Saturday 21 February 2015

NASEHAT HADROTUS SYEIKH HASYIM ASY'ARY UNTUK PARA SANTRI

10 Nasehat Hadhrotus Syeikh Hasyim Asy'ary
Untuk para Santri
Dalam Kitab-nya Adabul ‘Alim wal Muta’allim, KH. M. Hasyim Asy’ari merangkum etika-etika santri atau pelajar sebagaimana berikut:

Pertama, seorang santri hendaknya membersihkan hatinya dari segala hal yang dapat mengotorinya seperti dendam, dengki, keyakinan yang sesat dan perangai yang buruk.
Hal itu dimaksudkan agar hati mudah untuk mendapatkan ilmu, menghafalkannya, mengetahui permasalahan-permasalahan yang rumit dan memahaminya.

Kedua, hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu, yaitu dengan bermaksud mendapatkan ridho Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan syariah Islam, menerangi hati dan mengindahkannya dan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai berniat hanya ingin mendapatkan kepentingan duniawi seperti mendapatkan kepemimpinan, pangkat, dan harta atau menyombongkan diri di hadapan orang atau bahkan agar orang lain hormat.

Ketiga, hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umurnya untuk memperoleh ilmu, tanpa terpedaya oleh rayuan “menunda-nunda” dan “berangan-angan panjang”, sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan tergantikan. Seorang santri hendaknya memutus sebisanya urusan-urusan yang menyibukkan dan menghalang-halangi sempurnanya belajar dan kuatnya kesungguhan dan keseriusan menghasilkan ilmu, karena semua itu merupakan faktor-faktor penghalang mencari ilmu.

Keempat, menerima sandang pangan apa adanya sebab kesabaran akan ke-serba kekurangan hidup, akan mendatangkan ilmu yang luas, kefokusan hati dari angan-angan yang bermacam-macam dan hikmah hikmah yang terpancar dari sumbernya.
Imam As-Syafi’i Ra berkata, tidak akan bahagia orang yang mencari ilmu disertai tinggi hati dan kemewahan hidup. Tetapi yang berbahagia adalah orang yang mencari ilmu disertai rendah hati, kesulitan hidup dan khidmah pada ulama.

Kelima, pandai membagi waktu dan memanfaatkan sisa umur yang paling berharga itu. Waktu yang paling baik untuk hafalan adalah waktu sahur, untuk pendalaman pagi buta, untuk menulis tengah hari, dan untuk belajar dan mengulangi pelajaran waktu malam. Sedangkan tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan tempat-tempat yang jauh dari gangguan. Tidak baik melakukan hafalan di depan tanaman, tumbuhan, sungai dan tempat yang ramai.

Keenam, makan dan minum sedikit. Kenyang hanya akan mencegah ibadah dan bikin badan berat untuk belajar. Di antara manfaat makan sedikit adalah badan sehat dan tercegah dari penyakit yang di akibatkan oleh banyak makan dan minum, seperti ungkapan syair yang artinya:
“Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau ketahui berasal dari makanan atau minuman.”
Hati dikatakan sehat bila bersih dari kesewenang-wenangan dan kesombongan. Dan tidak seorangpun dari para wali, imam dan ulama pilihan memiliki sifat atau disifati atau dipuji dengan banyak makannya. Yang dipuji banyak makannya adalah binatang yang tidak memiliki akal dan hanya dipersiapkan untuk kerja.

Ketujuh, bersikap wara’ (mejauhi perkara yang syubhat ‘tidak jelas ‘ halal haramnya) dan berhati-hati dalam segala hal. Memilih barang yang halal seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua kebutuhan hidup supaya hatinya terang, dan mudah menerima cahaya ilmu dan kemanfaatannya. Hendaknya seorang santri menggunakan hukum-hukum keringanan (rukhsoh) pada tempatnya, yaitu ketika ada kebutuhan dan sebab yang memperbolehkan. Sesungguhnya Allah senang bila hukum rukhsohnya dilakukan, seperti senangnya Allah bila hukum ‘azimahnya (hukum sebelum muncul ada sebab rukhsoh) dikerjakan.

Kedelapan, meminimalisir penggunaan makanan yang menjadi penyebab bebalnya otak dan lemahnya panca indera seperti buah apel yang asam, buncis dan cuka. Begitu juga dengan makanan yang dapat memperbanyak dahak (balgham) yang memperlambat kinerja otak dan memperberat tubuh seperti susu dan ikan yang berlebihan. Hendaknya seorang santri menjauhi hal-hal yang menyebabkan lupa seperti makan makanan sisa tikus, membaca tulisan di nisan kuburan, masuk di antara dua unta yang beriringan dan membuang kutu hidup-hidup.

Kesembilan, meminimalisir tidur selama tidak berefek bahaya pada kondisi tubuh dan kecerdasaan otak. Tidak menambah jam tidur dalam sehari semalam lebih dari delapan jam. Boleh kurang dari itu, asalkan kondisi tubuh cukup kuat. Tidak masalah mengistirahatkan tubuh, hati, pikiran dan mata bila telah capek dan terasa lemah dengan pergi bersenang-senang ke tempat-tempat rekreasi sekiranya dengan itu kondisi diri dapat kembali (fresh).

Kesepuluh, meninggalkan pergaulan karena hal itu merupakan hal terpenting yang seyogyanya di lakukan pencari ilmu, terutama pergaulan dengan lain jenis dan ketika pergaulan lebih banyak-main-mainnya dan tidak mendewasakan pikiran. Watak manusia itu seperti pencuri ulung (meniru perilaku orang lain dengan cepat) dan efek pergaulan adalah ketersia-siaan umur tanpa guna dan hilang agama bila bergaul dengan orang yang bukan ahli agama. Jika seorang pelajar butuh orang lain yang bisa dia temani, maka hendaknya dia jadi teman yang baik, kuat agamanya, bertaqwa, wara ‘, bersih hatinya, banyak kebaikannya, baik harga dirinya (muru’ah), dan tidak banyak bersengketa: bila teman tersebut lupa dia ingatkan dan bila sudah sadar maka dia tolong.

(Diterjemahkan dari kitab “Adabul ‘Alim wal Muta’ allim” karya KH. M. Asy’ari)

SUKSES RUHANI (Ibnu Athaillah As-Sakandary.RA)

:: SUKSES RUHANI ::
”Diantara tanda-tanda peneguhan Allah Azza wa-Jalla kepadamu dalam suatu hal, adalah peneguhanNya padamu di dalamnya disertai keberhasilan.”
Dalam soal ibadah kita butuh kemantapan dan peneguhan yang kokoh. Namun peneguhan itu tetap datang dari Allah Azza wa-Jalla, dan karena itu kita perlu mengenal apakah posisi kita sedang diberi keteguhan oleh Allah Azza wa-Jalla dalam suatu hal, khususnya ibadah, atau amaliyah lainnya?
Tanda-tanda peneguhan itulah yang perlu kita cermati. Diantaranya adalah keberhasilan anda dalam membuahkan konsistensi terhadap suatu perkara tersebut. Buah dari keteguhan dalam menempuh Jalan Allah adalah akhlak dan adab yang mulia.
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra, mengatakan, “Faidahnya karomah itu adalah pengenalan rasa yaqin dari Allah Swt melalui Ilmu, Qudrat dan IradatNya serta Sifat-sifat AzaliNya yang terpadu, tidak sama sekali terpisah, dan perkara yang tidak sama sekali terpisah. Seakan-akan satu sifat yang tunggal yang berdiri dengan Dzat Yang Satu, yang menjadi sama antara orang yang mengenal Allah swt melalui NurNya, atau mengenal Allah Swt melalui TindakanNya.”
Buah dari karomah adalah Istiqomah dan yaqin.
Buah dari syukur adalah bertambahnya nikmat, buah dari nikmat adalah bertambah syukurnya.
Buah dari sabar adalah ridho,
Buah dari memandang anugerahNya adalah amal ibadah.
Buah dari kesadaran dosa adalah taubat, dan taubat sesungguhnya buah dari ampunanNya.
Buah dari ma’rifat adalah terus memandangNya (musyahadah), sedangkan buah musyahadah adalah tidak memandang kecuali hanya padaNya. Ia fana’, lalu ma’rifat, lalu mahabbah, lalu berbuah untuk Baqa’ Billah Rahmatan lil’Alamin.
Amaliyah mu’min sejati selalu membuahkan tiga hal:
Amaliyah Islam, membuahkan ibadah lahiriyah syar’iyyah, termaujud dalam taubat, taqwa dan istiqomahnya.
Amaliyah Iman membuahkan ubudiyah bathiniyah, penataan batin dan periasan akhlaq batin yang indah, dan termaujud dalam sikap batin yang benar, ikhlas dan ketenangan.
Amaliyah Ihsan membuahkan ‘abudah rahasia batin, dalam maujud muroqobah, musyahadah dan ma’rifatnya.

ANTARA CAHAYA DAN WACANA (Ibnu Athaillah As-Sakandary, RA)

:: Antara Cahaya dan Wacana ::
”Siapapun yang mengungkapkan hamparan kebajikan dari dirinya, maka rasa buruk pada dirinya di hadapan Tuhannya akan membungkamnya. Dan siapa yang mengungkapkan hamparan kebajikan Allah Swt kepadanya, maka keburukan yang dilakukan tidak membuatnya terbungkam.”
Maksudnya, siapa yang memasuki hadirat Allah Swt, lalu masih memandang dirinya sendiri, ketika akan mengungkapkan apa yang berlaku padanya pada khalayak, berupa karomah-karomah dan yang lainnya, maka akan muncul panggilan dari alam hakikat: ”Hai! Anda menyebutkan sejumlah karomah-karomah? Sedangkan anda tidak menyebutkan kehinaan anda?”.
Lalu orang ini akan berhenti, bahkan ia lari dari alam yang ia pandang, berganti gelisah dan tercekam, berganti dengan ketersembunyian yang senyap, menutup diri, dan inilah kondisi yang dialami oleh kaum yang berada di maqom zuhud, maqom ahli ibadah dan ahli wirid. Karena ia belum meraih kema’rifatan yang hakiki, sehingga masih muncul keakuan dan ego.
Sedangkan orang yang memandang hamparan kebajikan itu dari Allah swt, mengamalkan apa yang telah dilimpahkan padanya, kembali kepadaNya, dan segala hal yang dianugerahkan olehNya, maka itulah saatnya ia mengungkapkan melalui bahasa lisannya, menjelaskan apa yang dari Tuhannya. Ia tidak tercekam dan segan ketika mengungkapkan, tidak peduli apakah ia dipuji maupun dihina. Bahkan ia tidak melihat dirinya, ia hanya memandang pengetahuan dari Allah azza wa-Jalla yang tampak jelas di depan matanya. Demikian doijelaskan oleh Syeikh Zarruq dalam syarah Al-Hikam.
Pengungkapan wacana kebenaran bisa dengan ungkapan haki8kat, namun belum tentu hakikat itu dialami oleh yang mengungkapkan. Itulah kondisi dalam diri para Ulama, para pemula dan penempuh. Namun ia tetap bisa memberikan makna faedah dan pengetahuan. Walau[pun ia sendiri belum sampai pada hakikat itu.
Namun ada yang telah sampai ke wilayah hakikat dan kemandirian ruhani, itulah kondisi kaum ahli ma’rifat yang telah meraih keparipurnaan, dan ia mampu memberikan kekuatan pengaruh dalam jiwa ummat.
Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary selanjutnya:
”Cahaya para ahli hakikat telah mendahului ucapan-ucapannya, maka sejauhmana pencerahan yang diterima, sejauh itu pula ungkapan muncul”
Hikmah-hikmah yang muncul dari ahli hakikat kartena telah didahului oleh limpahan Cahaya dari Allah swt, bukan sebaliknya, yang dilakukan oleh para Ulama, beraksioma, berlogika baru menjurus pada pencarian cahaya.
Kaum ’arifin senantiasa merasukkan cahaya itu pada para pendengar hikmahnya, karena apa yang berada dalam qalbu, akan menyambung dengan qalbu-qalbu pendengarnya.
Bila hubungan dari hati ke hati yang disampaikan oleh ahli hakikat tidak sampai pada hati seseorang, maka hati orang itu pasti sedang tergelapkan, tersesatkan, seperti hati orang-orang kafir dan munafiq, ketika disampaikan cahaya hakikat mereka menolak, bahkan menentangnya. Hingga digambarkan mereka ini sampai menutup telinganya dengan jari-jarinya ketika ada kilatan-kilatan cahaya dari Allah Swt. Mereka menutup telinga hatinya.
Jari-jari dari tangan-tangan nafsunya bergerak untuk menutup diri dari hakikat-hakikat Ilahiyah. Bisa karena gengsi dan harga diri, bisa karena takabur dan ta’jub pada diri sendiri, bisa karena takut jika hakikat kebenaran itu merasuki hatinya, ia akan kehilangan kekuasaan, nama besar dan simbol-simbolnya. Dan bahkan ia menutup telinga hatinya karena iri dan dengki. Na’udzubillah min Dzaalik.

JEJAK SEJARAH MURSYID THORIQOH AT-TIJANI SYEKH MUHAMMAD BIN YUSUF

  "Jejak Histori Syekh Muhammad bin Yusuf sukodono - Ampel Surabaya, abahny a KH Ubaid dan KH Zaid, salah satu pembawa Thoriqoh At-Tija...