijah. Tidak banyak riwayat yang menuliskan sejarah hidupnya karena meninggal di Makkah pada usia masih kecil.

7. Ibrahim
Putra ketiga atau anak ke 7 dan bungsu Rasulullah SAW. Ibunya adalah Maria al-Qibtiyah, budak yang dihadiahkan oleh Muqawqis Raja Mesir. Ibrahim lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H. Rasulullah SAW sangat gembira dengan kelahiran anak bungsunya ini. Pada hari ke 7 kelahiran Ibrahim, Nabi melaksanakan beberapa sunnahnya. Pertama memberi anaknya nama, yaitu Ibrahim, kedua, memotong gundul rambutnya lalu menimbangnya dan bersedekah dengan perak sejumlah timbangan rambutnya tadi. Rambutnya tadi kemudian ditanam. Ibrahim lalu diserahkan kepada Ummu Sayf untuk disusukan sebagaimana umumnya orang Arab pada waktu itu. Ibrahim tidak berumur panjang, 16 bulan 8 hari setelah kelahirnya, beliau wafat.
Di hari wafatnya Ibrahim terjadi gerhana matahari, namun Rasulullah SAW menegaskan, gerhana tersebut bukan karena kematian Ibrahim atau siapa pun. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW menshalatkan jenazah Ibrahim. Sedangkan Aisyah berpendapat bahwa baginda tidak menshalatkan jenazahnya, namun Rasulullah SAW dipastikan shalat Gerhana. Penulis condong bahwa Rasulullah SAW shalat gerhana dan shalat jenazah juga, sebagaimana mayoritas ulama berpendapat. Al-Fadl Ibn Abbas bertindak sebagai orang yang memandikan jenazah, lalu beliau dan Usamah ibn Zayd yang menaruh jenazah itu ke liang lahat. Sementara Rasulullah SAW berdiri di pinggir lahat. Setelah liang selesai ditutup kembali dengan tanah, kubur itu disiram dengan air. Penyiraman makam dengan air setelah penguburan, pertama dilakukan dalam sejarah Islam adalah pada makam Ibrahim.


Beberapa Hadis tentang Ibrahim
Beberapa hadis Rasulullah SAW berbicara tentang putra bungsunya, Ibrahim. Antara lain :
Dari Anas ibn Malik, beliau berkata :
Kalaulah Ibrahim anak Nabi SAW hidup, niscaya dia akan menjadi orang yang jujur dan seorang Nabi.
(HR. Ahmad)

Dari al-Bara’ ra. beliau bercerita :
Bahwa ketika Ibrahim as. meninggal, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya dia mempunyai ibu susu (yang menyusui) di surga.
(HR. al-Bukhari)
Dari Anas ibn Malik ra. bercerita :
Bahwa kami masuk bersama Rasulullah SAW ke rumah Abu Sayf al-Qayn, dia adalah bapak susunya Ibrahim – karena istrinya menyusui Ibrahim- Rasululah SAW mengambil Ibrahim lalu mengecup dan menciumnya, kemudian kami masuk ke rumahnya kembali sedangkan Ibrahim menghadapi sakarat maut , maka Rasululah SAW pun menangis. Abdurrahman ibn ‘Auf berkomentar : Engkau menangis wahai Rasulullah ? Rasulullah menjawab : Wahai putra ‘Auf, sesungguhnya itu merupakan rahmat, sesungguhnya mata itu akan menangis dan hati itu akan bersedih, akan tetapi kami tidak akan berkata kecuali dengan ucapan yang diridhai Allah, dan sesungguhnya kami sedih berpisahan denganmu wahai Ibrahim.
(HR. al-Bukhari)


 Cucu Rasulullah SAW

1. Ali
Ali ibn Abi al-’Ash, adalah anak pasangan Zainab bint Muhammad SAW dengan Abu al-’Ash. Cucu pertama Rasulullah SAW ini lahir di Makkah sekitar awal kenabian.


2. Umamah
Biografi
Cucu kedua Rasulullah SAW ini bernama Umamah bint Abu al-’Ash ibn al-Rabi’ ibn Abd al-Uzza ibn Abd Manaf. Ibunya adalah Zainab bint Muhammad Rasulullah SAW. Lahir di Makkah, namun belum ditemukan sumber yang jelas yang menerangkan tahun persisnya. Rasulullah SAW sering menggendong cucu perempuannya ini dalam shalat. Jika dalam keadaan ruku’ dan sujud, Umamah akan diletakkan di sampingnya, dan jika dalam keadaan berdiri, ia akan digendong lagi. Rasulullah SAW sangat mencintainya, bahkan baginda pernah bersabda ketika baginda menerima hadiah sebuah kalung dari Yaman : Kalung ini akan kuberikan kepada keluargaku yang paling kucintai. Lalu kalung itu dipasangkan di leher Umamah.

Pernikahannya
Sebelum meninggal, Fatimah bint Rasulullah SAW berpesan kepada suaminya, Ali ibn Abi Thalib untuk menikahi Umamah setelah kematiannya. Benar, setelah kematian Fatimah, Ali menikahi Umamah. Bertindak sebagai walinya adalah al-Zubayr ibn ‘al-Awwam yang mendapatkan wasiat dari Abual-’Ash untuk menjadi wali putrinya. Umamah mengikuti suaminya pindah ke Kufah. Ketika Ali terluka, beliau berpesan kepada al-Mughirah ibn Naufal ibn al-Harits ibn Abdul Mutthalib (keponakan misannya) untuk menikahi Umamah setelah kepergiannya. Hal ini ia lakukan untuk menghindari agar Mu’awiah tidak menikahi mantan istrinya. Setelah masa iddah Umamah selesai, al-Mughirah menikahinya. Namun sebelumnya, ketika masa iddah akan usai, apa yang dikhawatirkan Ali terjadi, Mu’awiyah ibn Abu Sofyan meminta Marwan untuk melamar Umamah untuknya dengan mahar 100.000 (sertus ribu Dinar). Umamah memberitahukan hal ini kepada al-Mughirah dan menanyakan apakah dia mau menikahinya sesuai dengan permintaan suaminya Ali, atau dia tidak mau. Al-Mughirah menjawab mau. Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa pasangan ini dikaruniai seorang anak yang diberi nama Yahya. Al-Mughirah pun mempunyai kuniah Abu Yahya. Namun pendapat lain, dan ini lebih kuat, mengatakan bahwa pasangan ini tidak dikarunia anak, baik dari al-Mughirah maupun dari Ali. Wafat
Belum ditemukan tahun kematian Umamah, hanya saja diceritakan bahwa Umamah meninggal ketika statusnya masih sebagai istri al-Mughirah.


3. Abdullah
Cucu ketiga Rasulullah SAW ini lahir dari pasangan Ruqayyah bint Muhammad dengan Utsman ibn ‘Affan. Lahir di Habasyah ketika kedua orangtuanya berhijrah ke sana, sekitar 4 SH, atau setahun sebelumnya. Rupanya, cucu Rasulullah SAW ini tidak berumur panjang, dalam usianya yang masih kecil, + 6 tahun, anak yang sedang lucu-lucunya ini meninggal dunia di Madinah menjelang perang Badr karena sakit. Karena masih kecil, tidak banyak cerita yang terekam tentang cucu Rasulullah SAW yang satu ini. Melihat sejarahnya, anak sekecil ini sudah dua kali berhijrah, pertama ke Habasyah, dan kedua ke Madinah.


4. Hasan
Biografi Singkat
Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Putra Fatimah bint Rasulullah SAW. Putra pertama pasangan Ali dengan Fatimah ini, lahir di Madinah bulan Ramadhan tahun 3 H al-Zahabi berkata : di bulan Sya’ban 3 H, dan ini yang lebih benar. Rasulullah SAW mengazankan di telinga Hasan ketika baru dilahirkan. Pada hari ke tujuh, Rasulullah SAW bertanya tentang nama yang dipilih ayahnya untuk sang cucu. Ali menjawab : Harb (perang). Rasulullah SAW menolak dan mengatakan bahwa nama cucunya adalah : Hasan. Rasulullah SAW meminta Ali untuk mencukur rambut Hasan pada hari ketujuh dan bersedekah perak seberat timbangan rambut yang baru dicukur. Rasululah SAW mengaqikahkan dengan memotong seekor kambing jenis kabsy.


Keutamaan
Hasan merupakan cucu kesayangan Rasulullah SAW, lahir dari putri yang paling dicintai dan menantu yang paling disayangi. Karena itu, banyak sekali keutamaan yang dimiliki Hasan dan adiknya Husen. Anas ibn Malik berkata :
Tidak ada orang yang lebih mirip dengan Rasulullah SAW dari al-Hasan ibn Ali.
(HR. al-Tirmizi)
Dari Abi Bakrah ra., Rasulullah SAW berkata di atas mimbar :
Sungguh anakku ini akan menjadi pemimpin yang mendamaikan dua kelompok besar. Dari kelompok orang-orang muslim.
(HR. al-Bukhari, Abu Daud, al-Tirmizi dan al-Nasa’i)
Usamah ibn Zayd berkata : Rasulullah SAW memegang aku dan al-Hasan, lalu berkata :
Ya Allah sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya.
(HR. al-Bukhari, al-Tirmizi dan Ahmad)


Wafat
Hasan meninggal tahun 49 H. Jenazah beliau dimakamkan di Baqi’ Madinah, tepatnya di samping makam Ibunya. Sebelumnya, sempat terjadi perselisihan mengenai tempat. beliau akan dimakamkan. Husen menginginkan untuk dimakamkan di sebelah makam Rasulullah SAW. Untuk itu beliau meminta izin Aisyah, Aisyah pun mengisyaratkan pembolehan. Namun Mu’awiyah melalui Marwan, Gubernur Madinah, tidak mengizinkannya bahkan ketika liang kubur akan digali, Marwan dengan keras menentangnya. Akhirnya Abu Hurairah melerai perselisihan ini dengan mengatakan bahwa Utsman dimakamkan di Baqi’, Fatimah juga di Baqi’, maka alangkah baiknya jika Hasan juga dimakamkan di Baqi’. Husen pun dapat menerimanya dan jenazah Hasan akhirnya dimakamkan di Baqi’.


5. Husen
Biografi Singkat
Husen ibn Ali ibn Abi Thalib. Putra Fatimah bint Rasulullah SAW. Putra kedua pasangan Ali dengan Fatimah ini, lahir di Madinah pertengahan bulan 6 tahun 6 H. Jarak antara Hasan dan Husen satu tahun, 10 bulan. Rasulullah SAW sendiri yang mengumandangkan azan di telinganya. Pada hari ke tujuh, Rasulullah SAW bertanya tentang nama yang dipilih ayahnya untuk sang cucu. Ali menjawab : Harb (perang). Rasulullah SAW menolak dan mengatakan bahwa nama cucunya adalah : Husen.


Keutamaan
Sebagai cucu Rasulullah SAW, tentu Husen memiliki banyak kelebihan. Dari postur tubuh, beliau dari dada kebawah mirip dengan Rasulullah SAW. Sedangkan kakaknya, Hasan, lebih mirip dengan Rasulullah SAW dari bagian dada ke atas. Hasan dan Husen dikabarkan oleh Rasulullah SAW akan menjadi Pemimpin Pemuda Penghuni Surga. Kedua-duanya juga sering dipangku dan dicium oleh Rasulullh SAW. Kedua-duanya merupakan jantung hati Rasulullah SAW.
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., Rasulullah SAW bersabda :
Al-Hasan dan al-Husen Pemimpin Pemuda Penghuni Surga.
(HR. al-Tirmizi dan Ahmad)
Dari Ibn Umar ra., Rasulullah SAW bersabda :
Al-Hasan dan al-Husen Pemimpin Pemuda Penghuni Surga, dan bapaknya lebih baik dari keduanya.
(HR. Ibn Majah)


Wafat
Husen meninggal dalam kejadian yang tidak terpuji di padang Karbala. Beliau dibunuh bersama 72 sanak keluarganya. Tidak cukup sampai disitu, kepala Husen ditaruh di atas nampan lalu dipertontonkan kepada halayak ramai. Seorang sahabat Nabi yang bernama Zayd ibn Arqam tidak sanggup melihat hal ini dan memperotes keras terhadap tindakan keji penguasa yang zalim saat itu. Tragedi padang Karbala tersebut terjadi pada tahun 61 H.

6. Muhassin

Biografi Singkat
Beliau adalah putra ketiga Ali dengan Fatimah, adik dari Hasan dan Husen. Ketika lahir Ali menamakannya Harb, namun Rasulullah SAW menolaknya lalu memberi nama Muhassin. Rasulullah SAW bersabda : “Aku menamakan cucuku Hasan, Husen dan Muhassin sebagaimana Nabi Harun yang menamakan anak-anaknya dengan Syabbar, Syabbir dan Musyabbir”. Muhassin tidak berusia panjang, beliau meninggal dalam usia masih sangat kecil.


7. Ummu Kultsum
Biografi
Ummu Kultsum bint Ali ibn Abi Thalib, cucu bungsu Rasulullah SAW. Putri dari Fatimah bint Muhammad SAW. Lahir sekitar tahun 7 H di Madinah. Berada di pangkuan ibu selama lebih kurang 4 tahun, sebelum akhirnya sang ibu meninggal ketika anak ini masih berusia 4 tahun.


Pernikahan
Masih berusia dini, Ummu Kultsum sudah dilamar oleh Umar ibn Khattab yang kala itu menjadi Khalifah. Penyebabnya adalah karena Umar ingin agar anak turunannya terus bersambung sampai hari kiamat. Hal ini didasari oleh sabda Rasulullah SAW yang didengar langsung oleh Umar : Semua sebab, nasab dan permantuan tidak akan berpengaruh pada hari kiamat nanti kecuali sebabku, nasabku dan permantuanku. Ali sang bapak menolak lamaran ini karena pertimbangan usia, namun Umar tetap mendesaknya dengan alasan di atas. Akhirnya, Ali menikahkan putri bungsunya dari Fatimah itu dengan Umar, Amirul Mu’minin, dengan cerita yang sangat menarik, menunjukkan ketaqwaan remaja putri yang merupakan cucu Rasulullah SAW.

Cerita Lamaran
Ali berkata kepada Umar : “Kirimkan sesuatu untuknya, jika dia menolak, maka aku pun menolak, jika dia mau/rido maka aku sudah mengawinkanmu dengannya. Kemudian setelah melihat isyarat dari putrinya, Ali mengutus putrinya menemui Umar dengan membawakannya sebuah baju untuknya sambil menitipkan pesan : “Katakanlah kepadanya, ini baju yang pernah saya katakan kepada kamu”. Ummu Kultsum pergi menemui Umar dan menyampaikan pesan orangtuanya. Umar pun menerima titipan tersebut dan berkata : Sampaikan kepada orangtuamu : “Aku sudah rido dan semoga Allah meridoimu. Umar pun meletakkan tangannya di atas tangan Ummu Kultsum”. Ummu Kultsum yang belum mengerti tentang hal ini marah besar dan berkata: “Apakah kamu berprilaku seperti ini? Kalaulah bukan karena kamu itu adalah Amirul Mu’minin, pasti sudah kupatahkan hidungmu”.
Umar diam, Ummu Kultsum pun menemui bapaknya yang menyuruhnya pergi menghadap Umar seraya menceritakan kejadian tadi dan berkata : “Kamu sudah mengutus saya ke orang tua yang nakal”. Ali menjawab : “Wahai anakku, dia itu adalah suamimu”. Ummu Kultsum baru memahami bahwa dia sudah dinikahkan oleh bapaknya dengan Umar, dan waktu Umar menyentuh tangannya tadi, dia sudah berstatus istrinya. Dia pun menerima apa yang telah dipilihkan orangtuanya. Sebagai mahar, Umar memberinya 40.000. (dirham). Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai dua orang anak, seorang putra bernama Zayd dan seorang putri bernama : Ruqayyah.


Perkawinan Kedua
Setelah wafatnya Umar, Ummu Kultsum pun menjanda. Kemudian, belum lama setelah masa iddahnya selesai, Hasan ibn Ali, kakak kandungnya, datang menanyakan keadaannya dan masa depannya. Akhirnya Hasan memilihkan untuknya ‘Aun ibn Ja’far untuk menjadi suami keduanya. Ummu Kultsum setuju, maka jadilah perkawinan itu dan sebagai maharnya, ‘Aun ibn Ja’far memberinya mahar 400 dirham.


Wafat
Ummu Kultsum meninggal di tahun yang sama dengan kematian putra pertamanya, Zayd. Bahkan beberapa riwayat menjelaskan bahwa itu terjadi pada waktu yang sama. Bertindak sebagai imam shalat jenazah adalah Abdullah ibn Umar atas permintaan Hasan ibn Ali.


8. Zainab
Biografi
Zainab bint Ali ibn Abi Thalib. Ibunya Fatimah bint Muhammad Rasulullah SAW. Lahir di Madinah pada tahun 5 H. Putri yang memiliki keistimewaan nasab ini menjadikannya seorang mu’minah yang memiliki prinsip-prinsip keislaman yang kuat.


Perkawinan dan Putra-putrinya
Ketika usia perkawinannya tiba, ayahnya ‘Ali ibn Abi Thalib, menikahkannya dengan keponakannya, Abdullah ibn Ja’far ibn Abi Thalib. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai 4 orang putra dan 1 orang putri : Keempat putra mereka adalah : ‘Aun, Ali, ‘Abbas dan Muhammad. Sedangkan putri mereka adalah : Ummu Kultsum.


Wafat
Ketika terjadi fitnah besar, Zainab mengikuti kakaknya, Husen ibn ‘Ali. Ketika Husen terbunuh di padang Karbala, Zainab dibawa ke Damaskus, dan terjadilah perdebatan sengit antara Zainab dan Yazib ibn Mu’awiyah. Zainab meninggal di Damaskus, dan dimakamkan di sana.


Anak Angkat Rasulullah SAW
Rasulullah SAW hanya mengangkat seorang anak saja sebagai anak angkatnya, yaitu Zayd. Kali pertama diangkat, nama Zayd diubah nasabnya menjadi Zayd ibn Muhammad, namun setelah hal itu dilarang, nasab Zayd dikembalikan ke asal, yaitu Zayd ibn Haritsah. Beberapa ayat al-Qur’an tentang peristiwa ini antara lain :
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).
(QS. al-Ahzab 33: 4-6)

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS. al-Ahzab 33 : 40)


Biografi Zayd ibn Haritsah
Beliau adalah Zayd ibn Haritsah ibn Syarahil/Syurahbil ibn Ka’ab ibn Abd al-’Uzza ibn Yazid ibn Imr’ al-Qays ibn ‘Amir ibn al-Nu’man. Lahir 10 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. Zayd semula adalah budak yang dibeli oleh Rasulullah SAW di pasar budak Makkah. Sebelumnya, ketika melihat Zayd dijual, Rasulullah SAW mengabarkannya kepada Khadijah untuk membelinya. Khadijah menanyakan : Berapa harganya. Rasulullah SAW menjawab : “700”. Khadijah pun memberikan uang tersebut dan Rasulullah SAW membeli Zayd sebagai budak Khadijah. Setibanya di rumah, Rasulullah SAW mengomentari budak barunya ini dengan berkata : “Kalaulah budak ini milik saya maka akan saya merdekakan”. Khadijah yang dikenal sangat dermawan dan baik hati langsung berkata : “Dia milik kamu”. Tak lama kemudian dia dibebaskan. Bukan cuma dibebaskan, Zayd dijadikan Anak Angkat Nabi SAW, yang dijuluki sebagai Orang Yang Dicintai Rasulullah SAW.


Rumah Tangga Zayd
Zayd memiliki beberapa orang istri, antara lain : Zainab bint Jahsy. Perkawinannya ini, begitu juga perceraiannya terekam dalam al-Qur’an. Perkawinannya dengan Zainab adalah atas dasar dijodohkan oleh Rasulullah SAW, meski Zainab menerimanya dengan terpaksa. Namun karena rumah tangga mereka tidak harmonis karena Zainab sering berkata kasar terhadap Zayd, maka Zayd pun meminta izin Rasulullah SAW untuk menceraikan Zainab. Setelah beberapa kali Rasulullah SAW menasehatinya untuk bersabar, namun akhirnya kesabarannya habis dan Zayd diperbolehkan untuk menceraikannya. Istri Zayd yang lainnya adalah Ummu Aiman, yang bernama Barakah, dari perkawinannya ini mereka dikarunai anak yang bernama Usamah ibn Zayd. Kisah pernikahannya dengan Ummu Aiman dapat dilihat dalam biografi Ummu Aiman.

Keutamaan Zayd
Banyak sekali keutamaan Zayd yang dicatat dalam sejarah, antara lain :
  • Menjadi anak angkat Rasulullah SAW.
  • Menjadi orang yang pertama masuk Islam dari kalangan maula.
  • Menjadi panglima untuk kurang lebih 17 kali peperangan (sariyyah).
  • Banyak mendampingi Rasulullah SAW dalam banyak hal.
  • Sering menjadi utusan Rasulullah SAW untuk misi-misi khusus.
  • Dijuluki sebagai orang yang dicintai Rasulullah SAW.
  •  Menjadi satu-satunya sahabat Nabi SAW yang namanya ditulis secara tegas dalam al-Qur’an (al-Ahzab 33 : 37 ).
  • Menjadi orang biasa yang perkawinan dan perceraiannya diceritakan dalam al-Qur’an.
  • Mempunyai istri yang dikatakan Rasulullah SAW sebagai penghuni surga.
  • Mempunyai anak yang juga dicintai Ralsulullah SAW, dan diangkat menjadi penglima perang termuda, 18 tahun.
Nama Zayd dalam al-Qur’an
Banyak sekali keutamaan Zayd yang dicatat dalam sejarah, antara lain :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang Mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(QS. al-Ahzab 33:37)

Wafat
Zayd wafat sebagai syuhada’ dalam perang Mu’tah pada bulan Jumadi al-Ula tahun 8 H. Jasad Zayd dimakamkan di Mu’tah, Jordania. Tidak jauh dari Universitas Mu’tah, di Provinsi Karak. Penulis sempat dua kali berziarah ke makam ini.


Menantu Rasulullah SAW
Untuk melihat biografi para menantu Rasulullah saw, bisa dilihat di biografi para sahabat.
Selain 3 orang di atas, Rasulullah saw juga pernah menikahkan gantung dua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan kakak beradik yang masih sepupu mereka, yaitu Utbah dan Utaybah putra Abu Lahab.
Namun belum walimah dilaksanakan, janji nikah itu dibatalkan karena Abu Lahab tidak ingin berbesankan Nabi baru, bahkan ketiga-tiganya menjadi musuh Nabi yang terdepan.


Mertua Rasulullah SAW

Pengasuh Rasulullah SAW
Ummu Aiman Pengasuh Rasulullah SAW
Ibu Asuh Rasulullah SAW adalah Ummu Aiman, nama sebenarnya adalah Barakah bint Tsa’labah ibn ‘Amr ibn Hishn ibn Malik ibn Salamah ibn al-Nu’man al-Habasyiyah. Berasal dari Habasyah. Dia adalah mawali/budak/pembantu Abdullah ibn Abdul Mutthalib, ayah Rasulullah SAW. Menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji setelah Rasulullah SAW memerdekakannya. Dari perkawinan ini lahir Aiman. Dikatakan sebagai ibu asuh karena setelah kepergian Aminah bint Wahb, ibu kandung Rasulullah SAW ketika baginda masih berusia 6 tahun, Ummu Aiman lah yang menjaga dan mengasuhnya serta membantu keperluan seorang anak dari mulai makan, minum, pakaian dan lain sebagainya. Rasulullah SAW sering memanggilnya dengan sapaan Ummah (ibu). Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda : Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibundaku.
Perjuangan Ummu Aiman
Ummu Aiman adalah termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, paling tidak, untuk wanita, beliau masuk setelah Khadijah atau setelah putri-putri Rasulullah SAW atau masuk dalam kategori sepuluh wanita pertama masuk Islam. Semasa di Makkah, karena termasuk orang biasa, beliau mendapat perlakuan kasar dan buruk dari pemuka Quraisy. Ketika hijrah diizinkan, beliau termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah. Kemudian beliau termasuk orang yang kembali ke Makkah bersama rombongan. Ketika hijrah ke Madinah, beliau termasuk yang berhijrah, bahkan dengan berjalan kaki dan dalam kondisi puasa. Meski tidak sendiri dan tetap bersama rombongan, beliau tidak menunggang onta apalagi kuda. Jarak 430 km ditempuh dengan berjalan kaki.
Sampai akhirnya, karomah Allah SWT diberikan untuknya. Siang yang panas tetap dilaluinya dengan kesabaran dan ketabahan. Ketika datang waktu berbuka, Ummu Aiman tidak mendapatkan air untuk diminum. Tiba-tiba muncul gumpalan awan yang membentuk seperti ember putih, beliau mengambilnya dan meminum darinya. Setelah minum sampai hilang dahaganya, beliau melanjutkan perjalanannya ke Madinah tanpa pernah merasakan haus kembali. Bahkan sampai akhir hayatnya. Bahkan, beliau bercerita bahwa suatu ketika beliau sengaja tawaf di siang hari di panas yang terik dengan harapan akan merasa haus, tapi ternyata beliau tidak juga merasa haus.

Cerita Lucu
Ummu Aiman ra. bercerita : Suatu ketika Rasulullah SAW menginap di rumah. Ketika malam beliau bangun dan buang air di bejana. Tak lama kemudian saya terbangun dan mencari minum karena kehausan, saya mendapatkan air di bejana, dan saya langsung meminumnya. Esok paginya, Rasulullah SAW berkata kepadaku : “Wahai Ummu Aiman, tolong buangkan air yang ada di bejana.” Saya pun menjawab : “Wahai Rasulullah SAW, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, saya sudah minum air yang ada di dalamnya.” Rasulullah SAW tertawa sampai terlihat giginya lalu bersabda : “Sungguh perutmu tidak akan sakit lagi setelah ini.”

Keluarga
Setelah dimerdekakan oleh Rasulullah SAW, Barakah (nama asli Ummu Aiman) menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Aiman. Karena itulah beliau dipanggil dengan nama Ummu Aiman. Aiman sendiri tumbuh menjadi pemuda yang gagah, berjuang bersama Rasulullah SAW sampai akhirnya syahid di perang Hunain. Ketika Ummu Aiman menjanda, masih lagi di Makkah sebelum hijrah. Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya : Barang siapa yang ingin menikahi perempuan ahli surga, maka hendaklah dia menikahi Ummu Aiman. Mendengar tawaran dan berita baik, Zayd ibn Haritsah langsung menyatakan minatnya dan melamarnya. Dari perkawinan ini, lahir Usamah ibn Zayd, orang yang dicintai Rasulullah SAW dan anak orang yang dicintai Rasulullah SAW.

Wafat
Ketika Rasulullah SAW meninggal, Abu Bakar mengajak Umar untuk menjenguk Ummu Aiman dengan harapan semoga dapat meringankan kesedihannya. Setelah berjumpa, Ummu Aiman menangis. Abu Bakar berkata : Kenapa kamu menangis, apa yang disiapkan Allah lebih baik untuk Rasulullah SAW. Ummu Aiman menjawab : Aku bukan tidak tahu hal itu, tetapi aku sedih karena wahyu sudah terputus dari langit. Terdapat beberapa riwayat tentang tahun wafatnya, ada yang mengatakan 5 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada juga yang mengatakan 6 bulan kemudian. Dalam kitab Nisa’ Hawl al-Rasul SAW, dipilih pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal 20 hari setelah terbunuhnya Umar, atau tahun 23 H.


Sepupu Rasulullah SAW
Beberapa orang sepupu Rasulullah saw:
1. Ali ibn Abi Thalib
2. Ja’far ibn Abi Thalib
3. Uqayl ibn Abi Thalib
4. Abdullah ibn Abbas


Pembantu Rasulullah SAW
Pembantu Rumah Tangga Rasulullah saw:
1. Anas ibn Malik
2. Taswban
3. Abu Hurairah


Muazzin Rasulullah saw:
1. Bilal ibn Rabbah
2. Ibn Ummi Maktum
3. Sa’ad
4. Abu Mahzurah


 Maula Rasulullah SAW
Pengertian dan Mereka
Maula pluralnya adalah Mawali. Yang dimaksud maula adalah orang yang dimerdekakan oleh seseorang. Jika A adalah maula-nya si B, maka A adalah budak yang kemudian dimerdekakan oleh B. Mereka yang dimerdekakan Rasulullah SAW ada yang sebelumnya tinggal bersama beliau, ada juga yang sama orang lain lalu dimerdekakan oleh Rasulullah SAW, ada juga oang yang separuh merdeka dan Rasulullah SAW melengkapi dengan membayar kekurangannya. Dari para mawali ini, ada yang akhirnya berhidmah menjadi pembantu Nabi seperti Abu Rafi’. Ada juga yang terus bebas dan mengarungi kehidupannya sendiri. Pilihan kedua adalah pilihan mayoritas.


Mawali Rasulullah saw:
1. Zayd ibn Haritsah ra.
2. Aslam Abu Rafi’ ra.
3. Rafi’ atau Abu Rafi’ ra.
4. Anasah Abu Masrah
5. Aiman ibn ‘Ubayd
6. Anjasyah
7. Tsauban
8. Hunyn
9. Rabah
10. Zayd
11. Safinah
12. Salman al-Farisi
13. Syukraan
14. Dumairah ibn Abi Dumairah
15. Abu Dumairah
16. Tahman
17. Zakwan
18. Kaisan
19. Hurmuz
20. Bazam
21. Mahran
22. Maimun
23. ‘Ubayd
24. Ubaidillah ibn Aslam
25. Fadalah
26. Qafiz
27. Karkarah
28. Miz’am
29. Maburah al-Qibti
30. Mihja’
31. Nafi’
32. Nufay’ Abu Bakrah
33. Waqid atau Abu Waqid
34. Hisyam
35. Yasar
36. Hibah
37. Abu al-Hamra’ Hilah ibn al-Harits
38. Abu Salma
39. Abu Safiyyah
40. Abu ‘Ubayd
41. Abu Ghubayib
42. Abu Kabsyah
43. Abu Muway


Imaa’ al-Nabiy SAW
Jika maula adalah laki-laki, maka imaa’ adalah untuk perempuannya. Jadi mereka adalah wanita-wanita mantan budak yang dibebaskan oleh Rasulullah SAW.


Mereka adalah :
1. Barakah Ummu Aiman
2. Khurah
3. Radhwa
4. Salma
5. Maimunah bint Sa’ad
6. Umaimah
7. Ruzainah
8. Sirin, Saudari kandung Maria Qibtiayah

Pohon Nasab
Nasab Ayah dan Ibu
Ayah : Abdullah ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn al-Nadr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan. Ibu : Aminah bint Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab. Nasab kedua orangtua baginda bertemu di salah satu kakek mereka yang bernama Kilab.
Nasab Kakek & Nenek
Kakek dari pihak ayah adalah : Abdul Mutthalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan. Nenek dari pihak ayah adalah : Fatimah bint ‘Amr ibn ‘A’idz ibn Imran ibn Makhzum ibn Yaqizah ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay. Kakek dari pihak ibu adalah : Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah. Nenek dari pihak ibu adalah : Barrah bint Abd al-’Uzza ibn Utsman ibn ‘Abd al-Dar ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah. Dari paparan di atas, nasab ke atas Rasulullah dari pihak ibu dan ayah, semua bertemu di Murrah, termasuk dengan Khadijah.
Nasab dari Murrah
Sumber : pusatkajianhadis.com


JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...